By. Muhrodin “AM”*
****
Pernahkah kamu merasakan suatu kebahagiaan dan kedamaian disebuah
penjara suci? Dan pernahkah kamu mengalami suka duka yang menjadi warna-warni
pelangi dalam dinamika kehidupan sebagai santri?.
Aku pernah merasakan semua itu…
Disini, tepatnya disebuah Pondok Pesantren Al-ihya ‘Ulumaddin,
Kesugihan 1 Cilacap. Aku menjalani realita hidupku yang penuh lika-liku,
menemukan berbagai macam kenangan indah, suka dan duka, sakit dan kecewa,
seperti halnya bianglala yang tercipta selepas hujan reda.
Ini kisahku, di Pesantren Al-ihya ‘Ulumaddin yang kucintai…
***
Sore itu, kala mentari mulai beralih keufuk barat, dan sinarnya
mulai memancarkan cahaya keemasan. Kami, sebagian santri putra berbondong-bondong
menuju Ndalem-nya Romo Kyai Haji Chasbullah Badawi.
Beliau adalah pengasuh Pondok Pesantren Al-ihya ‘Ulumaddin yang
sekarang. Sebuah Pondok Pesantren terbesar dikota Cilacap Jawa Tengah, yang
didirikan oleh Romo Kyai Haji Badawi Hanafi, selaku ayahandanya. Tepatnya pada
tanggal 24 November 1925 / 1344 H. yang awalnya hanya sebuah langgar kecil atau
mushola yang disebut Langgar Duwur.
Setelah Romo Kyai Haji Badawi Hanafi, atau yang sering kami sebut ‘Simbah’
Badawi Hanafi, wafat, tambuk kepemimpinan dipegang oleh putranya, yaitu : Romo
Kyai Haji A. Mushtolih Badawi dan sekarang dilanjutkan oleh beliau Romo Kyai
Haji Chasbullah Badawi selaku adik dari KH. A. Mushtolih Badawi. Dengan dibantu
oleh Romo KH. M. Suhud Muchson, Lc. Dan Romo KH. Imdadurrohman Al- ‘Ubudy.
Kami memasuki Ndalem-nya Romo kyai, sebelum akhirnya Ustadz
Nur Cholis, selaku guru dan lurah pondok membacakan Tawassul dengan
dilanjutkan khotmil qur’an, dan meng-imami tahlil, serta do’a untuk keselamatan
Romo kyai Haji Chasbullah Badawi yang sedang menghadiri undangan konferensi
internasional di Turki. Dengan membawa misi untuk memajukan islam serta
perdamaian dunia. Dari Indonesia diwakili oleh tiga tokoh ulama terkemuka, yang
salah satunya adalah beliau. Juga untuk kesembuhan Gus Syahid Muchson, salah
satu Gus Pondok Pesantren Al-ihya ‘Ulumaddin yang sedang dirawat di Rumah
Sakit. ( Beliau telah wafat pada tanggal 03 Mei 2013. Semoga segala amal
ibadah beliau diterima disisi Allah SWT. Aamiin...)
Beberapa menit berlalu, Alhamdulillah aku sudah menyelesaikan juz
11 yang menjadi bagianku, dan
teman-teman santri yang lainpun sudah ada yang telah menyelesaikan bagiannya
masing-masing. Namun, banyak juga yang masih khusyu’ melafadzkan tiap
kalam-Nya, sehingga suasana di ruang tamu Ndalem-nya Romo Kyai terdengar
begitu mendamaikan hati dan menentramkan jiwaku.
Disaat sedang menunggu teman-teman menyelesaikan bacaan
Al-qur’annya, tiba-tiba saja perasaan itu menyelinap dalam qalbuku, mencipta
sebuah puing-puing penyesalan…
Ustadzku, yang dulu pernah memberikan kasih sayang yang tulus
untukku, kini seperti telah ada hijab yang menghalanginya. Setiap aku bertemu
dengan beliau, selalu saja rasa itu hadir dalam hatiku ; rasa rikuh dan pakewuh
karena berbagai kesalahanku.
Sebenarnya dalam hati yang paling dalam, aku masih sangat
membutuhkan kasih sayang seperti dulu ; dimarah kalau aku salah, selalu diberi
nasihat-nasihat bijak, dan selalu diperhatikan setiap langkahku berpijak dibumi
pesantren ini.
Tapi sekarang… semua itu hanyalah masa lalu, karena berbagai
kesalahanku yang membuat aku terlalu malu setiap kali harus bertemu dengan
beliau. Dan kini, beliau sedang khusyu’ membaca ayat-ayat suci al-qur’an
diantara suara-suara santri yang begitu meneduhkan.
***
Flash Back
Enam tahun yang lalu, disaat aku baru kurang lebih satu tahun
menghirup udara dipesantren. Pesantren yang sudah sejak kecil aku impikan. Aku
tergugu…
Bersamaan dengan suara tahrim yang terdengar begitu merdu dari
mikrofon masjid, aku tengah bercengkrama dengan ayat-ayat suci al-qur’an dipojok
kamar Al-barokah. Tak terasa, aku seperti terhanyut dalam dimensi waktu yang
membawa aku kesebuah dunia yang dulu pernah tercipta, aku seperti d’javu.
Segala tentang ayah dan ibu seketika menyelinap dalam qalbuku, hingga tak
terasa, aku tergugu dengan air mata yang telah membasahi kedua pipiku.
Tepat pukul 04. 30 WIB, terdengar suara muadzin yang
mengumandangkan adzan subuh. Ustadz Nur Cholis selaku keamanan pondok,
membangunkan para santri untuk segera mengambil air wudlu. Aku masih terhanyut
dalam tangisku ketika beliau hendak masuk kedalam kamarku untuk membangunkanku.
Namun sempat kulihat hanya senyum yang
terurai, sebelum akhirnya beliau melanjutkan membangunkan santri-santri yang
lain.
***
Menjelang Imtikhan Akhirussanah tahun 2008, masing-masing
Komplek di Pondok kami mengadakan acara perlombaan. Di Komplek kami, Komplek
Asassunnajah mengadakan perlombaan-perlombaan yang diantaranya adalah Mutholaah,
Muhafadzoh, Pidato dan lomba baca Puisi. Dan para Jurinya selain
pengurus Komplek Asassunnajah sendiri, juga melibatkan sebagian dari pengurus
pusat atau pengurus pondok.
Alhamdulillah, atas berkat pertolongan Allah SWT aku mendapatkan
juara dari semua perlombaan yang ada. Dari mulai Mutholaah kitab Safinah
Annajah mendapat juara I, kitab Duror Bahiyah juara I. dan lomba Muhafadzoh
kitab Al-Ajjurumiyah juara II, lomba Pidato juara II, dan
lomba baca puisi juara I.
Tepat pelaksanaan acara Imtikhan Akhirussanah, aku begitu
terharu. Berkali-kali namaku dipanggil untuk maju kedepan dan menerima hadiah
dari panitia acara.
Usai acara Imtikhan Akhirussanah, aku dipanggil oleh Ustadz
Nur Cholis. Disitulah pertama kalinya beliau begitu menyayangiku, memperhatikan
setiap kegiatanku dipesantren. Memberikan kasih sayangnya yang begitu penuh.
Seperti halnya seorang Ayah kepada Putranya.
Aku begitu bersyukur, karena Allah telah mengirimkan sosok ayah
untukku disini, ditempat yang jauh dari orang tua. Hampir setiap hari aku
dipanggil oleh beliau, walau terkadang hanya disuruh untuk memijit Asto
dan Samparan beliau, tapi aku begitu bangga, karena bisa dekat dengan
beliau dan hampir setiap hari aku juga diberi nasihat-nasihat bijak oleh
beliau. Lebih dari itu, aku juga selalu diberi solusi atau jalan keluar setiap
kali aku sedang menghadapi sebuah masalah dengan teman-teman. Bahkan tak jarang beliaupun sering membelikan
mie rebus atau makanan ringan untuk sekedar menemani setiap kali beliau
memberikan nasihat untukku.
Hampir seluruh santri di Pondok Pesantren Al-ihya ‘Ulumaddin tahu, kalau
aku adalah anak emas beliau. Hingga terkadang aku Su’ul Adab kepada
beliau, karena sering seenaknya minta uang. Bahkan terkadang langsung mengambil
sendiri uang beliau yang berserakan diatas meja kamar.
Ketika aku Kelas dua diniyah Minat Sore, beliau menjadi wali
dikelas kami, dan Alhamdulillah, selama dua semester akupun selalu mendapat
peringkat yang pertama. Aku semakin bangga, semakin merasa bahwa beliau adalah
sosok Ayah yang telah Allah ciptakan untuk membimbingku dijalan-Nya, memberikan
kasih sayang dan nasihat-nasihat bijak setiap aku melakukan kesalahan, walau
itu hanya sebatas kesalahan makan diluar pesantren, atau bahkan tidak memakai
peci ketika aku sedang sekolah.
Manusia adalah tempatnya salah dan dosa.
Suatu ketika, aku dan teman-teman ketahuan sedang menonton TV di
Rental Disk yang berada disekitar depan pesantren. Tepat jam 12 malam, kami
semua disuruh berkumpul dikantor pondok untuk kemudian diintrogasi satu
persatu. Nama, asal daerah, dan jenis pelanggaran. Ternyata malam itu tercatat
ada 26 santri yang melanggar. Dari mulai nonton TV, Main PS, dan Warnetan.
Aku begitu malu, ketika beliau, Ustadz Nur Cholis menanyai nama,
dan jenis pelanggaranku, seolah beliau tak pernah mengenal aku sebagai santri
yang mempunyai akhlak yang baik dipesantren ini, pandangannya nyalang, aku
seperti ditelanjangi. Bahkan sekedar memandang beliaupun aku tak mampu.
Setelah mencatat semua santri-santri yang bermasalah, beliau
menyuruh kami untuk istirahat. Namun sebelumnya beliau menegaskan tepat jam
tujuh pagi, kami semua harus berkumpul dikantor secretariat dan selanjutnya Sowan
menghadap Romo kyai Haji Imdadurrohman Al-‘Ubudy untuk memohon maaf dan meminta
sanksi dari pelanggaran yang telah kami lakukan.
“Berani berbuat harus berani bertanggung jawab”. Itu prinsipku,
ketika menghadapi segala problematika hidup ini. Bahkan ketika harus Sowan
ke Ndalem-nya Romo kyai Haji Imdadurrahman Al- ‘Ubudy.
Beliau menanyai satu-persatu dari kami, dan setiap santri yang
dipanggil namanya, beliau langsung menanyakan sanksi yang diminta. Berbagai
permintaan tentunya, karena kami berjumlah 26 santri. Ada yang meminta membaca
Al-qur’an 1 Juz, ada yang meminta menghafalkan kitab Al-imrithi, ada
yang meminta menghafalkan kitab Al-Ajjurumiyyah. Dan ketika sampai pada
namaku, sekali lagi beliau menanyakan sanksi yang ingin aku terima.
Langsung saja, aku menjawab “Membersihkan seluruh kamar mandi
pondok putra” yang kemudian di Amini oleh teman-temanku.
Alhamdulillah, beliau masih memberikan keringanan kepada kami,
tidak ada yang di potong rambutnya hingga tandas, tidak ada yang disuruh
membersihkan selokan sepanjang pondok putra dan putri, dan tentunya kami tidak
dikeluarkan dari pesantren. Kami hanya disuruh membersihkan semua kamar mandi
yang ada di pondok putra seperti yang tadi kami minta.
***
Dan kejadian seperti itu ternyata harus terulang kembali, lagi-lagi
kami harus berhadapan dengan pengurus keamanan karena kami telah melakukan
kesalahan. Menerjang larangan pesantren untuk tidak boleh warnetan.
Kali ini, persidangan dilakukan
dikantor komplek Asassunnajah. Tanpa banyak bertanya, pengurus-pengurus komplek
Asassunajah memutuskan sanksi yang mau tak mau harus kami terima. Membersihkan
selokan sepanjang pondok putra dan putri, yang panjangnya sekitar 400 Meter.
Sejak saat itulah, setiap kali Ustadz Nur Cholis memanggilku untuk
kekamar beliau, aku selalu takut. Lebih tepatnya malu, malu karena kini aku
sudah mulai menjadi santri yang nakal, suka melanggar peraturan-peraturan
pondok pesantren.
Hidupku dipesantren kini tak seindah dulu, kedamaian yang pernah kurasakan, kini
seperti telah sirna bersama waktu yang terus berlalu. Al-qur’an yang dulu
menjadi bagian dari napas hidupku, kini seperti terabaikan. Bahkan aku hampir
tak pernah menemukan ketenangan dan kedamaian hati setiap kali aku melafadzkan
ayat-ayat Al-qur’an.
Bahkan, akupun semakin jauh dengan Ustadz Nur Cholis. Beliau yang
dulu setiap hari memberikan nasihat-nasihat dan motivasinya, kini tak pernah
lagi kudengarkan kata-kata bijaknya.
Terakhir kalinya beliau memanggilku, aku tak mampu menahan tangisku
ketika beliau benar-benar menasihatiku hingga kata-katanya mampu menusuk
kedalam qalbuku. Aku sadar, aku terlalu salah, selalu saja mementingkan egoku
dari pada kewajibanku sebagai seorang santri yang seharusnya Ta’dzim
dengan segala peraturan-peraturan pesantren. Atau sebagai santri seharusnya
belajar dan terus belajar, hanya itu yang seharusnya aku lakukan disini,
pesantren yang dulu sudah menjadi pilihan hidupku. Ketika kedua orang tuaku
menyuruh aku untuk sekolah dan mondok di rumah saja, aku tetap gigih dengan
pendirianku, bahwa aku ingin mondok dan menjadi santri di sebuah pondok
pesantren di tanah Jawa. Namun setelah aku disini, apa yang aku lakukan?.
Selalu melanggar peraturan-peraturan pesantren dan tak pernah lagi
mau mendengarkan nasihat-nasihat guru atau Ustadz-ustadzku, aku mulai
kehilangan arah, aku limbung. Seperti seseorang yang tengah tersesat dalam
hutan belantara, yang tak tahu mana arah barat dan mana arah utara.
“Maafkan aku Ustadz, karena aku tak lagi mampu seperti dulu. Dan
terimakasih, karena Ustadz telah membimbingku hingga saat ini.”
“Aku kangen sama Ustadz…“. Kata-kata itulah yang kini sering
menggangguku. Aku rindu dengan nasihat-nasihat bijak beliau. Aku rindu dengan
kasih sayangnya, aku rindu dengan jeweran beliau setiap kali aku
melakukan kesalahan. Kini setiap kali
aku bertemu dengan beliau, selalu saja aku menghindar. Aku malu, malu pada
diriku yang tak lagi mampu seperti dulu, istiqomah dalam Muhafadzoh
kitab-kitab alat, Muthola’ah kitab-kitab
kuning, dan melafadzkan ayat-ayat Al-qur’an setiap waktu shubuh
dan petang.
Pernah suatu ketika beliau menegurku. Menanyakan kabarku yang tak
pernah lagi terlihat sedang membaca Al-qur’an atau menghafalkan Kitab Alat.
“Apakah kini kamu sudah besar? Sehingga tak pernah lagi mau silaturrahim
kekamarku?” pertanyaan beliau yang membuat aku semakin sedih, karena memang
sejatinya aku masih benar-benar sangat merindukan kasih sayang dan
nasihat-nasihat beliau.
Ya. Kini, aku hanya bisa memperbaiki kesalahan-kesalahanku dimasa
lalu. Mencoba berpikir dan bertindak dewasa. memang sudah waktunya aku harus melakukan yang
terbaik untuk semua. Terutama untuk kehidupanku di Pesantren yang kucinta.
Meski aku sadari, kini aku benar-benar telah berbeda tak seperti dulu lagi,
tapi, aku akan mencoba untuk memperbaiki diri. Memperbaiki semua
kesalahan-kesalanku dimasa lalu.
***
Aku tertegun, tersadar dari lamunan masa laluku, ketika bacaan
tahlil sudah dimulai, dan lagi-lagi aku benar-benar Nelangsa terbawa
suasana, ketika Ustadz Nur Cholis membacakan do’a dan kami semua meng-Amininya.
“Ya Allah… Ampunilah segala dosa-dosaku, dan dosa kedua orang
tuaku. Dan juga dosa semua guru-guruku. Amiiin.”
Setelah usai acara khotmil qur’an dan tahlil di Ndalem-nya
Romo Kyai. Kami semua kembali kekomplek masing-masing.
Semburat merah keemasan terpancar dari ufuk barat. Dan suara
muadzin yang mengumandangkan adzan maghrib di masjid Al-ihya terdengar begitu
merdu. Terlihat santri-santri mulai sibuk mengambil air wudlu untuk segera
melaksanakan kewajibannya, menunaikan ibadah sholat maghrib berjama’ah, dan
selanjutnya melaksanakan Takror, kemudian Diniyah malam, seperti
itulah kegiatan wajib santri –santri dipondok pesantren Al-ihya ‘Ulumaddin Kesugihan
1 Cilacap, saat ini.
***
Al-ihya
‘Ulumaddin, 09 Maret 2013*
CATATAN
:
·Ndalem :
Kediaman Kyai
·Langgar Duwur : Surau / Mushola
·Tawassul :
Perantara
·Rikuh / Pakewuh :
Segan / Merasa Tidak Enak
·Imtikhan Akhirussanah :
Ujian Akhir Tahun
·Muthola’ah :
Mengkaji
·Muhafadzoh :
Hafalan
·Kitab Safinah Annajah :
Kitab Fiqih, Karya : Syaikh Abi Abdul Mu’thi Muhammad Nawawi
Al-bantani
·Kitab Duror Bahiyah :
Kitab yang membahas tentang ilmu syariat bagi para mukallaf. Karya : Abu Bakar
Bin Muhammad Syatho’ Assyafi’i
·Kitab Al-Ajjurumiyah :
Kitab yang menerangkan gramatika bahasa arab ( nahwu ), Karya : Syaikh Muhammad
Asson Haji
·Kitab Al-Imrithi :
Kitab yang berisi syair-syair yang menerangkan tentang gramatika bahasa arab (
Nahwu ), Karya : Syaikh Syarofudin Yahya Al-imrithi
·Kitab Alat :
Kitab yang menerangkan tentang gramatika bahasa arab
·Asto :
Tangan
·Samparan :
Kaki
·Su’ul Adab :
Tidak Sopan
·Sowan :
Menghadap Kyai
·Ta’dzim :
Menghormati
·Takror :
Mengkaji ulang pelajaran
·Diniyah :
Sekolah non formal pesantren
0 komentar:
Posting Komentar