By. Muhrodin “AM”*

***
Sungguh, aku bahagia. Ramadhan ini kamu sudah mau mengaji lagi.
Semoga seterusnya kamu benar-benar bisa berubah.
Itu harapanku sebagai sahabatmu, juga harapan semua
teman-temanmu, terutama kedua orangtuamu meski mereka tak pernah mengerti akan
kelakuanmu disini.
“Aku percaya, untuk mengubah seseorang tidak melulu harus dengan
kekerasan, tapi bisa dengan pendekatan emosional dan perhatian. Iya, kan?” kamu
hanya tersenyum ketika menanggapi pernyataanku.
Tapi ternyata aku salah, setelah libur panjang pesantren kamu
kembali lagi menjadi santri yang lupa diri.
“Aku tak suka dinasehati, Mas!” itu kata terakhirmu sebelum kamu
benar-benar tak pernah lagi menginjakan kaki di pesantren. Aku hanya bisa
pasrah, setelah tak mampu lagi untuk menuntunmu dijalan yang diridhoi.
***
Hari itu, setelah selesai diskusi dengan teman-teman santri. Aku
melihatmu hendak memasuki kamarku dengan rasa ragu-ragu. Aku hanya diam hingga
beberapa menit berlalu kamu pergi lagi. Aku tak tahu apa yang telah kamu
lakukan, tapi aku cukup mengerti setelah kulihat ternyata uangku hilang. Tahukah
kamu? Itu adalah uang merahku satu-satunya yang kumiliki. Namun aku percaya,
kamu pasti lebih membutuhkan, karena aku mendengar dari temanmu kalau keadaanmu
sangat memprihatinkan.
Aku merenung, mungkin aku telah melakukan sebuah kesalahan,
hingga Tuhan tengah memberikan cobaan untukku.
Setelah itu, kutuliskan sebuah ‘Surat’ yang kukirimkan lewat
inbox facebookmu meski aku tak yakin kamu akan membacanya...
Dear: Sahabat Fillah
Dedy Dejasta.
Assalamu'alaikum wr. wb...
Dengan bahasa kata tak bersajak, kuuntaikan do'a suciku; semoga
Tuhan selalu melindungimu. Meridhoi tiap derap langkah hidupmu...
Sebelumnya, aku mohon maaf sama kamu Ded, begitu banyak
kata-kata yang mencipta sayatan luka hingga begitu nyata membekas dalam relung
hatimu.
Khilafku dalam tafsirmu, aku mengharapkan untaian kata maaf dari
lubuk hati paling sucimu. Maafkan aku.
Kasih sayang itu tidak bisa dibeli dengan apapun ded, termasuk dengan
nilai rupiah. Tuhan punya begitu banyak cara untuk menolong hambanya, seperti
halnya kamu...
Kapan kamu mau pulang ke Bengkulu? Aku dengar kabar itu dari Hanif,
aku tak tau, kapan tepatnya kamu akan membaca tulisanku, atau mungkin malah tak
akan pernah? aku tak tau...
Satu hal yang mungkin kamu perlu tau, sekalipun ini adalah
rahasia Tuhan dan Malaikat-malaikatnya; Ah, rasanya sedih sekali teringat akan
berpisah dengan sahabat sepertimu...
Jujur, aku bahagia memiliki sahabat sepertimu...
Aku percaya, semua itu adalah cara Tuhan untuk menolong hambanya.
Lewat sahabatmu, yang telah Allah pilih sebagai perantaranya. Aku tak marah sama
kamu ded, aku tak pernah benci sama kamu. Karena aku tau, persahabatan kita
jauh lebih indah dari sekedar itu semua -rasa yg hanya akan menjauhkan kita dari
dekapan kasih sayang-Nya-
Kapan kamu mau ke Kamarku lagi? Hp. Kamu masih di lemariku. Kenapa
kemaren nggak diambil skalian...? Aku ada dibelakangmu, ketika kamu masuk kekamarku,
tapi Aku tak cukup berani untuk sekedar menyapamu. Mungkin itulah cara Tuhan
untuk tetap menyatukan persahabatan kita, agar tak ada benci diantara kita...
Dan sungguh, aku tak membencimu Ded. Aku sayang sama kamu, sekalipun
kebersmaan kita hanya semisal lalu, tapi Aku bersyukur Tuhan telah mempertemukan
kita dalam ikatan sahabat.
Hanya untaian kata maaf yang kuharapkan darimu, sebelum kamu benar-benar
akan meninggalkan Al-ihya' ini... Selebihnya, jangan pernah anggap aku sebagai
benalu dalam hidupmu, karena Tuhan memberikan Perbedaan diantara kita setidaknya
sebagai rahmat yang harus kita syukuri.
Semoga engkau akan menemukan jalan terbaik yang diridhoi Tuhan dalam
menggapai mimpi dan cita-citamu dimasa depan. Aamiin.
Salam Jabat Erat Persahabatan
Insan dho'if
Amir ~AM~.
PPAI, 02092013. 15 : 55 Wib
Wassalamu'alaikum wr. wb...
***
Setelah beberapa minggu, ternyata kamu kembali
lagi ke pesantren. Meminta maaf kepada para Ustadz dan Teman-temanmu.
“Maafin semua kesalahanku ya, Mas? Aku
mau pulang ke Bengkulu. Aku sudah tidak bisa untuk meneruskan sekolah dan
mengaji lagi disini,” itu salam maaf mu
sebelum kamu benar-benar meninggalkan pesantren ini.
“Aku disuruh pindah sama Bapak dan Ibu-ku.
Mohon do’anya, Mas, semoga disana bisa menuntut ilmu dengan sungguh-sungguh,”
lanjutmu dengan gugu yang hampir memburu.
“Iya, aku juga minta maaf sama kamu,
Ded. Kudo’akan selalu semoga kamu betah ditempat barumu dan bisa menemukan
jalanmu untuk meraih mimpi dan cita-citamu” Kita berjabat tangan sebagai salam
perpisahan.
Tuhan, berikan ia kesabaran. Semoga ia selalu
dalam naungan kasih dan sayang-Mu. Aamiin.
***
PPAI,
02102013*
*Cerita ini telah terangkum dalam Buku Antologi Cerpen "My Friend" - Penerbit Harfeey 2013
0 komentar:
Posting Komentar