Cerpen: Muhrodin “AM”
“
Qola muhammadun huwabnu maliki….
Ahmadu robbillaha khoiro maliki…
Musholliyan ‘alannabiyyil mushthofa….
Wa alihil mustakmilina syarofa…
Wa asta’inullaha fi alfiyah…
Maqoshidunnahwi biha mahwiyyah….
“
Suara
Muhafadzoh kitab Alfiyah Ibnu Malik karangan Syeikh Jamaludin
Ibnu Malik, yang di‘suluk’kan oleh seorang santri Pondok-pesantren
Tahfidzul Qur’an, begitu menyayat qalbu. Suaranya menggetarkan jiwa, menawar
airmata bagi sesiapa yang mendengarkannya. Tak terkecuali Ilyas, santri dari
Sumatera yang baru beberapa tahun menimba ilmu disini. Ia sampai menitikkan
airmatanya.
“Sudah
mulai hafalan Alfiyahnya, ‘kan?” Tanya Ustadz Yahya kepada Ilyas, yang tengah
duduk di sampingnya untuk mendengarkan Muhafadzoh itu.
“Sudah,
Tadz. insyaAllah tahun depan sudah khatam.”
“Bagus
kalau begitu. Semoga bisa istiqomah, ya?” lanjutnya, sebelum akhirnya
Ustadz Yahya kembali khusyu’ mengikuti acara Imtikhan Akhirussanah.
Usai
acara diisi dengan pentas seni. Masing-masing komplek menunjukkan kreasinya.
Dari membaca puisi, drama, teather, dan lain-lain. Ilyas yang kebetulan
mencintai keindahan diksi, malam ini ia diminta untuk membacakan puisinya di
depan panggung…
***
Malam kian larut. Nampaknya malam ini
Ilyas belum mampu untuk memejamkan matanya barang sebentar saja. Entah apa yang
ada dalam benaknya, tapi bilik hatinya ada yang terasa nyeri . Yang membuatnya
mampu untuk terus berlama-lama di depan Masjid dengan buku dan bulpoin di
tangannya.
“
Serupa Kristal bening di matamu
Aku tenggelam bersama rasa yang menelisik di bilik
hati
Tentang rasa yang sulit untuk ditafsiri
Yang terkadang mencipta sebongkah mendung
Atau bias cahaya yang melesap di kedalaman jiwa
Entah apa rasa itu bernama
Namun sepertinya, ada sayap- sayap malaikat
Yang kepaknya menyentuh sukma
Menghunjam diantara jiwa-jiwa yang terluka…
“
Ada sebongkah rindu
yang menemani kesendiriannya malam ini, entah rindu kepada keluarganya, kepada
ayahnya yang kini telah tiada, atau kepada bidadari surga yang senyumnya mampu
membuat Ilyas tenggelam di telaga paling didamba.
Ilyas segera menepis
pikirannya tentang wanita di seberang istana, yang akhir-akhir ini selalu hadir
di alam mimpinya. Malam ini ia ingin berdo’a kepada Tuhan untuk Ayahnya di
surga, semoga Ia menempatkan beliau di tempat kesejukan di telaga firdaus-Nya.
“Ayah, maafkan aku…”
Tak terasa,
bulir-bulir airmata itu membasahi kedua pipinya.
Ya, tiba-tiba Ilyas teringat tentang Ayahnya. Seperti
ada ikatan batin yang teramat kuat. Ketika hatinya sedang tak menentu, seketika
itu pula, Ilyas begitu merindukan orang-orang yang sangat dikasihi. Seperti
halnya malam ini, ia begitu merindukan kasih sayang Ayahnya. Nasihat-nasihat
Ayahnya sebelum beliau menghadap kepada yang kuasa kembali merajai hatinya.
“Ayah tak pernah
meminta apa-apa sama kamu, Ilyas. Hanya Ayah berharap, semoga kamu mampu
menjadi anak yang sholeh. Berbakti kepada ke dua orang tua, dan selalu takdzim
dengan ustadz-ustadzmu dan juga para kiyai di Pesantren.”
“Tentang hafalanmu,
Ayah hanya mampu mendo’akan dan merestui, semoga Ilyas selalu dimudahkan dalam
menghafal, dan selalu bersabar tiap mendapatkan rintangan dan cobaan-cobaan
dari Tuhan.”
Semua itu adalah
kata-kata Ayahnya satu tahun lalu, sebelum Ilyas kembali ke pesantren untuk
menuntut ilmu. Ia paham betul, Ayahnya adalah orang yang sangat penyabar, tak
pernah sekalipun Ilyas melihat beliau marah kepada Putra-putranya, tiap kali
ada sesuatu yang membuat hati Ayahnya terluka, sikap diam dan kesabaranlah yang
selalu beliau tunjukkan.
Dan satu dari sekian
kenangan bersama Ayahnya yang tak bisa Ilyas lupakan, beliau selalu
mengumpulkan teman-teman Ilyas tiap tanggal sepuluh bulan Muharram. Beliau
membagi-bagikan beberapa lembar uang kepada teman-teman Ilyas, sebelum akhirnya
mereka makan bersama di dalam rumah yang tampak sederhana.
Namun entah karena
penyakit apa, tiba-tiba saja, setelah dua bulan Ilyas kembali ke Pesantren, ia
mendapat kabar dari Kakaknya kalau Ayahnya telah berpulang kepada sang
pencipta. Sungguh saat itu Ilyas tak mampu menahan segala perih dan sakit yang
merasuk kedalam hatinya. Ia tergugu dalam pilu yang membiru. Ilyas tak pernah
menyangka kalau ia akan secepat itu kehilangan Ayah yang sangat dikasihi dan
juga dikaguminya. Akhirnya ia hanya bisa berpasrah dan berdo’a, semoga Tuhan
mengampuni segala dosa-dosanya dan Tuhan akan menempatkan Ayahnya di tempat
yang mulia di sisi-Nya.
***
Cahaya mentari kembali
menyusup di celah-celah dedaunan. Burung-burung berkicau merdu, semerdu Murattal
yang suaranya terdengar di balik jendela, di atas puncak menara.
Liburan pesantren telah usai, setelah acara Imtikhan
Akhirusanah kemarin, Ilyas memutuskan untuk tetap liburan di Pesantren. Ia
ingin mengisi liburannya dengan semangat penuh menghafal bait-bait Alfiyah yang
jumlahnya hingga seribu dua itu. Ilyas tak mau mengecewakan keluarganya yang
sudah bersusah payah untuk membiayai sekolahnya. Ia ingin membuat keluarganya
bangga, pun Ayahnya yang kini tengah di alam surga agar tersenyum melihatnya.
Berbagai rintangan
telah Ilyas rasakan, sering ia telat menerima kiriman, dijauhi teman-temannya,
hingga yang berkaitan dengan wanitapun kembali hadir di istana hatinya.
Namanya Hana Fitria,
seorang Santriwati dari Banyumas. Sudah sejak lama Ilyas mengaguminya, namun
setelah Ilyas menghafalkan kitab Alfiyah, kembali ia Tajdidun Niyyah
–Memperbaharui Niatnya--, ia ingin istiqomah agar mampu menyelesaikan
hafalannya dengan tidak banyak rintangan. Namun apalah kata, ternyata kini
bayang-bayang bidadari taman surga itu kembali mampu mencuri sebagian waktunya.
Yah, kini ia kerap-kali memikirkannya, padahal Ilyas tak pernah berinteraksi
langsung dengan wanita itu, hanya sesekali ia melihatnya ketika mereka tengah
sama-sama mengaji di Ndalemnya Romo Kiyai. Namun ternyata sinyal
kekaguman itu begitu mampu mendera hatinya.
“Kalau sudah sampai
pada Bab Istighol, banyak-banyaklah bersabar. Karena kata kebanyakan
para penghafal Alfiyah, di situlah Bab dimana uji dan coba itu terasa nyata.
Hingga bagi ia yang tak mampu untuk menghadapinya, biasanya ada yang sampai menjadi
gila.”
“Sampai seperti itu
‘kah, Ustadz?,” Ilyas menimpali kata-kata Ustadz Yahya.
“Sepertinya itu
terlalu berebihan, Tadz.” Sambungnya, Ilyas masih kurang percaya dengan apa
yang didengarnya.
“Dulu ada santri di
sini yang tak kuat untuk menghafalkan kitab Alfiyah, tepat pada Bab
Istighol, santri itu mengalami gangguan jiwa dan pikirannya. Mungkin juga
bukan hanya santri-santri di sini yang pernah mengalami hal semacam itu, tapi
di Pesantren-pesantren Salafiy yang lainpun tak menutup kemungkinan.” Jelas
Ustadz Yahya panjang lebar. Hingga seperti ada yang bergetar di kedalaman hati
Ilyas.
“Allah, berilah
kesabaran yang lebih untuk menghadapi cobaan-cobaan yang mungkin nanti akan
terjadi.”
Do’anya dalam hati.
***
Ilyas merenung di
serambi Masjid. Malam ini cahaya rembulan terlihat sempura. Pendarnya begitu
nyata menyinari alam semesta.
“Hay, kok malah
melamun.” Sontak Ilyas merasa kaget ketika tangan Tegar menyentuh bahunya. Dan
Ilyas hanya tersenyum simpul dengan Kitab yang masih dalam genggaman tangannya,
ketika sahabatnya ikut duduk di sampingnya seraya memandangi cahaya
bintang-gemintang di atas langit terang.
“Sudah sampai Bait
berapa?” Tegar merasa ingin tahu, karena iapun menghafalkan kitab Alfiyah
seperti Ilyas.
“Baru sampai Bait
700,” jawabnya, seraya menutup kitab yang sedari tadi masih terbuka.
“Wah, insyaAllah besok
kita khataman bersama.” Tegar terlihat sangat bahagia. Ia memang sudah khatam
dua minggu yang lalu, dan ia ingin teman-temannyapun cepat khatam, agar ketika
acara Imtikhan Akhirussanah nanti, mereka dapat naik di atas panggung
khataman bersama-sama.
Kata-kata Ustadz Yahya
beberapa hari lalu, masih terngiang jelas di benaknya, Ilyas merasa khawatir
dengan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Ia kerap merasa takut jika ia
tidak mampu untuk menyelesaikan hafalannya, atau Ilyas tak kuat untuk menerima
cobaan-cobaan yang mungkin akan Tuhan berikan. Ia hanya bisa berdo’a
disepertiga malam ketika teman-temannya tengah terlelap dalam mimpi. Melakukan qiyamul lail, berdo’a
untuk keluarganya, untuk ustadz-ustadznya dan juga untuk semua teman-temannya.
Ia ingin proses menghafal kitab Alfiyahnya berjalan dengan lancar, dan nantinya
akan berbuah kesuksesan.
Kembali malam purnama
telah menyapa, sepertinya malam ini Ilyas harus lebih banyak bersyukur kepada
Tuhan, karena atas nikmat-Nya, malam ini hafalan kitab Alfiyahnya telah
selesai.
“Alhamdulillah ya Robb… “ Ilyas bersujud syukur, merasai segala nikmat yang
begitu indah, dihadapan-Nya ia bersimpuh, merapal do’a dan menguntai tasbih
cinta pada Tuhannya…
***
Seperti dalam alam
mimpi Ilyas merasakannya, malam ini ia bersama teman-teman seperjuangannya
menjadi Mutimmin di acara Imtikhan Akhirussanah.
Ibu dan kedua kakak serta adiknya turut menyaksikan
kebahagiaan Ilyas. Malam ini benar-benar menjadi malam yang istimewa. Ilyas
memimpin khatamannya, menyanyikan ‘suluk’ dengan suara yang begitu merdu
hingga memecah keheningan….
Para jama’ah banyak yang dibuatnya menitikkan air
mata, pun orang tua Ilyas yang begitu terharu menyaksikan putranya melafadzkan
bait-bait Alfiyah dengan suara yang menyentuh jiwa. Usai acara khataman, Ilyas
menemui keluarganya yang tengah istirahat di ruang tamu.
“Ayah, Ilyas berjanji
akan menjadi anak yang shaleh, Ilyas akan berusaha untuk menjadi seperti yang
Ayah inginkan.”
Dalam hati Ilyas berkata. Disaat-saat seperti inilah, bayangan Ayahnya selalu
hadir, membuat Ilyas begitu merindukannya.
“Ilyas, ada titipan
buat kamu.” Suara Tegar menyadarkan Ilyas dari lamunan tentang Ayahnya.
“Dari siapa?” Ilyas
tampak penasaran.
Tegar menyodorkan bingkisan dengan kertas kado
berwarna cokelat tua, yang ternyata isinya adalah sebuah kitab Ihya
Ulumiddin dan kitab suci Al-qur’an.
“Dia titip salam buat
kamu, katanya, mulai besok kamu harus mengkaji kitab itu, dan satu lagi, semoga
hafalan Al-qur’anmu sukses,” Ilyas tersipu malu demi mendengar kata-kata itu.
Ya, kado itu adalah
dari sang bidadari yang mencuri hatinya. Ia tak pernah menyangka kalau
sepertinya wanita yang selama ini ia kagumi pun memiliki perasaan yang sama
kepada Ilyas. Tapi tentang hafalan Al-qur’annya, bagaimana ia bisa tahu? Ah,
pasti Tegar yang membocorkannya.
Sekali lagi Ilyas
hanya tersenyum. Terbersit dalam hatinya ingin cepat-cepat mengkhatamkan
hafalan Al-qur’annya, ia sudah tidak sabar lagi untuk segera Mengkhitbah sang
bidadari surga yang sangat dikaguminya; Hanna Fitria…
PPAI,
15122013*
2 komentar:
blog yg begitu menyentuh hati,,,
Harus lebih banyak lagi yang seperti ini.
Posting Komentar