Penyihir Aksara (Malaikat Salju)

Do'a Kalimat Pena By. Muhrodin "AM"

18
April

By. Muhrodin “AM”*
***

            Ayah…
Adakah kasih sayang seindah syurga yang engkau suguhkan untuk Putra-putrimu? Kasih sayang yang tulus dari seorang Ayah, sang pahlawan dalam hidup yang penuh terjal dan berliku. Ayah, itu sosokmu. Jasamu tak akan mungkin dapat terbalaskan, meski seribu gunung kupersembahkan dan sejuta bintang aku berikan.
            Hanya untaian do’a suci, dalam setiap sujud tahajjudku, yang dapat kusematkan untuk Ayah yang jauh diseberang samudera.
“Allohummaghfirli dzunubi wali waalidaya warhamhuma kamaa robbayani soghiro…”.
Dalam diam, Aku mengagumi sosok seperti Ayah. Kasih sayang yang Ayah berikan, tanggungjawab yang Ayah lakukan, segalanya, membuat aku harus berpikir seribu kali tiap akan membantah kata-katanya.
Sayang, Ayah terlalu banyak diam tiap kali kami melakukan kesalahan. Ananda mengerti, Ayah adalah orang yang tegas setiap memberikan keputusan, dengan segala kasih sayang dan rasa sabar yang ayah berikan, Ananda semakin segan jika harus berbagi masalah dengan Ayah.
            Ananda mengerti, Ayah tak akan pernah membiarkan kami dalam kesusahan. Entah bagaimana dan dalam keadaan seperti apa, Ayah akan selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk Putra-putrinya.
Seperti waktu kala, Ayah tengah memanggil ananda untuk sekedar bermusyawarah tentang masalah sekolah. Kupahami, seperti telah menjadi suatu tradisi tak tertulis dalam keluarga kami, setiap ada sesuatu yang menurut Ayah penting dan perlu untuk dimusyawarahkan, maka, Ayah akan memanggil Putra-putrinya untuk membahas dan mencari jalan tengahnya.
Entah bagaimana caranya…
Sebelumnya, telah kupahami. Ayah melarangku untuk melanjutkan sekolah keperguruan tinggi. Melihat keadaan ekonomi keluarga kami yang morat-marit, harus mengurus kebutuhan kakak-kakakku, kupikir Ayah seperti tak mampu untuk membiayaiku. Namun, keinginanku untuk melanjutkan sekolah begitu kuat. Apapun alasannya, aku harus sekolah.
Itu tekadku, namun terkadang aku berpikir, aku terlalu kejam. Ayah yang telah mendidikku hingga kini, menyekolahkanku hingga lulus SMA, aku masih bergantung, bahkan memaksa agar Ayah tetap mau membiayai sekolahku.
“Untuk satu tahun ini, kamu sekolahnya berhenti dulu. Besok kalau Ayah sudah mempunyai risky, kamu pasti bisa meneruskan sekolah lagi”. Ayah berkata penuh kasih sayang.
Tapi aku, tak kuasa tuk menahan tangisku.
“Ananda ingin terus sekolah, Ayah…”. Egoku dulu sebelum aku benar-benar mengerti akan pengorbanan dan perjuangan seorang Ayah.
Semua itu adalah yang terbaik untukku, namun aku, terlanjur telah dikalahkan oleh hawa nafsu dan oleh egoku. Aku memaksa Ayah hingga Ibu akhirnya yang tak tega melihat putranya terus tertekan dalam keterpurukan.
Ayah hanya diam, dulu hingga kini, sifat Ayah tak pernah berubah. Separah apapun kami menyakiti Ayah, namun Ayah tetap sayang dan terus bersabar dalam mendidik kami.
Tahukah kalian sobat…
Bagaimana sosok ayah mencari nafkah untuk membiayai hidup dan sekolah kami. Sejak pagi buta hingga petang datang menyapa, Kantor ayah adalah ‘ladang pesawahan’, kerja keras Ayah hingga bercucuran keringat karena sengatan panas sang surya, bahkan gemuruh dan guyuran air hujan tak pernah Ayah hiraukan.
Semua itu demi keluarga kami…
Ayah tak pernah alpa ataupun libur, seperti Anak-anak sekolah ataupun pegawai kantoran. Ayah akan pulang jika waktu tengah beranjak, matahari lurus tepat diatas batas cakrawala.
Istirahat sejenak, untuk melaksanakan ibadah sholat dzuhur, dan kembali lagi bekerja, dan begitulah seterusnya…
Ayah mau istirahat dirumah, jika memang keadaannya tak memungkinkan untuk tetap bekerja, atau kata lain, –Ayah tengah sakit-. Itupun ibu yang memaksa agar Ayah tetap menjaga kesehatannya.
Dimataku, Ayah adalah sosok pahlawan tanpa tanda jasa. Yang mencurahkan segalanya, namun tak pernah meminta Apa-apa. Hanya untain do’a, yang Ayah harapkan dari Anak cucunya, agar kelak kami dapat berkumpul kembali ditempat keabadian yang telah Allah ridloi.
Kasih sayangnya bagai samudera luas, yang tak pernah sirna untuk Putra-putrinya hingga akhir nanti, hingga esok, kami akan dipertemukan kembali disyurga-Nya yang abadi…
Ayah, ini janji kami. Meski mungkin kasih sayang Ayah tak akan pernah bisa terbalaskan, namun kami akan tetap berusaha memberikan yang terbaik untuk Ayah. Untain do’a suci kami selalu menyertai Ayah…

Kebahagiaan dan senyum Ayah, adalah satu dari seribu harapan yang terpatri dalam diri ini. Untuk Ayah tercinta, sosok pahlawan tanpa tanda jasa.:).

*Cerita ini telah terangkum dalam Buku Antologi Cerpen "Kepada Ayah #6" - Penerbit Harfeey 2013

0 komentar:

Posting Komentar

X-Steel - Link Select

About this blog

Diberdayakan oleh Blogger.

Arsip Blog

salju

Blog Archive