Cerpen: Muhrodin “AM”

***
Aku mengurai senyum demi mendengar pengakuanmu;
“Aku bahagia bisa bersamamu,
Mas.” katamu, saat kita tengah merajut cerita di tepian pantai Teluk Penyu. Ini
bukan kali pertama kita bercerita pada laut, pada debur ombak, dan pada senja
yang biasnya menawarkan keindahan. Tapi, rasa bahagia dan keindahah pantai ini
masih tetap sama seperti ketika pertama kita bermain-main dengan ombak
dan lautnya. Sesekali kita melukis sketsa cinta di atas pasir. berjalan
menyusuri tiap pantainya, menikmati semilir angin dan siluet senja yang membias
di batas cakrawala. Aih, indahnya. Panorama eksotik yang banyak melukiskan
kenangan indah saat-saat kita bersama. Namun semua itu ternyata harus luruh,
laiknya lukisan cinta di atas pasir yang terempas ombak. Kau telah pergi meninggalkanku
untuk waktu yang sampai kapan aku tak tahu.
Kita pernah berjanji mengukir
mimpi, merajut cinta pada semburat senja. Berharap itu bukanlah sekedar asa,
namun akan menjadi nyata dan bermuara pada untaian bahagia; Semoga…
“Aku akan melanjutkan studyku
di Maroko, Mas. Kakakku menghendaki aku untuk belajar disana,” dalam lirih
engkau berkata, dan aku hampir tak mendengarnya.
Semilir angin menampar pipiku,
selayak kekatamu yang baru saja terlontarkan. Beberapa detik aku terdiam.
Mencoba menyelami kedalaman nyeri di ulu hati.
“Cinta itu tidak menyakiti,
namun cinta itu mengerti dan juga mengasihi…” Batinku dalam hati. Kurasakan sungguh ada yang
bergemuruh dalam dadaku, menyesakkan tiap pernapasanku.
Ya, kau memang pernah berkisah sebelumnya, setelah lulus sekolah
nanti, kau akan melanjutkan studymu di Maroko bersama kakakmu yang
sudah lima tahun berada di sana. Tapi bahkan aku telah lupa akan hal itu, lupa
akan luka yang dulu sempat tercipta, karena ketulusan cintamulah yang mampu
meredamkannya, tapi hari ini, kau kembali mengingatkannya…
“Kapan kamu akan berangkat,
Dinda?” tanyaku masih dengan hati yang bergemuruh.
Kau terdiam. Mungkin saja tengah
merangkai kata yang tepat untuk menjawabnya. Agar tak ada luka di antara
kita.
“Besok.” Jawabmu mantap.
“Secepat itu kah, Dinda?”
Aku masih tak percaya, secepat
ini kita akan berpisah.
Masih ingatkah kau saat kita
tengah merajut cinta di tepian samudera dengan nyanyian rindu nan syahdu? Masih ingatkah kau tentang ketulusan cinta
yang terbaca pada guratan merah saga di ujung senja? Dan, masih ingatkah kau
tentang lukisan cinta disetiap bulir pasir yang menjadi saksinya? Mengingat itu
hatiku kelu. Ada sebait badai yang
bertahta di istana jiwa…
***
Seratus delapan puluh purnamana
aku di sini, menyatu bersama laut yang serasa mati dan sunyi. Rinduku padamu
tak lagi dapat tereja dengan bait-bait aksara, bahkan kedalaman lautanpun tak
mampu untuk mengukurnya. Setiap senja datang menyapa, kuberharap mampu
menemukan bayanganmu di tepian pantai dengan seulas senyum dan lambaian
tangan sebagai isyarat rindumu padaku, atau kau akan kembali melukiskan kata
cinta dan nyanyian rindu seperti dulu. Seperti di mana cinta benar-benar
milik kita berdua, sebenar cinta tak lagi saling mendedah lara. Namun
sepertinya semua itu teramat fiksi, hanya bayang-bayang ilusi yang melesap jauh
terbawa mimpi...
Kulihat burung-burung saling
berkejaran, berkicau merdu mendayu-ndayu dan sesekali menghampiriku, mungkin
mereka tak lagi asing melihat lelaki legam yang terdiam sempurna dengan penampilan
yang buruk rupa. Atau mereka turut berduka dan merasa iba menyaksikan keadaanku
yang selalu saja menanti datangnya senja, bersama surupnya mega di ujung
samudera, bayangan jasadku terlihat seperti setitik noktah yang tak berharga. Sepi, sunyi, lautan ini serasa mati. Semati rasaku
yang tak lagi dapat kutafsiri akan cinta dan rinduku yang kini teramat
menyakiti.
---
Sudah genap lima belas tahun aku
menantimu. Samar-samar kembali kuingat saat terakhir kita menikmati debur ombak
di pantai Teluk Penyu. Sebelum kau meninggalkanku, kau memintaku untuk kembali
melukiskan sketsa cinta di atas pasir dengan reranting kayu. “I Love
You”. Tak lain dan tak bukan itu adalah untuk mengabadikan cinta kita,
itu katamu. Sebelum kamu benar-benar meninggalkanku untuk waktu yang sampai
kapan aku tak tahu…
“Papa, buatkan aku lukisan di
atas pasir,” pinta seorang bocah kecil dengan tawa yang menghiasi tiap
langkahnya.
Bocah itu, dengan senyum lugunya
menggandeng tangan seorang wanita dan seorang pria yang mungkin umurnya hampir
sama denganku.
Sesekali kaki kecilnya
bermain-main dengan deburan ombak, dan sekali lagi kudengar kalimat itu.
Kalimat yang mampu mengingatkan aku pada ombak dan lautmu…
“ Papa, aku mau melukis di atas
pasir.”
Aku mendekat. Dan kulihat bocah
kecil itu mengeratkan pegangannya kepada Ibu dan Ayahnya.
“Ma, dia siapa?” Tanya bocah itu
lugu
“Dia bukan siapa-siapa. Mungkin
dia orang gila.” Jawab Ibunya sambil terus berjalan menjauh menyusuri pantai
dengan deburan ombak yang tak lagi ramah untuk dikenang.
Bahkan kau telah lupa akan rupaku, bahwa akulah lelakimu yang dulu
pernah menjadi tambatan untuk hatimu yang diredam rindu. Aku tahu, itu adalah
kamu, Dindaku. Dan mungkin bocah kecil itu adalah buah hatimu dan lelaki itu
adalah Suamimu…
Serasa ada yang menusuk relung
hatiku. Kau telah melupakan janji kita. Lukisan cinta yang kau anggap mampu
mengabadikan cinta kita ternyata hanya untaian kata-kata tanpa makna.
Ingin aku menyatu dengan deru
ombak, dengan lautan yang warnanya telah menghitam. Aku ingin abadi dalam
gelombang samudera, yang deburnya tak pernah terhenti sebelum Tuhan
menghendakinya. Agar tak ada lagi cinta, tak ada lagi rasa bernama luka yang
merasuk kedalam sukma…
***
Penjara
Suci, 01122013*
0 komentar:
Posting Komentar