By. Muhrodin “AM”
Kabut gelap menyelimuti senja di kampung nelayan, nampaknya
hujan akan segera turun. Orang-orang tengah meringkuk di rumah sederhananya,
cuaca seperti ini membuat para nelayan tak banyak yang melaut, hanya beberapa orang
saja dari kampung nelayan yang berani menantang badai. Di gubuk sederhananya,
Karman tengah menyiapkan seutas jala dan pancing untuk menangkap
ikan, dengan berbekal dua nasi dan sebotol air mineral ia berangkat
meninggalkan rumahnya, meninggalkan istri dan ke dua anaknya.
“Iya, Mar. Mungkin aku akan pulang saat fajar menyingsing,
do’akan semoga mendapatkan ikan yang banyak.” Cakap Karman, kemudian ia keluar
dan melangkah menuju tepian pantai teluk penyu.
Ada yang
terasa berat saat Marlina mengembuskan napasnya, tak seperti biasanya ia
merasakan seperti ini ketika melepas suaminya pergi.
Marlina
mengantarkan Karman hingga ke tepian pantai, cuaca malam ini benar-benar gelap,
pekat. Rembulan tertutup awan hitam, dan rasi bintang yang biasanya menjadi
petunjuk bagi para nelayan pun kini telah ditelan kegelapan.
Perlahan
perahu gethek yang membawa Karman mulai menjauh, cahaya dari lampu patromah
yang menjadi penerangnya mengecil, mengecil hingga lesap bersama bayang-bayang
hitam air laut di permukaan.
Priiit…. Karman meniup pluitnya, berharap semoga ikan-ikan
akan segera datang menghampirinya, ia segera mengulurkan pancing dan
menebar jalanya. Menunggu dengan mengumandangkan tembang-tembang jawa
untuk mengusir kesunyian dan kesuntukannya. Jika pancing yang diikatkan
di ujung perahunya menjulur ke dalam laut, ia akan segera menariknya, biasanya
ikan bandeng atau ikan tongkol yang memangsa umpannya. Pun jala
yang sedari tadi ditebarkannya. Jika gabus bekas sandal murahan sebagai
penandanya sudah timbul-tenggelam, maka Karman akan menariknya ke permukaan perahu
getheknya. Ia akan tersenyum jika mendapati banyak ikan-ikan yang
terperangkap di dalam jala, meski tak jarang hanya lenguhan atau napas
beratnya sebagai rasa kekecewaan karena tak mendapatkan banyak ikan seperti yang
diharapkan.
Seperti
halnya malam ini, sungguh cuaca tampak tak bersahabat bagi para nelayan. Langit
benar-benar menebarkan jubah hitamnya, sebelum Karman menarik pancing
dan jalanya, hujan turun bersama halilintar yang menyambar-nyambar
permukaan air laut.
“Oh, Gusti… badai
sasmita apa, ini?” Perahu gethek yang dinaiki Karman mulai tak seimbang,
angin menderu begitu kencang, hingga gelombang pasang seketika menerjang perahu
Karman yang terombang-ambing di tengah kegelapan.
Priiit…
Karman masih sempat melihat ke sekelilingnya, berharap ada perahu nelayan yang
malam ini melaut seperti dirinya, namun na’as, tak ada sesiapa di sekelilingnya,
Karman benar-benar sendiri di tengah laut yang sunyi. Hanya debur ombang dan
hujan badai yang akhirnya melemparkan Karman dari perahu getheknya.
***
Marlina tak dapat memejamkan mata barang sebentar saja, ia
terus teringat dengan suaminya. Meski suaminya adalah nelayan yang dikenal
mampu menaklukkan badai, namun malam ini sungguh, perasaan Marlina tak menentu,
bilik hatinya serasa ada yang karam di laut terdalam.
Hingga ketika fajar kian menyingsing, suaminya tak kunjung
pulang, segera Marlina melangkahkan kakinya ke tepian pantai. Berharap ia akan
segera menemui suaminya. Namun suasana laut tampak lengang. Potongan ranting
kayu berserakan setelah hujan dan badai semalam. Marlina meliarkan
pandangannya, mungkin akan ada cahaya lampu patromah di permukaan laut
sebagai tanda kalau suaminya akan segera pulang, tapi yang tampak hanya
hamparan laut lepas yang masih menyisakan gelap dalam sunyi. Laut teluk penyu
benar-benar seakan mati.
“Suami kamu belum pulang, Mar?” para tetangga mulai
berdatangan untuk mengetahui kabar Karman yang melaut semalam.
“Semalam hujan badai, mungkin Karman tak akan selamat.”
Tetangga lain yang merupakan teman Karman sebagai nelayan berkasak-kusuk
tentang hilangnya Karman.
Marlina
mendekap kedua anaknya, ia tenggelam dalam isak tangis yang panjang karena
kehilangan suami tercinta dan ayah bagi anak-anaknya.
Kampung nelayan nampak sunyi. Suara angin berkesiur menerpa
daun-daun yang tengah bertasbih dan berdo’a pada Tuhannya, pun di rumah Marlina
malam ini tengah digelar acara tahlil untuk mendo’akan almarhum Karman yang tiga
hari lalu telah berpulang kepada yang kuasa. Namun belum purna acara tahlil
pada malam itu, dari arah tepi pantai Karman berjalan terseok-seok menuju
rumahnya.
“Astaghfirullohal ‘adzim. Allahu Akbar…” Kyai Sobri
yang menjadi imam seketika beristighfar seraya menenangkan jama’ah yang merasa
ketakutan atas kedatangan Karman yang dianggapnya telah mati.
“Karman, kau masih hidup?” Tanya kyai Sobri dengan tenang.
“Iya, Kyai. Saya masih hidup. Ketika saya diterpa badai.
Ada yang menolong saya.”
“Siapa dia?” Tanya kyai Sobri penasaran.
“Seorang wali yang telah wafat dua ratus tahun lalu, saya
tersadar dalam keadaan yang mengenaskan. Saat itu saya hanya mendengar beliau
membisikkan kalimat untuk menziarahi makamnya yang terletak di pulau Nusakambangan.
Namanya Syeikh Abu Ja’far.” Jelas Karman dengan suaranya yang sedikit parau.
Kampung Nelayan gempar dengan adanya berita dari Karman.
bahwa ada makam seorang waliyulloh yang baru terungkap yang berada di
pulau Nusakambangan.
Wallahu’alam
PPAI, 20012014
0 komentar:
Posting Komentar