Penyihir Aksara (Malaikat Salju)

Do'a Kalimat Pena By. Muhrodin "AM"

30
April

By. Muhrodin “AM”

Temaram rembulan berkelindan menghiasi pucuk malam. Cahayanya yang samar-samar melesat jauh menembus celah-celah dedaunan. Malam ini, di batas langit yang tampak menghitam, aura kerinduan itu menyulur dingin di antara bilik hati seorang pemuda yang tengah duduk di beranda rumahnya. Sesekali mata elangnya menyalak memandangi rembulan temaram yang binarnya mampu menghunjam kerinduan yang mendalam.
O, malang nian nasibnya, setelah dua belas purnama ia dalam penantian, ternyata kekasih yang dinantinya tak kunjung datang. Adalah Rama bersama luka dan rindu yang mendera. Malam ini kembali kenangan itu merajai segenap hati dan pikirannya.
“Adakah yang lebih indah dari kekata cinta, Dinda? Selayak rasaku yang berbilur rindu hanya berlabuh padamu. Sungguh aku merindukanmu.” Kata-kata rama kembali tereja, setelah beberapa waktu mereka tak bersua.
Rama paham betul, Ayah Kiara tak merestui hubungan mereka, hingga ketika mereka hendak merajut kasih dalam untaian cinta yang bertahta bahagia, ia harus mencuri waktu atau Rama harus diusir dan dicaci-maki hingga airmata Kiara lah yang menjadi muara dari akhir pertemuan mereka.
“Aku bahagia bisa bersamamu, Rama. Sungguh rasa ini tak dapat dipungkiri. Terimaksih untuk rasa yang kau suguhkan, ‘kan kusambut dengan dayung kebahagiaan.” Kiara mengurai senyum, sesekali mata indahnya menyelami kedalaman kuasa Tuhan akan keindahan purnama yang berpendar menjadi saksi cinta mereka berdua.
“Tapi bagaimana dengan Ayahmu? Beliau sepertinya tak pernah bisa untuk menerima kehadiranku. Apakah beliau terlalu benci dengan segala kekuranganku?” kekhawatiran itu tampak jelas menghiasi raut wajah Rama.
“Bukan begitu Rama, Ayah hanya tak kuasa untuk menolak perjodohan itu. Ayahnya adalah sahabat dekat Ayah sedari beliau masih sama-sama di tanah toraja.” Kiara mencoba menghapus kekhawatiran kekasihnya.
“Biarlah aku akan meyakinkan Ayah, kalau kita benar-benar saling menyinta dan akan merajut jalinan tali kasih dalam ikatan mahligai rumah tangga. Aku percaya, pasti Ayah akan memahaminya.” Sekali lagi, Kiara tersenyum dalam binar bahagia.
“Oh, baiklah Kiara, aku akan sangat bahagia jika akhirnya Ayahmu berkenan untuk  menerimaku menjadi bagian dari keluarganya.” Rama mencium kening Kiara dengan penuh rasa cinta.
Namun waktu yang dinanti-nantinya tak kunjung tiba, Rama masih setia menunggu Kiara akan keputusan Ayahnya. Tapi apalah daya, sepertinya Kiara telah menghilang ditelan titian masa.
Hingga ketika malam kembali menawarkan bias purnama, Rama masih tetap setia dengan kidung cintanya yang berbuah simalakama
Ini adalah purnamanya yang ke dua belas, jika memang Kiara bukanlah sosok bidadari yang akan menemaninya dalam meretas ridho-Nya, maka, segalanya kini telah dipasrahkan. Rama hanya berdo’a dalam diamnya, berharap Tuhan mengirimkan sesosok bidadari surga seperti yang telah Rama impikan.


PPAI, 31122013

*Cerita ini telah terangkum dalam Buku Antologi Cerpen "Romantika Cinta Remaja #2" - Panji Publisher 2014

0 komentar:

Posting Komentar

X-Steel - Link Select

About this blog

Diberdayakan oleh Blogger.

Arsip Blog

salju

Blog Archive