Penyihir Aksara (Malaikat Salju)

Do'a Kalimat Pena By. Muhrodin "AM"

16
April

Cerpen: Muhrodin “AM”
Qola muhammadun huwabnu maliki….
Ahmadu robbillaha khoiro maliki…
Musholliyan ‘alannabiyyil mushthofa….
Wa alihil mustakmilina syarofa…
Wa asta’inullaha fi alfiyah…
Maqoshidunnahwi biha mahwiyyah….

            Suara Muhafadzoh kitab Alfiyah Ibnu Malik karangan Syeikh Jamaludin Ibnu Malik, yang di‘suluk’kan oleh seorang santri Pondok-pesantren Tahfidzul Qur’an, begitu menyayat qalbu. Suaranya menggetarkan jiwa, menawar airmata bagi sesiapa yang mendengarkannya. Tak terkecuali Ilyas, santri dari Sumatera yang baru beberapa tahun menimba ilmu disini. Ia sampai menitikkan airmatanya.
            “Sudah mulai hafalan Alfiyahnya, ‘kan?” Tanya Ustadz Yahya kepada Ilyas, yang tengah duduk di sampingnya untuk mendengarkan Muhafadzoh itu.
            “Sudah, Tadz. insyaAllah tahun depan sudah khatam.”
            “Bagus kalau begitu. Semoga bisa istiqomah, ya?” lanjutnya, sebelum akhirnya Ustadz Yahya kembali khusyu’ mengikuti acara Imtikhan Akhirussanah.
            Usai acara diisi dengan pentas seni. Masing-masing komplek menunjukkan kreasinya. Dari membaca puisi, drama, teather, dan lain-lain. Ilyas yang kebetulan mencintai keindahan diksi, malam ini ia diminta untuk membacakan puisinya di depan panggung…
***
             Malam kian larut. Nampaknya malam ini Ilyas belum mampu untuk memejamkan matanya barang sebentar saja. Entah apa yang ada dalam benaknya, tapi bilik hatinya ada yang terasa nyeri . Yang membuatnya mampu untuk terus berlama-lama di depan Masjid dengan buku dan bulpoin di tangannya.
Serupa Kristal bening di matamu
Aku tenggelam bersama rasa yang menelisik di bilik hati
Tentang rasa yang sulit untuk ditafsiri
Yang terkadang mencipta sebongkah mendung
Atau bias cahaya yang melesap di kedalaman jiwa
Entah apa rasa itu bernama
Namun sepertinya, ada sayap- sayap malaikat
Yang kepaknya menyentuh sukma
Menghunjam diantara jiwa-jiwa yang terluka…
Ada sebongkah rindu yang menemani kesendiriannya malam ini, entah rindu kepada keluarganya, kepada ayahnya yang kini telah tiada, atau kepada bidadari surga yang senyumnya mampu membuat Ilyas tenggelam di telaga paling didamba.
Ilyas segera menepis pikirannya tentang wanita di seberang istana, yang akhir-akhir ini selalu hadir di alam mimpinya. Malam ini ia ingin berdo’a kepada Tuhan untuk Ayahnya di surga, semoga Ia menempatkan beliau di tempat kesejukan di telaga firdaus-Nya.
“Ayah, maafkan aku…”
Tak terasa, bulir-bulir airmata itu membasahi kedua pipinya.
Ya, tiba-tiba Ilyas teringat tentang Ayahnya. Seperti ada ikatan batin yang teramat kuat. Ketika hatinya sedang tak menentu, seketika itu pula, Ilyas begitu merindukan orang-orang yang sangat dikasihi. Seperti halnya malam ini, ia begitu merindukan kasih sayang Ayahnya. Nasihat-nasihat Ayahnya sebelum beliau menghadap kepada yang kuasa kembali merajai hatinya.
“Ayah tak pernah meminta apa-apa sama kamu, Ilyas. Hanya Ayah berharap, semoga kamu mampu menjadi anak yang sholeh. Berbakti kepada ke dua orang tua, dan selalu takdzim dengan ustadz-ustadzmu dan juga para kiyai di Pesantren.”
“Tentang hafalanmu, Ayah hanya mampu mendo’akan dan merestui, semoga Ilyas selalu dimudahkan dalam menghafal, dan selalu bersabar tiap mendapatkan rintangan dan cobaan-cobaan dari Tuhan.”
Semua itu adalah kata-kata Ayahnya satu tahun lalu, sebelum Ilyas kembali ke pesantren untuk menuntut ilmu. Ia paham betul, Ayahnya adalah orang yang sangat penyabar, tak pernah sekalipun Ilyas melihat beliau marah kepada Putra-putranya, tiap kali ada sesuatu yang membuat hati Ayahnya terluka, sikap diam dan kesabaranlah yang selalu beliau tunjukkan.
Dan satu dari sekian kenangan bersama Ayahnya yang tak bisa Ilyas lupakan, beliau selalu mengumpulkan teman-teman Ilyas tiap tanggal sepuluh bulan Muharram. Beliau membagi-bagikan beberapa lembar uang kepada teman-teman Ilyas, sebelum akhirnya mereka makan bersama di dalam rumah yang tampak sederhana.
Namun entah karena penyakit apa, tiba-tiba saja, setelah dua bulan Ilyas kembali ke Pesantren, ia mendapat kabar dari Kakaknya kalau Ayahnya telah berpulang kepada sang pencipta. Sungguh saat itu Ilyas tak mampu menahan segala perih dan sakit yang merasuk kedalam hatinya. Ia tergugu dalam pilu yang membiru. Ilyas tak pernah menyangka kalau ia akan secepat itu kehilangan Ayah yang sangat dikasihi dan juga dikaguminya. Akhirnya ia hanya bisa berpasrah dan berdo’a, semoga Tuhan mengampuni segala dosa-dosanya dan Tuhan akan menempatkan Ayahnya di tempat yang mulia  di sisi-Nya.
***
Cahaya mentari kembali menyusup di celah-celah dedaunan. Burung-burung berkicau merdu, semerdu Murattal yang suaranya terdengar di balik jendela, di atas puncak menara.
Liburan pesantren telah usai, setelah acara Imtikhan Akhirusanah kemarin, Ilyas memutuskan untuk tetap liburan di Pesantren. Ia ingin mengisi liburannya dengan semangat penuh menghafal bait-bait Alfiyah yang jumlahnya hingga seribu dua itu. Ilyas tak mau mengecewakan keluarganya yang sudah bersusah payah untuk membiayai sekolahnya. Ia ingin membuat keluarganya bangga, pun Ayahnya yang kini tengah di alam surga agar tersenyum melihatnya.
Berbagai rintangan telah Ilyas rasakan, sering ia telat menerima kiriman, dijauhi teman-temannya, hingga yang berkaitan dengan wanitapun kembali hadir di istana hatinya.
Namanya Hana Fitria, seorang Santriwati dari Banyumas. Sudah sejak lama Ilyas mengaguminya, namun setelah Ilyas menghafalkan kitab Alfiyah, kembali ia Tajdidun Niyyah –Memperbaharui Niatnya--, ia ingin istiqomah agar mampu menyelesaikan hafalannya dengan tidak banyak rintangan. Namun apalah kata, ternyata kini bayang-bayang bidadari taman surga itu kembali mampu mencuri sebagian waktunya. Yah, kini ia kerap-kali memikirkannya, padahal Ilyas tak pernah berinteraksi langsung dengan wanita itu, hanya sesekali ia melihatnya ketika mereka tengah sama-sama mengaji di Ndalemnya Romo Kiyai. Namun ternyata sinyal kekaguman itu begitu mampu mendera hatinya.
“Kalau sudah sampai pada Bab Istighol, banyak-banyaklah bersabar. Karena kata kebanyakan para penghafal Alfiyah, di situlah Bab dimana uji dan coba itu terasa nyata. Hingga bagi ia yang tak mampu untuk menghadapinya, biasanya ada yang sampai menjadi gila.”
“Sampai seperti itu ‘kah, Ustadz?,” Ilyas menimpali kata-kata Ustadz Yahya.
“Sepertinya itu terlalu berebihan, Tadz.” Sambungnya, Ilyas masih kurang percaya dengan apa yang didengarnya.
“Dulu ada santri di sini yang tak kuat untuk menghafalkan kitab Alfiyah, tepat pada Bab Istighol, santri itu mengalami gangguan jiwa dan pikirannya. Mungkin juga bukan hanya santri-santri di sini yang pernah mengalami hal semacam itu, tapi di Pesantren-pesantren Salafiy yang lainpun tak menutup kemungkinan.” Jelas Ustadz Yahya panjang lebar. Hingga seperti ada yang bergetar di kedalaman hati Ilyas.
“Allah, berilah kesabaran yang lebih untuk menghadapi cobaan-cobaan yang mungkin nanti akan terjadi.” Do’anya dalam hati.
***
Ilyas merenung di serambi Masjid. Malam ini cahaya rembulan terlihat sempura. Pendarnya begitu nyata menyinari alam semesta.
“Hay, kok malah melamun.” Sontak Ilyas merasa kaget ketika tangan Tegar menyentuh bahunya. Dan Ilyas hanya tersenyum simpul dengan Kitab yang masih dalam genggaman tangannya, ketika sahabatnya ikut duduk di sampingnya seraya memandangi cahaya bintang-gemintang di atas langit terang.
“Sudah sampai Bait berapa?” Tegar merasa ingin tahu, karena iapun menghafalkan kitab Alfiyah seperti Ilyas.
“Baru sampai Bait 700,” jawabnya, seraya menutup kitab yang sedari tadi masih terbuka.
“Wah, insyaAllah besok kita khataman bersama.” Tegar terlihat sangat bahagia. Ia memang sudah khatam dua minggu yang lalu, dan ia ingin teman-temannyapun cepat khatam, agar ketika acara Imtikhan Akhirussanah nanti, mereka dapat naik di atas panggung khataman bersama-sama.
Kata-kata Ustadz Yahya beberapa hari lalu, masih terngiang jelas di benaknya, Ilyas merasa khawatir dengan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Ia kerap merasa takut jika ia tidak mampu untuk menyelesaikan hafalannya, atau Ilyas tak kuat untuk menerima cobaan-cobaan yang mungkin akan Tuhan berikan. Ia hanya bisa berdo’a disepertiga malam ketika teman-temannya tengah terlelap dalam  mimpi. Melakukan qiyamul lail, berdo’a untuk keluarganya, untuk ustadz-ustadznya dan juga untuk semua teman-temannya. Ia ingin proses menghafal kitab Alfiyahnya berjalan dengan lancar, dan nantinya akan berbuah kesuksesan.
Kembali malam purnama telah menyapa, sepertinya malam ini Ilyas harus lebih banyak bersyukur kepada Tuhan, karena atas nikmat-Nya, malam ini hafalan kitab Alfiyahnya telah selesai.
“Alhamdulillah ya Robb… “ Ilyas bersujud syukur, merasai segala nikmat yang begitu indah, dihadapan-Nya ia bersimpuh, merapal do’a dan menguntai tasbih cinta pada Tuhannya…
***
Seperti dalam alam mimpi Ilyas merasakannya, malam ini ia bersama teman-teman seperjuangannya menjadi Mutimmin di acara Imtikhan Akhirussanah.
Ibu dan kedua kakak serta adiknya turut menyaksikan kebahagiaan Ilyas. Malam ini benar-benar menjadi malam yang istimewa. Ilyas memimpin khatamannya, menyanyikan ‘suluk’ dengan suara yang begitu merdu hingga memecah keheningan….
Para jama’ah banyak yang dibuatnya menitikkan air mata, pun orang tua Ilyas yang begitu terharu menyaksikan putranya melafadzkan bait-bait Alfiyah dengan suara yang menyentuh jiwa. Usai acara khataman, Ilyas menemui keluarganya yang tengah istirahat di ruang tamu.
“Ayah, Ilyas berjanji akan menjadi anak yang shaleh, Ilyas akan berusaha untuk menjadi seperti yang Ayah inginkan.” Dalam hati Ilyas berkata. Disaat-saat seperti inilah, bayangan Ayahnya selalu hadir, membuat Ilyas begitu merindukannya.
“Ilyas, ada titipan buat kamu.” Suara Tegar menyadarkan Ilyas dari lamunan tentang Ayahnya.
“Dari siapa?” Ilyas tampak penasaran.
Tegar menyodorkan bingkisan dengan kertas kado berwarna cokelat tua, yang ternyata isinya adalah sebuah kitab Ihya Ulumiddin dan kitab suci Al-qur’an.
“Dia titip salam buat kamu, katanya, mulai besok kamu harus mengkaji kitab itu, dan satu lagi, semoga hafalan Al-qur’anmu sukses,” Ilyas tersipu malu demi mendengar kata-kata itu.
Ya, kado itu adalah dari sang bidadari yang mencuri hatinya. Ia tak pernah menyangka kalau sepertinya wanita yang selama ini ia kagumi pun memiliki perasaan yang sama kepada Ilyas. Tapi tentang hafalan Al-qur’annya, bagaimana ia bisa tahu? Ah, pasti Tegar yang membocorkannya.
Sekali lagi Ilyas hanya tersenyum. Terbersit dalam hatinya ingin cepat-cepat mengkhatamkan hafalan Al-qur’annya, ia sudah tidak sabar lagi untuk segera Mengkhitbah sang bidadari surga yang sangat dikaguminya; Hanna Fitria…


PPAI, 15122013*

2 komentar:

blog yg begitu menyentuh hati,,,

Harus lebih banyak lagi yang seperti ini.

Posting Komentar

X-Steel - Link Select

About this blog

Diberdayakan oleh Blogger.

Arsip Blog

salju

Blog Archive