Penyihir Aksara (Malaikat Salju)

Do'a Kalimat Pena By. Muhrodin "AM"

16
April

Cerpen : Muhrodin “AM”
***
Prolog
            “Argh…”
Rama mulai merutuki dirinya sendiri yang tak lagi mampu bermain dengan kata-kata, imaji yang biasanya selalu memberikan kepuasan setelah mencipta sebuah cerita dengan gaya bahasa yang penuh rima dan prosa, kini, ia mulai didera rasa putus asa yang kian meraja.
Berlembar-lembar coretan tintanya terbuang sia-sia, hanya ingin membuat alur cerita yang mengalir laiknya air tejun yang mampu menghanyutkan tiap pembacanya, kini , tak ada lagi prakata yang tersisa. Semuanya luruh, hilang bersama kamus diksi yang tak lagi dapat untuk sekedar dipertahankan dalam sketsa ingatannya.
            Sejak dua bulan lalu, ketika Rama tengah merasakan di ambang kebahagiaan, Karena dapat menerbitkan Antologi Cerpen dan Puisinya, namun di situ pula, semua tentang fantasinya harus terbuang tak tersisa. Ia terempas, terjatuh dengan darah yang memenuhi sekujur tubuhnya, hingga ia harus menjalani operasi untuk yang kedua kalinya, setelah sebelumnya, dulu ketika ia masih duduk dibangku SD ia merasakan trauma, karena benturan aspal di kepalanya mampu membuat ia harus rela terus-menerus merasakan sakit yang luar biasa.
Tragis!
Sejak saat itulah, Rama selalu mencurahkan segala rasa dan imajinya dalam bahasa kata yang penuh warna dan pesona. Hingga setitik mimpinya kini mampu tercipta. Rama telah Menerbitkan Antologi Cerpen ’Menggapai Mimpi’ dan Antologi Puisinya ‘Kanvas Dalam Lukisan’.
            Itu masa lalu, yang terlalu indah jika sekedar untuk dikenang. Karena pikirannya kini telah berbeda, sebatas untuk mengerti siapa dirinya? Ia pun harus bertarung penuh dengan segenap jiwa dan raganya.
            Rama terpekur, diam tanpa kata dalam gelap lentera malam yang selalu membayangi tiap hening dan kesunyian yang terus menemaninya.
***
Flash Back
Rama begitu bahagia, karena tiap kalimat yang dirangkainya tak pernah lagi sia-sia. Tak kurang dari puluhan ceritanya telah masuk dalam deretan nominator pada tiap Event Story yang selalu diikutinya. Hingga nama ‘Ramadika Satria’ mulai merambah pada dunia literasi di belantara bumi persada.
***
Ada luka yang terselip dalam sukmanya, Ketika suatu waktu Rama mengikuti Event di sebuah Penerbit di Jakarta bersama teman-teman dunia nyata dan dunia mayanya.
Namun, ada seorang teman Rama yang mengikutinya dengan langkah dan cara yang tak bisa untuk dikatakan ‘benar’. Ia berani memplagiat karya sastrawan muda yang sempurna di copy paste dari sebuah blog di google. Rama merasa muak. Batinnya terbakar, hatinya berontak, ia benci dengan seorang plagiator. Dan yang sangat membuat hatinya benar-benar terluka, naskah cerita yang diplagiat oleh seorang sahabatnya, telah lolos seleksi dan akan segera terbit di seluruh Indonesia dalam Antologi Bersama. Ia tak habis pikir… sebuah penerbit yang cukup terkenal di wilayah negerinya tercinta pun, tak mampu mendeteksi keabsahan tiap naskah yang akan diterbitkannya. Apakah mereka Alpa? Atau sekedar khilaf karena kurangnya wawasan dalam dunia Fiksi yang semakin hari semakin membanjiri dunia literasi? Entahlah...
Dan Rama mengetahuinya setelah ia melihat dan membaca langsung naskah cerita sahabatnya yang telah masuk nominator, sedang naskah Rama tak terbaca dan entah di mana kini bermuara. Mungkin telah masuk dalam Spam yang sudah tak lagi layak untuk sekedar dikonsumsi apalagi untuk sampai dimuat di Media.
Tak apa, karena bagi Rama, dalam sebuah event lomba, Juara Bukanlah Yang Utama. Akan tetapi bagaimana ia terus bisa mengembangkan gaya imaji dan fantasinya dalam merangkai kata-kata, hingga tercipta sebuah cerita yang sastranya mampu dan terus  menghanyutkan laiknya gelombang cinta dalam lautan asmara. Asal saja, itu bukanlah karya hasil plagiasi seperti yang  telah dilakukan oleh sahabatnya.
“Andai saja kau tahu, betapa plagiat itu bukanlah kepribadian seorang penulis yang memiliki confidd yang tinggi. Akan tetapi, itu adalah ia yang memiliki perasaan pesimistis yang tak seharusnya terselip dalam setitik hati yang suci. Dan plagiasi itu? Sungguh hanya akan menenggelamkan namamu dalam dunia literasi yang sedang kamu geluti. Dan andai saja kau mengerti… itu, bisa menjerumuskan sang plagiatornya masuk kedalam jeruji besi yang akan membawa penyesalan tak berkesudahan.” Rama sangat menyayangkan akan kepribadian sahabatnya yang ia anggap tidak lebih bodoh dari dirinya dalam merangkai kata-kata. Ramuan diksinya yang sedikit mampu meliuk-liuk hingga menggetarkan adrenalin tiap sesiapa yang membacanya, tapi kenapa? kenapa harus melakukan hal yang Rama anggap sangat tidak pantas itu. Sungguh, Rama tak habis pikir…
Hingga Rama ingat pada suatu masa, ketika ia tengah menggalang dengan rekan-rekan penulis pemula untuk mengadakan event lomba cipta puisi islami. Kejadian seperti itu lagi-lagi harus Rama temui. Ia yang menjadi Juri, sedikit dilema dalam menentukan siapakah yang layak untuk menjadi pemenangnya. Rama menemukan satu naskah puisi yang nyaris tanpa cela. Speechless Rama membacanya. Hingga lagi-lagi, ia begitu bodoh. Pada luasnya dunia, ia tak mampu membaca bahasa diksi yang terbaca jelas di depan matanya.
Setelah menjatuhkan naskah -yang ternyata hasil dari ‘plagiat’-  itu menjadi juara pertama. Rama seperti tertampar. Lagi-lagi hatinya terkoyak, karena telah membaca sepenggal bait puisi karya ‘Kahlil Gibran’ yang pernah membuat separuh hatinya diambang dilema untuk menentukan siapa yang seharusnya layak menjadi sang juara!? Tapi… semuanya telah terlambat. Hingga ia hanya mampu merutuki kebodohannya yang terus menyelinap dalam sekeping hatinya yang kian sunyi.
***
Epilog
Rama tersenyum dalam sepenggal kisah yang tak lagi dapat dicerna. Ia membaca ada ‘Sayembara Sastra Puisi dan Cerpen’ di sebuah penerbit di google. Ia yakin, Sahabatnya yang dulu pernah bersama-sama belajar menerjemahkan bahasa bintang, akan mengikuti sayembara itu. Pasti… !
Dalam diamnya, yang tak lagi dapat merangkai kata-kata laiknya syair langit. Rama memejamkan mata, hatinya menguntai do’a…
Meski kini asanya tak lagi dapat mengembara bersama embun imaji, aksara dan fantasi. Tapi ia berharap, semoga sahabatnya yang dulu pernah bersama, akan melanjutkan misinya ‘Menggapai Impian’, menaklukkan dunia dengan karya-karya yang nantinya akan mengabadikan namanya dalam sejarah kehidupan.
Dan yang pasti, setelah mengerti Plagiat itu akan membuat kesucian sastra yang sejatinya akan hilang, bahkan tenggelam bersama nama yang menjadi ‘Tuhan’ bagi tiap karangannya. Semoga tak lagi ada karya ‘plagiasi’ di antara bait-bait rima dalam cerita yang kini dan nanti akan terus tercipta dari tarian pena sahabatnya.
Untaian  do’a sucinya, sebelum Rama benar-benar pasrah dalam dimensi ruang dan waktu yang berbeda.
Dunia sunyi  yang kian merajai hatinya, kini ia jalani bersama sepenggal kisah dalam dinamika permadani kehidupan, laiknya warna-warni pelangi  yang tercipta setelah nyanyian hujan.
 Di batas cakrawala, Rama benar-benar melihat bianglala yang melengkung mewarnai senja, bersama rinai hujan yang menemani langkahnya, sepertinya ia telah mengerti, di mana kisahnya akan bermuara …
***
Kampus Biru, 14 Maret 2013*


0 komentar:

Posting Komentar

X-Steel - Link Select

About this blog

Diberdayakan oleh Blogger.

Arsip Blog

salju

Blog Archive