Penyihir Aksara (Malaikat Salju)

Do'a Kalimat Pena By. Muhrodin "AM"

16
April

Cerpen: Muhrodin “AM”


***
            Aku mengurai senyum demi mendengar pengakuanmu;
“Aku bahagia bisa bersamamu, Mas.” katamu, saat kita tengah merajut cerita di tepian pantai Teluk Penyu. Ini bukan kali pertama kita bercerita pada laut, pada debur ombak, dan pada senja yang biasnya menawarkan keindahan. Tapi, rasa bahagia dan keindahah pantai ini masih tetap sama seperti ketika pertama kita bermain-main dengan ombak  dan lautnya. Sesekali kita melukis sketsa cinta di atas pasir. berjalan menyusuri tiap pantainya, menikmati semilir angin dan siluet senja yang membias di batas cakrawala. Aih, indahnya. Panorama eksotik yang banyak melukiskan kenangan indah saat-saat kita bersama. Namun semua itu ternyata harus luruh, laiknya lukisan cinta di atas pasir yang terempas ombak. Kau telah pergi meninggalkanku untuk waktu yang sampai kapan aku tak tahu.
Kita pernah berjanji mengukir mimpi, merajut cinta pada semburat senja. Berharap itu bukanlah sekedar asa, namun akan menjadi nyata dan bermuara pada untaian bahagia; Semoga…
“Aku akan melanjutkan studyku di Maroko, Mas. Kakakku menghendaki aku untuk belajar disana,” dalam lirih engkau berkata, dan aku hampir tak mendengarnya.
Semilir angin menampar pipiku, selayak kekatamu yang baru saja terlontarkan. Beberapa detik aku terdiam. Mencoba menyelami kedalaman nyeri di ulu hati.
“Cinta itu tidak menyakiti, namun cinta itu mengerti dan juga mengasihi…” Batinku dalam hati. Kurasakan sungguh ada yang bergemuruh dalam dadaku, menyesakkan tiap pernapasanku.
Ya, kau memang pernah berkisah sebelumnya, setelah lulus sekolah nanti, kau akan melanjutkan studymu di Maroko bersama kakakmu yang sudah lima tahun berada di sana. Tapi bahkan aku telah lupa akan hal itu, lupa akan luka yang dulu sempat tercipta, karena ketulusan cintamulah yang mampu meredamkannya, tapi hari ini, kau kembali mengingatkannya…
“Kapan kamu akan berangkat, Dinda?” tanyaku masih dengan hati yang bergemuruh.
Kau terdiam. Mungkin saja tengah merangkai kata yang tepat untuk menjawabnya. Agar tak ada luka di antara kita.
“Besok.” Jawabmu mantap.
“Secepat itu kah, Dinda?”
Aku masih tak percaya, secepat ini kita akan berpisah.
Masih ingatkah kau saat kita tengah merajut cinta di tepian samudera dengan nyanyian rindu nan syahdu? Masih ingatkah kau tentang  ketulusan cinta yang terbaca pada guratan merah saga di ujung senja? Dan, masih ingatkah kau tentang lukisan cinta disetiap bulir pasir yang menjadi saksinya? Mengingat itu hatiku kelu. Ada sebait badai yang bertahta di istana jiwa…
***
Seratus delapan puluh purnamana aku di sini, menyatu bersama laut yang serasa mati dan sunyi. Rinduku padamu tak lagi dapat tereja dengan bait-bait aksara, bahkan kedalaman lautanpun tak mampu untuk mengukurnya. Setiap senja datang menyapa, kuberharap mampu menemukan  bayanganmu di tepian pantai dengan seulas senyum dan lambaian tangan sebagai isyarat rindumu padaku, atau kau akan kembali melukiskan kata cinta dan nyanyian rindu seperti dulu. Seperti di mana cinta benar-benar milik kita berdua, sebenar cinta tak lagi saling mendedah lara. Namun sepertinya semua itu teramat fiksi, hanya bayang-bayang ilusi yang melesap jauh terbawa mimpi...
Kulihat burung-burung saling berkejaran, berkicau merdu mendayu-ndayu dan sesekali menghampiriku, mungkin mereka tak lagi asing melihat lelaki legam yang terdiam sempurna dengan penampilan yang buruk rupa. Atau mereka turut berduka dan merasa iba menyaksikan keadaanku yang selalu saja menanti datangnya senja, bersama surupnya mega di ujung samudera, bayangan jasadku terlihat seperti setitik noktah yang tak berhargaSepi, sunyi, lautan ini serasa mati. Semati rasaku yang tak lagi dapat kutafsiri akan cinta dan rinduku yang kini teramat menyakiti.
---
Sudah genap lima belas tahun aku menantimu. Samar-samar kembali kuingat saat terakhir kita menikmati debur ombak di pantai Teluk Penyu. Sebelum kau meninggalkanku, kau memintaku untuk kembali melukiskan sketsa cinta di atas pasir dengan reranting kayu. “I Love You”. Tak lain dan tak bukan itu adalah untuk mengabadikan cinta kita, itu katamu. Sebelum kamu benar-benar meninggalkanku untuk waktu yang sampai kapan aku tak tahu…
“Papa, buatkan aku lukisan di atas pasir,” pinta seorang bocah kecil dengan tawa yang menghiasi tiap langkahnya.
Bocah itu, dengan senyum lugunya menggandeng tangan seorang wanita dan seorang pria yang mungkin umurnya hampir sama denganku.
Sesekali kaki kecilnya bermain-main dengan deburan ombak, dan sekali lagi kudengar kalimat itu. Kalimat yang mampu mengingatkan aku pada ombak dan lautmu…
“ Papa, aku mau melukis di atas pasir.”
Aku mendekat. Dan kulihat bocah kecil itu mengeratkan pegangannya kepada Ibu dan Ayahnya.
“Ma, dia siapa?” Tanya bocah itu lugu
“Dia bukan siapa-siapa. Mungkin dia orang gila.” Jawab Ibunya sambil terus berjalan menjauh menyusuri pantai dengan deburan ombak yang tak lagi ramah untuk dikenang.
Bahkan kau telah lupa akan rupaku, bahwa akulah lelakimu yang dulu pernah menjadi tambatan untuk hatimu yang diredam rindu. Aku tahu, itu adalah kamu, Dindaku. Dan mungkin bocah kecil itu adalah buah hatimu dan lelaki itu adalah Suamimu…
Serasa ada yang menusuk relung hatiku. Kau telah melupakan janji kita. Lukisan cinta yang kau anggap mampu mengabadikan cinta kita ternyata hanya untaian kata-kata tanpa makna.
Ingin aku menyatu dengan deru ombak, dengan lautan yang warnanya telah menghitam. Aku ingin abadi dalam gelombang samudera, yang deburnya tak pernah terhenti sebelum Tuhan menghendakinya. Agar tak ada lagi cinta, tak ada lagi rasa bernama luka yang merasuk kedalam sukma…
***
  Penjara Suci, 01122013*


0 komentar:

Posting Komentar

X-Steel - Link Select

About this blog

Diberdayakan oleh Blogger.

Arsip Blog

salju

Blog Archive