By. Malaikat Salju*
***
Senja
menawarkan kilau emasnya, daun-daun kering terhempas angin. Rerantingnya
beroyang-goyang seolah ingin memanggil ia yang tengah duduk di tepi Sungai Serayu.
Sesekali tangannya
menjatuhkan bebatuan kecil, hingga permukaannya mencipta kecipak air yang
bergelombang.
“Ayo
Pulang, matahari sebentar lagi akan tenggelam.” Fajar mengajak kekasihnya yang
masih saja duduk di atas bebatuan.
“Aku
masih ingin disini.” Jawabnya, dengan tanpa mengalihkan pandangannya dari
permukaan air sungai itu.
“Besok
kita ke sini lagi, sekarang hari sudah mulai gelap. Mari kita pulang.”
Sekali lagi, Fajar merayunya untuk segera beranjak.
***
Resah
itu masih bergelayut ditiap detak jantungnya. Sejak Fajar mengutarakan niatnya
untuk mengikuti pendakian kepuncak Gunung Slamet, Nisa, kekasihnya, kini telah berubah. Ia banyak
diam, hingga perlahan raut wajahnya mencipta semburat mendung kesedihan.
Fajar
mengerti, Nisa begitu menyayanginya, seperti halnya ia yang begitu berat ketika
akan meninggalkannya, tapi apa hendak dikata…
Maafkan
aku, bukan maksudku untuk meninggalkanmu, tapi ini adalah sebuah tanggung jawab
yang tak bisa aku tangguhkan begitu saja dengan tanpa suatu alasan.
Yah,
Fajar adalah ketua dari pecinta alam –Rimba Pala- di sekolahnya. Ia harus
membimbing rekan-rekannya dan juga adik-adik kelasnya ketika dalam pendakian
nanti.
“Fajar, maaf. Bukannya
aku tak merelakanmu dalam pendakian nanti, namun aku terlalu takut untuk
berpisah denganmu.” Di bawah jantera bianglala sehabis rinainya, Nisa berkata dengan isak dan
derai airmata di pipinya.
“Percayalah, Nisa.
Pasti aku akan kembali lagi untukmu. Pendakiannya Cuma sebentar, kok. Do’akan
aku semoga baik-baik saja.” Di sebalik senyumnya, Fajar menyimpan kepedihan hati karena tak
kuasa melihat kekasihnya dalam kekalutan.
***
Hari di mana para pecinta alam akan menaklukkan puncak
tertinggi telah tiba. Fajar dan rekan-rekan Rimba Pala telah berkumpul di halaman
sekolah. Setelah cukup mendapatkan nasehat dari Bapak Kepala Sekolah, peserta
pendakian yang berjumlah dua puluh empat itu siap untuk berangkat.
Kicau burung di kaki pegunungan terdengar begitu merdu, sesekali
kabut kelabu mulai turun menggigilkan tiap sesiapa yang kini berada di Base
Camp untuk mendaki puncak Gunung Slamet. Meski telah
memakai jaket, syal dan kaus tangan, namun gigil itu tetap merasuk hingga ke
sum-sum tulang terdalam.
Di tempat
peristirahatan, Fajar mengambil air wudhu, melawan dingin yang teramat dingin
untuk bermunajat kepada sang khalik. Sebelum mendaki nanti, ia benar-benar
ingin merasakan ketenangan dan kedamaian dalam hati dan jiwanya. Meski ini
adalah pendakian yang kesekian kalinya, tapi bagi Fajar, ini adalah pendakian yang pertama di mana Fajar meninggalkan kekasih yang sangat
dicintainya.
***
Pendar cahaya rembulan
terbias di batas cakrawala, di puncaknya, terlihat guratan merah saga yang tercipta dari cahaya
larva yang keluar dari kawahnya. Keindahan Tuhan yang teramat menakjubkan.
Sungguh, kilau itu membuat mata sesiapa yang melihatnya akan bersyukur khusyu’ seirama berdo’a pada Tuhannya.
Pun Fajar ketika ia
tengah menengadah ke atas langit kemala. “Tuhan, ijinkan aku untuk menyayangi dan
mencintai hamba-Mu karena-Mu. Jagalah ia untukku, untuk kebahagiaan dunia dan akhiratku. Aamiin.” Dalam
khusyu’, Fajar merapal do’a untuk keabadian cintanya.
Mereka terus melangkah
dengan ditemani temaram sinar rembulan dan cahaya bintang-gemintang.
Binatang-binatang malam ikut bertasbih, mengumandangkan nyanyian alam.
“
Edelweiss Fajar…
Engkau memberikan keindahan yang tiada terbantahkan
Dengan kesucianmu sebagai lambang cintaku
‘kan kupersembahkan engkau kepada bibadariku
Bidadari paling dirindu
Penyejuk kalbu; Penyejuk jiwaku…
“
Fajar
menggenggam erat bunga abadi itu, ia berjanji, demi kesucian cintanya, ia akan
mempersembahkan Bunga Edelweiss itu untuk kekasihnya yang sangat dikasihi…
***
Di atas nisan yang bertuliskan “Fajar Alif”, Nisa menitikkan airmata.
Yang ditakutkan kini
telah terbaca, kabar semalam, setelah Fajar dibawa pulang dari pendakian, ia
sudah dalam keadaan tak bernyawa. Ia telah tergelincir ke dalam jurang ketika mau turun melewati batu terjal
dan berliku. Kuasa Tuhan kita memang tak pernah tahu, seperti halnya Fajar yang
akan mempersembahkan Bunga Edelweiss itu untuk cintanya, namun ternyata Tuhan begitu cepat
mengambil nyawa dari raganya.
Dalam gugu yang membiru,
Nisa meletakkan setangkai Edelweiss itu di atas pusara kekasihnya. Ia tak kuasa menahan jerit tangis batinnya.
Hanya do’a dan untaian tasbih cinta yang dapat ia sematkan, semoga Tuhan memberikan
tempat yang terindah di sisi-Nya, hingga ia dapat merasakan kedamaian dan kesejukan di telaga
Firdaus-Nya.
PPAI,
24112013
*Cerepen ini telah terangkum dalam Buku Antologi Cerpen "Bunga dan Cinta" - Panji Publisher 2014
0 komentar:
Posting Komentar