Cerpen : Muhrodin “AM”
***
“Argh…”
Rama mulai merutuki dirinya sendiri yang tak lagi mampu bermain dengan
kata-kata, imaji yang biasanya selalu memberikan kepuasan setelah mencipta
sebuah cerita dengan gaya bahasa yang penuh rima dan prosa, kini, ia mulai
didera rasa putus asa yang kian meraja.
Berlembar-lembar coretan tintanya terbuang sia-sia, hanya
ingin membuat alur cerita yang mengalir laiknya air tejun yang mampu
menghanyutkan tiap pembacanya, kini , tak ada lagi prakata yang tersisa.
Semuanya luruh, hilang bersama kamus diksi yang tak lagi dapat untuk sekedar
dipertahankan dalam sketsa ingatannya.
Sejak dua bulan lalu, ketika Rama
tengah merasakan di ambang kebahagiaan, Karena dapat menerbitkan Antologi Cerpen
dan Puisinya, namun di situ pula,
semua tentang fantasinya harus terbuang tak tersisa. Ia terempas, terjatuh
dengan darah yang memenuhi sekujur tubuhnya, hingga ia harus menjalani operasi untuk yang kedua kalinya, setelah
sebelumnya, dulu ketika ia masih duduk dibangku SD ia merasakan trauma, karena
benturan aspal di kepalanya
mampu membuat ia harus
rela terus-menerus merasakan sakit yang luar biasa.
Tragis!
Sejak saat itulah, Rama selalu mencurahkan segala rasa dan
imajinya dalam bahasa kata yang penuh warna dan pesona. Hingga setitik mimpinya
kini mampu tercipta. Rama telah Menerbitkan Antologi Cerpen ’Menggapai Mimpi’
dan Antologi Puisinya ‘Kanvas Dalam Lukisan’.
Itu masa lalu, yang terlalu indah
jika sekedar untuk dikenang. Karena pikirannya kini telah berbeda, sebatas
untuk mengerti siapa dirinya? Ia pun harus bertarung penuh dengan segenap jiwa dan
raganya.
Rama terpekur, diam tanpa kata dalam
gelap lentera malam yang selalu membayangi tiap hening dan kesunyian yang terus
menemaninya.
***
Flash Back
Rama begitu bahagia, karena tiap kalimat yang dirangkainya
tak pernah lagi sia-sia. Tak kurang dari puluhan ceritanya telah masuk dalam
deretan nominator pada tiap Event Story yang selalu diikutinya. Hingga
nama ‘Ramadika Satria’ mulai merambah pada dunia literasi
di belantara
bumi persada.
***
Ada luka yang terselip dalam sukmanya, Ketika suatu waktu Rama
mengikuti Event di sebuah Penerbit di Jakarta bersama teman-teman dunia
nyata dan dunia mayanya.
Namun, ada seorang teman Rama yang mengikutinya dengan
langkah dan cara yang tak bisa untuk dikatakan ‘benar’. Ia berani memplagiat karya sastrawan muda yang
sempurna di copy paste dari sebuah blog di google. Rama merasa muak.
Batinnya terbakar, hatinya berontak,
ia benci dengan seorang plagiator. Dan
yang sangat membuat hatinya benar-benar terluka, naskah cerita yang diplagiat oleh seorang sahabatnya,
telah lolos seleksi dan akan segera terbit di seluruh Indonesia dalam Antologi
Bersama. Ia tak habis pikir… sebuah penerbit yang cukup terkenal di wilayah
negerinya tercinta pun, tak mampu mendeteksi keabsahan tiap naskah yang akan
diterbitkannya. Apakah mereka Alpa? Atau sekedar khilaf karena kurangnya
wawasan dalam dunia Fiksi yang semakin hari semakin membanjiri dunia literasi?
Entahlah...
Dan Rama mengetahuinya setelah ia melihat dan membaca langsung
naskah cerita sahabatnya yang telah masuk nominator, sedang naskah Rama tak
terbaca dan entah di mana kini
bermuara. Mungkin telah masuk dalam Spam yang sudah tak lagi layak untuk
sekedar dikonsumsi apalagi untuk sampai dimuat di Media.
Tak apa, karena bagi Rama, dalam sebuah event lomba,
‘Juara Bukanlah Yang Utama’. Akan tetapi bagaimana ia terus bisa mengembangkan gaya imaji
dan fantasinya dalam merangkai kata-kata, hingga tercipta sebuah cerita yang
sastranya mampu dan terus menghanyutkan
laiknya gelombang cinta dalam lautan asmara. Asal saja, itu bukanlah karya hasil
plagiasi seperti yang telah dilakukan oleh
sahabatnya.
“Andai saja kau tahu, betapa plagiat itu bukanlah
kepribadian seorang penulis yang memiliki confidd yang tinggi. Akan tetapi, itu
adalah ia yang memiliki perasaan pesimistis yang tak seharusnya terselip dalam
setitik hati yang suci. Dan plagiasi itu? Sungguh hanya akan menenggelamkan namamu
dalam dunia literasi yang sedang kamu geluti. Dan andai saja kau mengerti… itu,
bisa menjerumuskan sang plagiatornya masuk kedalam jeruji besi yang akan
membawa penyesalan tak berkesudahan.” Rama sangat menyayangkan akan kepribadian
sahabatnya yang ia anggap tidak lebih bodoh dari dirinya dalam merangkai
kata-kata. Ramuan diksinya yang sedikit mampu meliuk-liuk hingga menggetarkan
adrenalin tiap sesiapa yang membacanya, tapi kenapa? kenapa harus melakukan hal yang
Rama anggap sangat tidak pantas itu. Sungguh, Rama tak habis pikir…
Hingga Rama ingat pada suatu masa, ketika ia tengah
menggalang dengan rekan-rekan penulis pemula untuk mengadakan event lomba cipta puisi islami.
Kejadian seperti itu lagi-lagi harus Rama temui. Ia yang menjadi Juri, sedikit
dilema dalam menentukan siapakah yang layak untuk menjadi pemenangnya. Rama
menemukan satu naskah puisi yang nyaris tanpa cela. Speechless Rama
membacanya. Hingga lagi-lagi, ia begitu bodoh. Pada luasnya dunia, ia tak mampu
membaca bahasa diksi yang terbaca jelas di depan matanya.
Setelah menjatuhkan naskah -yang ternyata hasil dari
‘plagiat’- itu menjadi juara pertama.
Rama seperti tertampar. Lagi-lagi hatinya terkoyak, karena telah membaca
sepenggal bait puisi karya ‘Kahlil Gibran’ yang pernah membuat separuh hatinya
diambang dilema untuk menentukan siapa yang seharusnya layak menjadi sang
juara!? Tapi… semuanya telah terlambat. Hingga ia hanya
mampu merutuki kebodohannya yang terus menyelinap dalam sekeping hatinya yang kian
sunyi.
***
Epilog
Rama tersenyum dalam sepenggal kisah yang tak lagi dapat dicerna.
Ia membaca ada ‘Sayembara Sastra Puisi dan Cerpen’ di sebuah penerbit di google. Ia yakin, Sahabatnya
yang dulu pernah bersama-sama belajar menerjemahkan bahasa bintang, akan
mengikuti sayembara
itu. Pasti… !
Dalam diamnya, yang tak lagi dapat merangkai kata-kata
laiknya syair langit. Rama memejamkan mata, hatinya menguntai do’a…
Meski kini asanya tak lagi dapat mengembara bersama embun imaji,
aksara dan fantasi. Tapi ia berharap, semoga sahabatnya yang dulu pernah
bersama, akan melanjutkan misinya ‘Menggapai Impian’, menaklukkan dunia dengan
karya-karya yang nantinya akan mengabadikan namanya dalam sejarah kehidupan.
Dan yang pasti, setelah mengerti Plagiat itu akan membuat kesucian
sastra yang sejatinya akan hilang, bahkan tenggelam bersama nama yang menjadi ‘Tuhan’ bagi tiap karangannya. Semoga
tak lagi ada karya ‘plagiasi’ di antara bait-bait rima dalam cerita
yang kini dan nanti akan terus tercipta dari tarian pena sahabatnya.
Untaian do’a sucinya,
sebelum Rama benar-benar pasrah dalam dimensi ruang dan waktu yang berbeda.
Dunia sunyi yang kian
merajai hatinya, kini ia jalani bersama sepenggal kisah dalam dinamika permadani
kehidupan, laiknya warna-warni pelangi yang
tercipta setelah nyanyian hujan.
Di batas cakrawala,
Rama benar-benar melihat bianglala yang melengkung mewarnai senja, bersama
rinai hujan yang menemani langkahnya, sepertinya ia telah mengerti, di mana kisahnya akan bermuara …
***
Kampus Biru, 14 Maret 2013*
0 komentar:
Posting Komentar