By.
Muhrodin “AM”*
“Cerpen Kalimantan selatan”
Menunggu asa dalam sebuah luka yang semakin
menyiksa jiwa, menanti seorang gadis yang menjadi sandaran jiwa tiap desah
nafas yang menyeruak dalam untaian do’a….
Banjarmasin, 26 November 2003
Berteman
sepi, di tepi Sungai Barito, hanya semilir angin dan
kecipak air yang sesekali menyapanya, menyadarkan akan lamunan masa lalunya.
Sesekali Rama melempar apa saja yang berada
didekatnya kedalam sungai, hingga permukaannya mencipta gelombang indah yang
sedikit mampu mengusir rasa kegalauannya. Namun, detik-detik terakhir yang
dilaluinya terasa begitu sangat membosankan, hingga ia memutuskan untuk kembali
ke persinggahannya, meninggalkan sejenak kenangan masa lalunya bersama Sinta,
gadis cantik yang setiap malam menghiasi mimpi-mimpi indahnya.
26 November 2004
Ditepi Sungai Barito
Menghabiskan senja, berbagi cerita,
bertabur tawa, berselimut bahagia.
Rama dan Sinta selalu menghabiskan sisa
waktu senjanya di tepi Sungai Barito. Entah apa saja yang mereka
lakukan, namun selalu mampu mengukir kenangan indah yang takkan pernah terlupakan.
“Rama… mungkin ini yang dikatakan cinta
memang tak harus memiliki, namun cinta harus dimengerti. Aku tak pernah memaksa
tentang cinta kita, namun aku percaya, cintamu begitu tulus untukku. Dan tahukah
kamu Rama...? Cintaku padamu selaksa air yang mengalir
di sungai ini, selamanya tak akan
pernah sirna, meski kemarau datang mencoba merontangkannya.”
Rama sedikit tertegun demi mendengar
perkataan Sinta, senja ini memang senja terakhir mereka berada di tepi Sungai
Barito, karena senja esok Rama sudah tak bisa bersama Sinta lagi, bahkan
mungkin untuk selamanya.
Bukan, bukan tak bisa… Namun ia tak pernah mengerti akan slide
kehidupan selanjutnya, dan sang waktulah yang akan menjawabnya.
Rama melanglangbuana, menyusuri tiap
panjang sungainya, ia
ingin berguru kepada kakek tua yang konon kesaktiannya sangat luar biasa.
Mbah Abu, seorang kakek yang memiliki ilmu kanuragan tingkat
tinggi dan cukup disegani oleh masyarakat di sekitarnya.
Namun malang, Mbah Abu hanya hidup sebatang kara, karena cucu satu-satunya
telah lebih dulu dipanggil sama yang Maha.
Berhari-hari Rama berjalan menyusuri
tepi Sungai
Barito, hingga ia
menemukan sebuah gubuk sederhana yang konon adalah persinggahan Mbah Abu.
Rama berguru kepada beliau demi untuk
mewarisi ilmu-ilmunya, yang nantinya akan disebar luaskan kepada masyarakat
setempat, sebelum Rama akan meminang Sinta.
Berbulan-bulan Rama belajar ilmu
kanuragan bersama Mbah Abu, hingga pada suatu malam, Mbah Abu memberikan
sebilah keris pusaka dan untaian kalimat nasihat sebelum Rama kembali ke persinggahannya.
Seperti harapan Rama, ia ingin mendirikan sebuah perguruan
silat untuk menularkan ilmu-ilmu yang dimilikinya kepada masyarakat setempat,
dan selanjutnya akan meminang Sinta.
Namun celaka. Rama berhati luka… setelah
ia menemui Sinta, semuanya telah sia-sia.
Bukan sinta hendak meragukan ketulusan
cinta Rama, atau pula ia
menghianati perasaannya. Namun, orangtua yang memintanya untuk Sinta segera menikah
dengan lelaki pilihan orang tuanya, bukan atas nama rasa, apalagi cinta, namun
hanya berlandaskan teman seperjuangannya ketika dulu orang tuanya sama-sama
membasmi para pemberontak di Banjarmasin.
Dan Sinta tak kuasa menolaknya, hingga ia pasrah dengan semua keputusan
orangtuanya dan disunting oleh seorang laki-laki yang tak pernah dicintainya.
Rama mencoba mencari celah titik terang
permasalahan tentang perasaannya, namun semuanya sudah terlambat.
Telak!. Rama hampir putus asa menjalani
hidup yang penuh luka dengan kenangan masa lalunya. Dia tahu, sedikitpun Sinta
tak pernah mencintai Dira, laki-laki yang sekarang telah menjadi pendamping
hidup Sinta, namun Rama juga tak bisa berbuat apa-apa. Hanya penyesalan dan
luka yang kini telah bertahta di lubuk
jiwa.
Airmata sudah tak ada lagi,
bulir-bulirnya telah habis, mengalir bersama air Sungai Barito yang kini menjadi saksi
bisu atas luka di hati Rama.
Ia pasrah… Diam menopang tubuhnya yang
semakin terasa tak lagi bernyawa.
Di ujung penantian
senja, Rama merutuki kesedihannya yang semakin meluluhlantakkan persada
jiwanya, ia terduduk lesu,
kelopak matanya terlihat sayup, sudah tak ada lagi airmata di sana, yang ada hanyalah luka yang
semakin meracuni hidupnya.
Di saat
hati sedang resah, dan gundah gulana, Rama melihat sebongkah cahaya keemasan
keluar dari dalam sungai itu.
Dan, Pyarrr!
Cahaya itu pecah, sinar merah menyilaukan pandangan mata
Rama.
Perlahan namun pasti, seorang wanita
cantik, -lebih miripnya seorang putri- muncul dan terbang kepermukaan sungai
lalu mendekati Rama. Rama
terkesiap melihat pemandangan yang menurutnya aneh itu.
“Sedang mimpikah aku? Oh tidak! Ini
benar adanya. Tapi siapa dia?”
“Rama anakku,” perlahan suara wanita itu
menembus gendang telinga Rama, dan langsung menelusup ke dalam sukmanya, “Bunda mengerti akan
kegundahanmu, namun tak alang seorang Rama bersedih hati sedemikian dalam. Ada
seorang putri di sana.”
sambil menunjuk ke arah sungai,
wanita itu melempar senyum kepada Rama.
“Kamu siapa?”
Rama gusar, ia terkejut. Bahkan ia belum mampu untuk menguasai dirinya.
“Aku adalah penguasa sungai ini,
beratus-ratus tahun aku di sini,
dan sekarang kau telah mengusik ketenanganku dan juga putriku dengan kesedihanmu. Kau tahu
Rama...? Putriku, Rivana Raya telah jatuh hati kepadamu. Dia tak rela melihatmu
berduka, dan dia
meminta agar kamu mau memenuhi undangannya.”
Sekali lagi Rama mengerjap-ngerjapkan matanya untuk meyakinkan
bahwa yang sedang dilihatnya bukanlah hayalah belaka.
Disaat Rama sedang kehilangan arah,
antara sadar dan tidak.
“Rama….”
Sinta menjerit histeris melihat semua
itu, ketika ia
hendak menemui Rama di tepi Sungai Barito bersama Dira, untuk minta
maaf dan berucap kata perpisahan.
Namun alang, belum sempat Rama berucap
kata, wanita itu telah membawanya ke dasar
sungai air pusara…
0 komentar:
Posting Komentar