By. Muhrodin “AM”*
Sudah hampir dua tahun ia memijakkan
kaki di tanah jawa ini, tak sedikit kenangan telah membuatnya lebih mengerti
dan memahami akan arti hidup dalam sebuah perantauan.
Masih
sangat jelas terngiang dalam benaknya, ketika dulu ia harus berangkat ke tanah
jawa. Setelah ia menginjak semester gasal di sekolah-nya dulu ia belajar. Mts N
Lubuk Mukti, Muko-muko, Bengkulu.
Setelah
kejadian Na’as malam tahun baru itu, -yang menjadikannya harus kehilangan satu
jari kelingkingnya-, kedua orang tuanya menginginkannya untuk segera ke
P-e-s-a-n-t-r-e-n.
Dengan berbekal keikhlasan, ia
berangkat ke tanah jawa bersama Ayah-nya. Merajut mimpi yang baru. Demi perubahannya, demi cita-cita-nya, demi
kebahagiaan ke dua orang tuanya yang telah menyayanginya.
Hari itu, satu minggu sebelum
Ramadhan. Ia dan teman-teman-nya yang berasal dari Kota Bengkulu akan kembali
sejenak melepas rindu. Berkali-kali orang tuanya mengingatkan agar berhati-hati
dalam perjalanan nanti. Rasanya ia dan kedua orang tuanya sudah tak sabar ingin
bersua ; melepas rindu setelah sekian lama tak bertemu.
Namun kenyataan tak selalu indah
dengan harapan…
17 Ramadhan, ia harus kembali ke Pesantren
lagi. Ia begitu sedih ; batinnya menangis. “Ya Allah… apa dosaku, hingga aku
harus kembali lagi ke tanah jawa. Aku begitu ingin merasakan Idul Fitri bersama
keluarga…”.
Jerit hati-nya ketika
ia benar-benar harus kembali ketanah jawa sebelum Idul Fitri datang menyapa.
***
Ia
menyadari, semua itu memang bukan tanpa alasan. Orang tuanya menyuruh ia untuk
kembali lagi ke Pesantren karena lagi-lagi ia berbuat K-e-s-a-l-a-h-a-n.
Awal harap
dari kedua orang tuanya adalah ia mampu memberikan kebanggaan buat mereka,
berakhlak mulia dan selalu patuh dengan segala apa yang telah dititahkannya.
Namun ternyata ia belum mampu sepenuhnya untuk melaksanakan keharusan itu.
Hingga pada waktu yang telah membuatnya lupa, ia harus merasakan akibat dari
sebab yang telah dirangkainya.
Tak ada
asap tanpa api. Pernahkah Kau mengerti?, Bahwa setiap masalah pasti ada sebab
musababnya. Seperti halnya masalah yang lagi-lagi harus ia terima kepahitannya.
Orang tuanya kembali merasakan lelah melihat putra-nya harus terus-terusan
melakukan hal yang tak seharusnya ia lakukan.
Beberapa hari yang lalu, ia meminta
kepada kedua orang tuanya untuk dibelikan Sepeda Motor Satria F. Namun setelah
mereka mengabulkan permintaan Putranya, ia lupa waktu ; Selalu bermain dan
pulang hingga larut malam. Itu bukanlah hal yang disukai orang tuanya, hingga
ketika kesabaran telah pada puncaknya, amarah itu tak lagi dapat untuk sekedar
dibendungnya, Ayah dan Ibu-nya begitu murka, hingga cacian yang mungkin tak
seharusnya terurai ternyata termuntahkan juga menjadi untaian kata-kata yang
mencipta sayatan luka.
“Am, Jika
kamu masih terus-terusan pergi hingga lupa waktu. Lebih baik kamu kembali lagi
ke Pesantren! Ayah sudah lelah memikirkan tingkah kamu yang tak pernah berubah!
Di-pondok-kan sungguh-sungguh, bukannya memiliki akhlak yang baik, tapi kamu
malah sama saja seperti dulu ; tak pernah berubah! Besok, kamu kembali saja ke Tanah Jawa!”. Nasihat pedas
Ayah-nya ternyata bukanlah main-main belaka.
Hingga
akhir cerita-nya ia harus kembali ke Pesantren lagi. Menguntai air mata dalam
sedu yang tak tau dimana harus bermuara…
Dan, tak
hanya sekedar itu yang membuat hatinya semakin tergugu. Tapi terlebih karena
kata-kata ibunya yang terasa seperti sayatan sembilu.
“Sumpah!,
aku tak pernah memiliki anak yang bernama Amri”. Sungguh, kata-kata itu terasa
begitu menyakitkan. Tapi Ia hanya bisa pasrah, karena Asap itu tercipta
tersebab api yang telah ia nyalakan sendiri…
Seringkali diam-diam
ia tak berpuasa, dan selalu saja ia pulang ketika malam tengah meraja…
“Ayah, Ibu…
Maafkan Putramu… semua ini memang salah anakmu yang selalu mengecewakan Ayah
dan Ibu… tapi, dimalam yang Fitri ini, izinkan putramu merasakan kembali
dekapan kasih sayangmu ; merasakan kesejukan telaga maaf dan keridhoan dari
hati sucimu”.
Untaian kata
maafnya bersama linangan airmata, ketika malam Idul Fitri tengah menyambutnya…
PPAI,
21082013*
Sumber :
Malaikat Kecilku yang tengah merajut mimpi.
Amry
Yusroni*
*Cerita ini telah terangkum dalam Buku Antologi Cerpen "Ayah, Ibu, Maafkan Aku" - Ae Publishing 2013
0 komentar:
Posting Komentar