Penyihir Aksara (Malaikat Salju)

Do'a Kalimat Pena By. Muhrodin "AM"

16
April

By. Muhrodin “AM”

Kabut gelap menyelimuti senja di kampung nelayan, nampaknya hujan akan segera turun. Orang-orang tengah meringkuk di rumah sederhananya, cuaca seperti ini membuat para nelayan tak banyak yang melaut, hanya beberapa orang saja dari kampung nelayan yang berani menantang badai. Di gubuk sederhananya, Karman tengah menyiapkan seutas jala dan pancing untuk menangkap ikan, dengan berbekal dua nasi dan sebotol air mineral ia berangkat meninggalkan rumahnya, meninggalkan istri dan ke dua anaknya.
“Hati-hati, Kang.” Pesan istrinya sebelum Karman melangkah pergi
“Iya, Mar. Mungkin aku akan pulang saat fajar menyingsing, do’akan semoga mendapatkan ikan yang banyak.” Cakap Karman, kemudian ia keluar dan melangkah menuju tepian pantai teluk penyu.
Ada yang terasa berat saat Marlina mengembuskan napasnya, tak seperti biasanya ia merasakan seperti ini ketika melepas suaminya pergi.
Marlina mengantarkan Karman hingga ke tepian pantai, cuaca malam ini benar-benar gelap, pekat. Rembulan tertutup awan hitam, dan rasi bintang yang biasanya menjadi petunjuk bagi para nelayan pun kini telah ditelan kegelapan.
Perlahan perahu gethek yang membawa Karman mulai menjauh, cahaya dari lampu patromah yang menjadi penerangnya mengecil, mengecil hingga lesap bersama bayang-bayang hitam air laut di permukaan.
Priiit…. Karman meniup pluitnya, berharap semoga ikan-ikan akan segera datang menghampirinya, ia segera mengulurkan pancing dan menebar jalanya. Menunggu dengan mengumandangkan tembang-tembang jawa untuk mengusir kesunyian dan kesuntukannya. Jika pancing yang diikatkan di ujung perahunya menjulur ke dalam laut, ia akan segera menariknya, biasanya ikan bandeng atau ikan tongkol yang memangsa umpannya. Pun jala yang sedari tadi ditebarkannya. Jika gabus bekas sandal murahan sebagai penandanya sudah timbul-tenggelam, maka Karman akan menariknya ke permukaan perahu getheknya. Ia akan tersenyum jika mendapati banyak ikan-ikan yang terperangkap di dalam jala, meski tak jarang hanya lenguhan atau napas beratnya sebagai rasa kekecewaan karena tak mendapatkan banyak ikan seperti yang diharapkan.
Seperti halnya malam ini, sungguh cuaca tampak tak bersahabat bagi para nelayan. Langit benar-benar menebarkan jubah hitamnya, sebelum Karman menarik pancing dan jalanya, hujan turun bersama halilintar yang menyambar-nyambar permukaan air laut.
“Oh, Gusti… badai sasmita apa, ini?” Perahu gethek yang dinaiki Karman mulai tak seimbang, angin menderu begitu kencang, hingga gelombang pasang seketika menerjang perahu Karman yang terombang-ambing di tengah kegelapan.
Priiit… Karman masih sempat melihat ke sekelilingnya, berharap ada perahu nelayan yang malam ini melaut seperti dirinya, namun na’as, tak ada sesiapa di sekelilingnya, Karman benar-benar sendiri di tengah laut yang sunyi. Hanya debur ombang dan hujan badai yang akhirnya melemparkan Karman dari perahu getheknya.
***
Marlina tak dapat memejamkan mata barang sebentar saja, ia terus teringat dengan suaminya. Meski suaminya adalah nelayan yang dikenal mampu menaklukkan badai, namun malam ini sungguh, perasaan Marlina tak menentu, bilik hatinya serasa ada yang karam di laut terdalam.
Hingga ketika fajar kian menyingsing, suaminya tak kunjung pulang, segera Marlina melangkahkan kakinya ke tepian pantai. Berharap ia akan segera menemui suaminya. Namun suasana laut tampak lengang. Potongan ranting kayu berserakan setelah hujan dan badai semalam. Marlina meliarkan pandangannya, mungkin akan ada cahaya lampu patromah di permukaan laut sebagai tanda kalau suaminya akan segera pulang, tapi yang tampak hanya hamparan laut lepas yang masih menyisakan gelap dalam sunyi. Laut teluk penyu benar-benar seakan mati.
“Suami kamu belum pulang, Mar?” para tetangga mulai berdatangan untuk mengetahui kabar Karman yang melaut semalam.
“Semalam hujan badai, mungkin Karman tak akan selamat.” Tetangga lain yang merupakan teman Karman sebagai nelayan berkasak-kusuk tentang hilangnya Karman.
Marlina mendekap kedua anaknya, ia tenggelam dalam isak tangis yang panjang karena kehilangan suami tercinta dan ayah bagi anak-anaknya.
Kampung nelayan nampak sunyi. Suara angin berkesiur menerpa daun-daun yang tengah bertasbih dan berdo’a pada Tuhannya, pun di rumah Marlina malam ini tengah digelar acara tahlil untuk mendo’akan almarhum Karman yang tiga hari lalu telah berpulang kepada yang kuasa. Namun belum purna acara tahlil pada malam itu, dari arah tepi pantai Karman berjalan terseok-seok menuju rumahnya.
Astaghfirullohal ‘adzim. Allahu Akbar…” Kyai Sobri yang menjadi imam seketika beristighfar seraya menenangkan jama’ah yang merasa ketakutan atas kedatangan Karman yang dianggapnya telah mati.
“Karman, kau masih hidup?” Tanya kyai Sobri dengan tenang.
“Iya, Kyai. Saya masih hidup. Ketika saya diterpa badai. Ada yang menolong saya.”
“Siapa dia?” Tanya kyai Sobri penasaran.
“Seorang wali yang telah wafat dua ratus tahun lalu, saya tersadar dalam keadaan yang mengenaskan. Saat itu saya hanya mendengar beliau membisikkan kalimat untuk menziarahi makamnya yang terletak di pulau Nusakambangan. Namanya Syeikh Abu Ja’far.” Jelas Karman dengan suaranya yang sedikit parau.
Kampung Nelayan gempar dengan adanya berita dari Karman. bahwa ada makam seorang waliyulloh yang baru terungkap yang berada di pulau Nusakambangan.
Wallahu’alam

PPAI, 20012014

0 komentar:

Posting Komentar

X-Steel - Link Select

About this blog

Diberdayakan oleh Blogger.

Arsip Blog

salju

Blog Archive