Penyihir Aksara (Malaikat Salju)

Do'a Kalimat Pena By. Muhrodin "AM"

30
April

            By. Muhrodin “AM”*

“Cerpen Kalimantan selatan”
Menunggu asa dalam sebuah luka yang semakin menyiksa jiwa, menanti seorang gadis yang menjadi sandaran jiwa tiap desah nafas yang menyeruak dalam untaian do’a….
Banjarmasin, 26 November 2003
Berteman sepi, di tepi Sungai Barito, hanya semilir angin dan kecipak air yang sesekali menyapanya, menyadarkan akan lamunan masa lalunya.
Sesekali Rama melempar apa saja yang berada didekatnya kedalam sungai, hingga permukaannya mencipta gelombang indah yang sedikit mampu mengusir rasa kegalauannya. Namun, detik-detik terakhir yang dilaluinya terasa begitu sangat membosankan, hingga ia memutuskan untuk kembali ke persinggahannya, meninggalkan sejenak kenangan masa lalunya bersama Sinta, gadis cantik yang setiap malam menghiasi mimpi-mimpi indahnya.
26 November 2004
Ditepi Sungai Barito
Menghabiskan senja, berbagi cerita, bertabur tawa, berselimut bahagia.
Rama dan Sinta selalu menghabiskan sisa waktu senjanya di tepi Sungai Barito. Entah apa saja yang mereka lakukan, namun selalu mampu mengukir kenangan indah yang takkan pernah terlupakan.
“Rama… mungkin ini yang dikatakan cinta memang tak harus memiliki, namun cinta harus dimengerti. Aku tak pernah memaksa tentang cinta kita, namun aku percaya, cintamu begitu tulus untukku. Dan tahukah kamu Rama...? Cintaku padamu selaksa air yang mengalir di sungai ini, selamanya tak akan pernah sirna, meski kemarau datang mencoba merontangkannya.
Rama sedikit tertegun demi mendengar perkataan Sinta, senja ini memang senja terakhir mereka berada di tepi Sungai Barito, karena senja esok Rama sudah tak bisa bersama Sinta lagi, bahkan mungkin untuk selamanya.
Bukan, bukan tak bisa… Namun ia tak pernah mengerti akan slide kehidupan selanjutnya, dan sang waktulah yang akan menjawabnya.
Rama melanglangbuana, menyusuri tiap panjang sungainya, ia ingin berguru kepada kakek tua yang konon kesaktiannya sangat luar biasa.
Mbah Abu, seorang kakek yang memiliki ilmu kanuragan tingkat tinggi dan cukup disegani oleh masyarakat di sekitarnya. Namun malang, Mbah Abu hanya hidup sebatang kara, karena cucu satu-satunya telah lebih dulu dipanggil sama yang Maha.
Berhari-hari Rama berjalan menyusuri tepi Sungai Barito, hingga ia menemukan sebuah gubuk sederhana yang konon adalah persinggahan Mbah Abu.
Rama berguru kepada beliau demi untuk mewarisi ilmu-ilmunya, yang nantinya akan disebar luaskan kepada masyarakat setempat, sebelum Rama akan meminang Sinta.
Berbulan-bulan Rama belajar ilmu kanuragan bersama Mbah Abu, hingga pada suatu malam, Mbah Abu memberikan sebilah keris pusaka dan untaian kalimat nasihat sebelum Rama kembali ke persinggahannya.
Seperti harapan Rama, ia ingin mendirikan sebuah perguruan silat untuk menularkan ilmu-ilmu yang dimilikinya kepada masyarakat setempat, dan selanjutnya akan meminang Sinta.
Namun celaka. Rama berhati luka… setelah ia menemui Sinta, semuanya telah sia-sia.
Bukan sinta hendak meragukan ketulusan cinta Rama, atau pula ia menghianati perasaannya. Namun, orangtua yang memintanya untuk Sinta segera menikah dengan lelaki pilihan orang tuanya, bukan atas nama rasa, apalagi cinta, namun hanya berlandaskan teman seperjuangannya ketika dulu orang tuanya sama-sama membasmi para pemberontak di Banjarmasin.
Dan Sinta tak kuasa menolaknya, hingga ia pasrah dengan semua keputusan orangtuanya dan disunting oleh seorang laki-laki yang tak pernah dicintainya.
Rama mencoba mencari celah titik terang permasalahan tentang perasaannya, namun semuanya sudah terlambat.
Telak!. Rama hampir putus asa menjalani hidup yang penuh luka dengan kenangan masa lalunya. Dia tahu, sedikitpun Sinta tak pernah mencintai Dira, laki-laki yang sekarang telah menjadi pendamping hidup Sinta, namun Rama juga tak bisa berbuat apa-apa. Hanya penyesalan dan luka yang kini telah bertahta di lubuk jiwa.
Airmata sudah tak ada lagi, bulir-bulirnya telah habis, mengalir bersama air Sungai Barito yang kini menjadi saksi bisu atas luka di hati Rama.
Ia pasrah… Diam menopang tubuhnya yang semakin terasa tak lagi bernyawa.
Di ujung penantian senja, Rama merutuki kesedihannya yang semakin meluluhlantakkan persada jiwanya, ia terduduk lesu, kelopak matanya terlihat sayup, sudah tak ada lagi airmata di sana, yang ada hanyalah luka yang semakin meracuni hidupnya.
Di saat hati sedang resah, dan gundah gulana, Rama melihat sebongkah cahaya keemasan keluar dari dalam sungai itu.
Dan, Pyarrr!
Cahaya itu pecah, sinar merah menyilaukan pandangan mata Rama.
Perlahan namun pasti, seorang wanita cantik, -lebih miripnya seorang putri- muncul dan terbang kepermukaan sungai lalu mendekati Rama. Rama terkesiap melihat pemandangan yang menurutnya aneh itu.
“Sedang mimpikah aku? Oh tidak! Ini benar adanya. Tapi siapa dia?”
“Rama anakku,” perlahan suara wanita itu menembus gendang telinga Rama, dan langsung menelusup ke dalam sukmanya, “Bunda mengerti akan kegundahanmu, namun tak alang seorang Rama bersedih hati sedemikian dalam. Ada seorang putri di sana.” sambil menunjuk ke arah sungai, wanita itu melempar senyum kepada Rama.
“Kamu siapa?”
Rama gusar, ia terkejut. Bahkan ia belum mampu untuk menguasai dirinya.
“Aku adalah penguasa sungai ini, beratus-ratus tahun aku di sini, dan sekarang kau telah mengusik ketenanganku dan juga putriku dengan kesedihanmu. Kau tahu Rama...? Putriku, Rivana Raya telah jatuh hati kepadamu. Dia tak rela melihatmu berduka, dan dia meminta agar kamu mau memenuhi undangannya.
Sekali lagi Rama mengerjap-ngerjapkan matanya untuk meyakinkan bahwa yang sedang dilihatnya bukanlah hayalah belaka.
Disaat Rama sedang kehilangan arah, antara sadar dan tidak.
“Rama….”
Sinta menjerit histeris melihat semua itu, ketika ia hendak menemui Rama di tepi Sungai Barito bersama Dira, untuk minta maaf dan berucap kata perpisahan.

Namun alang, belum sempat Rama berucap kata, wanita itu telah membawanya ke dasar sungai air pusara… 


0 komentar:

Posting Komentar

X-Steel - Link Select

About this blog

Diberdayakan oleh Blogger.

Arsip Blog

salju

Blog Archive