Penyihir Aksara (Malaikat Salju)

Do'a Kalimat Pena By. Muhrodin "AM"

17
April

By. Muhrodin “AM”*
***
            Rembulan temaran menggantung di langit kelam, cahayanya melesap menembus dedaunan, desir angin mendesau menerpa reranting pohon yang menjulur bagai tangan-tangan Tuhan yang memberikan keteduhan bagi tiap hambanya yang setia memadu cinta disepertiga malam.
            Ilham masih khusyu dengan tasbih di tangannya hingga ia tenggelam kedalam telaga dzikir menguntai do’a pada Tuhannya. Perlahan, derai air hujan membasahi bumi Pesantren bersama dengan derai airmatanya yang menetes membasahi kedua pipinya.
            Malam ini, pikirannya benar-benar kalut. Pagi tadi seusai Ilham mengikuti pengajian kitab Ihya Ulumiddin di Ndalem-nya Romo Kiyai, ia mendapat kabar buruk dari keluarganya. Ayahnya meninggal, karena penyakit ginjal dan paru-paru yang dideranya tak lagi mampu untuk menopang tubuhnya. Ia paham betul, Ayahnya memang sudah lama menderita penyakit itu, tapi sungguh ia tak pernah menyangka kalau Tuhan akan secepat itu mengambil nyawanya, hingga luka dan airmata yang mendera, terasa begitu menyesakkan dada.
            “Ayah, maafkan aku… Aku belum mampu untuk membalas semua pengorbanan Ayah. Aku belum mampu untuk membuat Ayah tersenyum. bahkan aku belum mampu untuk membahagiakan Ayah ketika Ayah telah pergi. Hanya untaian do’a suci ini yang mampu aku persembahkan, semoga Tuhan mengampuni dosa-dosa Ayah, dan Tuhan memberikan tempat yang terindah disisi-Nya. Aamiin.” untaian do’anya, dengan harapan semoga para malaikat dan ikan-ikan di lautan turut meng-amininya.
            Samar-samar Ilham melihat bayangan Ayahnya. Semakin lama semakin jelas bayangan itu mendekat dan mendekap Ilham yang tengah berdiri mematung di kamarnya. Seketika ia menangis dalam dekap kasihnya dan dengan luapan rindu kepada Ayahnya.
            “Ayah, maafkan aku…” pintanya dengan gugu karena haru.
            “Iya, Nak. Ayah sudah memaafkannya, Ayah juga minta maaf, kalau selama ini Ayah kurang memberikan perhatian dan kasih sayangnya untukmu. Maafkan Ayah, Ilham…
            Ilham semakin mengeratkan pelukannya. Seperti mimpi dalam bayang nyata Ilham merasakannya.
            Allahuakbar, Allahuakbar…
            Ilham terkesiap, suara adzan itu telah menyadarkan ia dari mimpinya. Ada sebaris airmata yang nyata membasahi kedua pipinya.
***
            Tak terasa sudah dua belas purnama Ayah ilham telah tiada. Kenangan itu masih tampak jelas di benaknya, dimana dulu Ayahnya menginginkannya agar Ilham menjadi seorang hamilul qur’an agar kelak ia bisa menjaga dirinya dan keluarganya dari siksa api neraka.
            Malam ini, Hual Muassis Pondok-pesantren dimana Ilham menimba ilmu telah digelar. Acara yang diselenggaran setiap tahunnya dengan beberapa agenda. Selain pengajian akbar juga khataman Al-qur’an bil khifdzi
            Ilham bersyukur, karena malam ini, ia bersama beberapa santri lainnya telah menyelesaikan hafalannya. dan kini didepan ribuan jama’ah, ia dinobatkan sebagai seorang hamilul qur’an yang kelak akan meneruskan perjuangan para pendahulu untuk menjaga kalam-kalam-Nya.
            Allah… dekaplah aku dalam kasih-Mu. Dalam gugu Ilham memanjatkan do’a dan puji syukurnya atas nikmat yang diberikan Tuhan padanya.
            Ibu dan kedua kakak serta adiknya turut menyaksikan kebahagiaan yang malam ini tengah Ilham rasakan, meski tanpa Ayah, namun Ilham percaya, Ayahnya akan tersenyum dialam sana demi melihat putranya mampu menggapai setitik mimpinya. Mimpi yang adalah harapan Ayahnya, menjadi seorang hamilul qur’an yang mampu mengamalkan maknanya untuk meretas ridho-Nya.
***
            Malam semakin meraja, kepak sayap pekatnya terlihat jelas dari sunyinya suasana di persinggahan suci. Acara Haul telah usai beberapa jam yang lalu, didalam sebuah kamar, ketika teman-teman Ilham tengah merajut mimpi, lewat untaian aksara ia mengirimkan salam do’a kepada Tuhan untuk kebahagiaan Ayahnya di Syurga. Entah mengapa, Malam ini sungguh Ilham sangat merindukan Ayahnya…
            Teruntuk Ayahanda di Syurga…
            Assalamu’alaikum, Ayah…
Apa kabarnya Ayah disana? Semoga Ayah selalu dalam dekapan  kasih-sayang-Nya. Aamiiin.
Dalam sunyi malam ini, aku begitu merindukan kasih sayang Ayah. Semoga, di alam sana Ayah benar-benar telah merasakan kedamaian yang haqiqi, kebahagiaan yang abadi yang diridhoi…
Ayah, Aku ingin bercerita kepada Ayah…
Malam ini adalah malam terindah yang kurasakan, karena malam ini, Tuhan telah mengabulkan harapan dan do’a Ayah untuk sebuah cita-cita yang mulia. Malam ini aku telah menyelesaikan hafalanku, Ayah… seperti apa yang dulu Ayah harapkan. Semoga disana Ayah akan tersenyum melihatnya . Karena senyum Ayah adalah harapan kami semua…
Ayah…
Aku ingin memohon kepada Tuhan, agar kelak kita semua dipertemukan ditempat-Nya yang terindah seperti yang Ayah dulu katakan.
Aku sangat merindukan Ayah…
Robbana atina fiddun ya hasanah, wafil akhiroti hasanah. Waqina ‘adzabannar… Aamiiin.
Wassalamu’alaikum, Ayah…
Ananda yang merindukan Ayah…
Ia percaya, Tuhan pasti akan menyampaikan salam do’anya yang ia kirimkan lewat tulisan untuk Ayahnya di Syurga. Sebelum Ilham memejamkan mata, ia merapal do’a, berharap semoga malam ini Tuhan berkenan mempertemukan ia dengan Ayahnya. Walau hanya dalam mimpi, Ilham ingin melihat senyum kebahagiaan Ayahnya di pintu firdaus-Nya…
***
*) Untuk Adikku Miftahul Aziz yang tengah merajut mimpi

PPAI, 05122013*

*Cerita ini Telah Terangkum dalam Buku Antologi Cerpen "Letter #2" - Penerbit Harfeey 2013

0 komentar:

Posting Komentar

X-Steel - Link Select

About this blog

Diberdayakan oleh Blogger.

Arsip Blog

salju

Blog Archive