By. Muhrodin “AM”
Temaram rembulan berkelindan
menghiasi pucuk malam. Cahayanya yang samar-samar melesat jauh menembus
celah-celah dedaunan. Malam ini, di batas langit yang tampak menghitam, aura
kerinduan itu menyulur dingin di antara bilik hati seorang pemuda yang tengah
duduk di beranda rumahnya. Sesekali mata elangnya menyalak memandangi rembulan
temaram yang binarnya mampu menghunjam kerinduan yang mendalam.
O, malang nian nasibnya, setelah dua
belas purnama ia dalam penantian, ternyata kekasih yang dinantinya tak kunjung
datang. Adalah Rama bersama luka dan rindu yang mendera. Malam ini kembali
kenangan itu merajai segenap hati dan pikirannya.
“Adakah yang lebih indah dari kekata
cinta, Dinda? Selayak rasaku yang berbilur rindu hanya berlabuh padamu. Sungguh
aku merindukanmu.” Kata-kata rama kembali tereja, setelah beberapa waktu mereka
tak bersua.
Rama paham betul, Ayah Kiara tak merestui hubungan mereka, hingga
ketika mereka hendak merajut kasih dalam untaian cinta yang bertahta bahagia,
ia harus mencuri waktu atau Rama harus diusir dan dicaci-maki hingga airmata
Kiara lah yang menjadi muara dari akhir pertemuan mereka.
“Aku bahagia bisa bersamamu, Rama. Sungguh
rasa ini tak dapat dipungkiri. Terimaksih untuk rasa yang kau suguhkan, ‘kan kusambut
dengan dayung kebahagiaan.” Kiara mengurai senyum, sesekali mata indahnya
menyelami kedalaman kuasa Tuhan akan keindahan purnama yang berpendar menjadi
saksi cinta mereka berdua.
“Tapi bagaimana dengan Ayahmu?
Beliau sepertinya tak pernah bisa untuk menerima kehadiranku. Apakah beliau
terlalu benci dengan segala kekuranganku?” kekhawatiran itu tampak jelas
menghiasi raut wajah Rama.
“Bukan begitu Rama, Ayah hanya tak
kuasa untuk menolak perjodohan itu. Ayahnya adalah sahabat dekat Ayah sedari
beliau masih sama-sama di tanah toraja.” Kiara mencoba menghapus kekhawatiran
kekasihnya.
“Biarlah aku akan meyakinkan Ayah,
kalau kita benar-benar saling menyinta dan akan merajut jalinan tali kasih
dalam ikatan mahligai rumah tangga. Aku percaya, pasti Ayah akan memahaminya.”
Sekali lagi, Kiara tersenyum dalam binar bahagia.
“Oh, baiklah Kiara, aku akan sangat
bahagia jika akhirnya Ayahmu berkenan untuk
menerimaku menjadi bagian dari keluarganya.” Rama mencium kening Kiara
dengan penuh rasa cinta.
Namun waktu yang dinanti-nantinya tak kunjung tiba, Rama masih
setia menunggu Kiara akan keputusan Ayahnya. Tapi apalah daya, sepertinya Kiara
telah menghilang ditelan titian masa.
Hingga ketika malam kembali menawarkan bias purnama, Rama masih
tetap setia dengan kidung cintanya yang berbuah simalakama
Ini adalah purnamanya yang ke dua belas, jika memang Kiara bukanlah
sosok bidadari yang akan menemaninya dalam meretas ridho-Nya, maka, segalanya
kini telah dipasrahkan. Rama hanya berdo’a dalam diamnya, berharap Tuhan
mengirimkan sesosok bidadari surga seperti yang telah Rama impikan.
PPAI, 31122013
*Cerita ini telah terangkum dalam Buku Antologi Cerpen "Romantika Cinta Remaja #2" - Panji Publisher 2014
0 komentar:
Posting Komentar