Penyihir Aksara (Malaikat Salju)

Do'a Kalimat Pena By. Muhrodin "AM"

29
April

By. Malaikat Salju*
***
            Senja menawarkan kilau emasnya, daun-daun kering terhempas angin. Rerantingnya beroyang-goyang seolah ingin memanggil ia yang tengah duduk di tepi Sungai Serayu.

Sesekali tangannya menjatuhkan bebatuan kecil, hingga permukaannya mencipta kecipak air yang bergelombang.
            “Ayo Pulang, matahari sebentar lagi akan tenggelam.” Fajar mengajak kekasihnya yang masih saja duduk di atas bebatuan.
            “Aku masih ingin disini.” Jawabnya, dengan tanpa mengalihkan pandangannya dari permukaan air sungai itu.
            “Besok kita ke sini lagi, sekarang hari sudah mulai gelap. Mari kita pulang.” Sekali lagi, Fajar merayunya untuk segera beranjak.
***
            Resah itu masih bergelayut ditiap detak jantungnya. Sejak Fajar mengutarakan niatnya untuk mengikuti pendakian kepuncak Gunung Slamet, Nisa, kekasihnya, kini telah berubah. Ia banyak diam, hingga perlahan raut wajahnya mencipta semburat mendung kesedihan.
            Fajar mengerti, Nisa begitu menyayanginya, seperti halnya ia yang begitu berat ketika akan meninggalkannya, tapi apa hendak dikata…
            Maafkan aku, bukan maksudku untuk meninggalkanmu, tapi ini adalah sebuah tanggung jawab yang tak bisa aku tangguhkan begitu saja dengan tanpa suatu alasan.
            Yah, Fajar adalah ketua dari pecinta alam –Rimba Pala- di sekolahnya. Ia harus membimbing rekan-rekannya dan juga adik-adik kelasnya ketika dalam pendakian nanti.
“Fajar, maaf. Bukannya aku tak merelakanmu dalam pendakian nanti, namun aku terlalu takut untuk berpisah denganmu.” Di bawah jantera bianglala sehabis rinainya, Nisa berkata dengan isak dan derai airmata di pipinya.
“Percayalah, Nisa. Pasti aku akan kembali lagi untukmu. Pendakiannya Cuma sebentar, kok. Do’akan aku semoga baik-baik saja.” Di sebalik senyumnya, Fajar menyimpan kepedihan hati karena tak kuasa melihat kekasihnya dalam kekalutan.
***
Hari di mana para pecinta alam akan menaklukkan puncak tertinggi telah tiba. Fajar dan rekan-rekan Rimba Pala telah berkumpul di halaman sekolah. Setelah cukup mendapatkan nasehat dari Bapak Kepala Sekolah, peserta pendakian yang berjumlah dua puluh empat itu siap untuk berangkat.
Kicau burung di kaki pegunungan terdengar begitu merdu, sesekali kabut kelabu mulai turun menggigilkan tiap sesiapa yang kini berada di Base Camp untuk mendaki puncak Gunung Slamet.  Meski telah memakai jaket, syal dan kaus tangan, namun gigil itu tetap merasuk hingga ke sum-sum tulang terdalam.
Di tempat peristirahatan, Fajar mengambil air wudhu, melawan dingin yang teramat dingin untuk bermunajat kepada sang khalik. Sebelum mendaki nanti, ia benar-benar ingin merasakan ketenangan dan kedamaian dalam hati dan jiwanya. Meski ini adalah pendakian yang kesekian kalinya, tapi bagi Fajar, ini adalah pendakian yang pertama di mana Fajar meninggalkan kekasih yang sangat dicintainya.
***
Pendar cahaya rembulan terbias di batas cakrawala, di puncaknya, terlihat guratan merah saga yang tercipta dari cahaya larva yang keluar dari kawahnya. Keindahan Tuhan yang teramat menakjubkan. Sungguh, kilau itu membuat mata sesiapa yang melihatnya akan bersyukur khusyu seirama berdo’a pada Tuhannya.
Pun Fajar ketika ia tengah menengadah ke atas langit kemala. “Tuhan, ijinkan aku untuk menyayangi dan mencintai hamba-Mu karena-Mu. Jagalah ia untukku, untuk kebahagiaan dunia dan akhiratku. Aamiin.” Dalam khusyu’, Fajar merapal do’a untuk keabadian cintanya.
Mereka terus melangkah dengan ditemani temaram sinar rembulan dan cahaya bintang-gemintang. Binatang-binatang malam ikut bertasbih, mengumandangkan nyanyian alam.
Edelweiss Fajar…
Engkau memberikan keindahan yang tiada terbantahkan
Dengan kesucianmu sebagai lambang cintaku
‘kan kupersembahkan engkau kepada bibadariku
Bidadari paling dirindu
Penyejuk kalbu; Penyejuk jiwaku…
            Fajar menggenggam erat bunga abadi itu, ia berjanji, demi kesucian cintanya, ia akan mempersembahkan Bunga Edelweiss itu untuk kekasihnya yang sangat dikasihi…
***
            Di atas nisan yang bertuliskan  “Fajar Alif”, Nisa menitikkan airmata.
Yang ditakutkan kini telah terbaca, kabar semalam, setelah Fajar dibawa pulang dari pendakian, ia sudah dalam keadaan tak bernyawa. Ia telah tergelincir ke dalam jurang ketika mau turun melewati batu terjal dan berliku. Kuasa Tuhan kita memang tak pernah tahu, seperti halnya Fajar yang akan mempersembahkan Bunga Edelweiss itu untuk cintanya, namun ternyata Tuhan begitu cepat mengambil nyawa dari raganya.
Dalam gugu yang membiru, Nisa meletakkan setangkai Edelweiss itu di atas pusara kekasihnya. Ia tak kuasa menahan jerit tangis batinnya. Hanya do’a dan untaian tasbih cinta yang dapat ia sematkan, semoga Tuhan memberikan tempat yang terindah di sisi-Nya, hingga ia dapat merasakan kedamaian dan kesejukan di telaga Firdaus-Nya.


PPAI, 24112013

*Cerepen ini telah terangkum dalam Buku Antologi Cerpen "Bunga dan Cinta" - Panji Publisher 2014

0 komentar:

Posting Komentar

X-Steel - Link Select

About this blog

Diberdayakan oleh Blogger.

Arsip Blog

salju

Blog Archive