Penyihir Aksara (Malaikat Salju)

Do'a Kalimat Pena By. Muhrodin "AM"

18
April

By. Muhrodin “AM”*
****
Pernahkah kamu merasakan suatu kebahagiaan dan kedamaian disebuah penjara suci? Dan pernahkah kamu mengalami suka duka yang menjadi warna-warni pelangi dalam dinamika kehidupan sebagai santri?.
Aku pernah merasakan semua itu…
Disini, tepatnya disebuah Pondok Pesantren Al-ihya ‘Ulumaddin, Kesugihan 1 Cilacap. Aku menjalani realita hidupku yang penuh lika-liku, menemukan berbagai macam kenangan indah, suka dan duka, sakit dan kecewa, seperti halnya bianglala yang tercipta selepas hujan reda.
Ini kisahku, di Pesantren Al-ihya ‘Ulumaddin yang kucintai…
***
Sore itu, kala mentari mulai beralih keufuk barat, dan sinarnya mulai memancarkan cahaya keemasan. Kami, sebagian santri putra berbondong-bondong menuju Ndalem-nya Romo Kyai Haji Chasbullah Badawi.
Beliau adalah pengasuh Pondok Pesantren Al-ihya ‘Ulumaddin yang sekarang. Sebuah Pondok Pesantren terbesar dikota Cilacap Jawa Tengah, yang didirikan oleh Romo Kyai Haji Badawi Hanafi, selaku ayahandanya. Tepatnya pada tanggal 24 November 1925 / 1344 H. yang awalnya hanya sebuah langgar kecil atau mushola yang disebut Langgar Duwur.
Setelah Romo Kyai Haji Badawi Hanafi, atau yang sering kami sebut ‘Simbah’ Badawi Hanafi, wafat, tambuk kepemimpinan dipegang oleh putranya, yaitu : Romo Kyai Haji A. Mushtolih Badawi dan sekarang dilanjutkan oleh beliau Romo Kyai Haji Chasbullah Badawi selaku adik dari KH. A. Mushtolih Badawi. Dengan dibantu oleh Romo KH. M. Suhud Muchson, Lc. Dan Romo KH. Imdadurrohman Al- ‘Ubudy.
Kami memasuki Ndalem-nya Romo kyai, sebelum akhirnya Ustadz Nur Cholis, selaku guru dan lurah pondok membacakan Tawassul dengan dilanjutkan khotmil qur’an, dan meng-imami tahlil, serta do’a untuk keselamatan Romo kyai Haji Chasbullah Badawi yang sedang menghadiri undangan konferensi internasional di Turki. Dengan membawa misi untuk memajukan islam serta perdamaian dunia. Dari Indonesia diwakili oleh tiga tokoh ulama terkemuka, yang salah satunya adalah beliau. Juga untuk kesembuhan Gus Syahid Muchson, salah satu Gus Pondok Pesantren Al-ihya ‘Ulumaddin yang sedang dirawat di Rumah Sakit. ( Beliau telah wafat pada tanggal 03 Mei 2013. Semoga segala amal ibadah beliau diterima disisi Allah SWT. Aamiin...)
Beberapa menit berlalu, Alhamdulillah aku sudah menyelesaikan juz 11 yang  menjadi bagianku, dan teman-teman santri yang lainpun sudah ada yang telah menyelesaikan bagiannya masing-masing. Namun, banyak juga yang masih khusyu’ melafadzkan tiap kalam-Nya, sehingga suasana di ruang tamu Ndalem-nya Romo Kyai terdengar begitu mendamaikan hati dan menentramkan jiwaku.
Disaat sedang menunggu teman-teman menyelesaikan bacaan Al-qur’annya, tiba-tiba saja perasaan itu menyelinap dalam qalbuku, mencipta sebuah puing-puing  penyesalan…
Ustadzku, yang dulu pernah memberikan kasih sayang yang tulus untukku, kini seperti telah ada hijab yang menghalanginya. Setiap aku bertemu dengan beliau, selalu saja rasa itu hadir dalam hatiku ; rasa rikuh dan pakewuh karena berbagai kesalahanku.
Sebenarnya dalam hati yang paling dalam, aku masih sangat membutuhkan kasih sayang seperti dulu ; dimarah kalau aku salah, selalu diberi nasihat-nasihat bijak, dan selalu diperhatikan setiap langkahku berpijak dibumi pesantren ini.
Tapi sekarang… semua itu hanyalah masa lalu, karena berbagai kesalahanku yang membuat aku terlalu malu setiap kali harus bertemu dengan beliau. Dan kini, beliau sedang khusyu’ membaca ayat-ayat suci al-qur’an diantara suara-suara santri yang begitu meneduhkan.
***

Flash Back
Enam tahun yang lalu, disaat aku baru kurang lebih satu tahun menghirup udara dipesantren. Pesantren yang sudah sejak kecil aku impikan. Aku tergugu…
Bersamaan dengan suara tahrim yang terdengar begitu merdu dari mikrofon masjid, aku tengah bercengkrama dengan ayat-ayat suci al-qur’an dipojok kamar Al-barokah. Tak terasa, aku seperti terhanyut dalam dimensi waktu yang membawa aku kesebuah dunia yang dulu pernah tercipta, aku seperti d’javu. Segala tentang ayah dan ibu seketika menyelinap dalam qalbuku, hingga tak terasa, aku tergugu dengan air mata yang telah membasahi kedua pipiku.
Tepat pukul 04. 30 WIB, terdengar suara muadzin yang mengumandangkan adzan subuh. Ustadz Nur Cholis selaku keamanan pondok, membangunkan para santri untuk segera mengambil air wudlu. Aku masih terhanyut dalam tangisku ketika beliau hendak masuk kedalam kamarku untuk membangunkanku. Namun sempat kulihat  hanya senyum yang terurai, sebelum akhirnya beliau melanjutkan membangunkan santri-santri yang lain.
***
Menjelang Imtikhan Akhirussanah tahun 2008, masing-masing Komplek di Pondok kami mengadakan acara perlombaan. Di Komplek kami, Komplek Asassunnajah mengadakan perlombaan-perlombaan yang diantaranya adalah Mutholaah, Muhafadzoh, Pidato dan lomba baca Puisi. Dan para Jurinya selain pengurus Komplek Asassunnajah sendiri, juga melibatkan sebagian dari pengurus pusat atau pengurus pondok.
Alhamdulillah, atas berkat pertolongan Allah SWT aku mendapatkan juara dari semua perlombaan yang ada. Dari mulai Mutholaah kitab Safinah Annajah mendapat juara I, kitab Duror Bahiyah juara I. dan lomba Muhafadzoh kitab Al-Ajjurumiyah juara II, lomba Pidato juara II, dan lomba baca puisi juara I.
Tepat pelaksanaan acara Imtikhan Akhirussanah, aku begitu terharu. Berkali-kali namaku dipanggil untuk maju kedepan dan menerima hadiah dari panitia acara.
Usai acara Imtikhan Akhirussanah, aku dipanggil oleh Ustadz Nur Cholis. Disitulah pertama kalinya beliau begitu menyayangiku, memperhatikan setiap kegiatanku dipesantren. Memberikan kasih sayangnya yang begitu penuh. Seperti halnya seorang Ayah kepada Putranya.
Aku begitu bersyukur, karena Allah telah mengirimkan sosok ayah untukku disini, ditempat yang jauh dari orang tua. Hampir setiap hari aku dipanggil oleh beliau, walau terkadang hanya disuruh untuk memijit Asto dan Samparan beliau, tapi aku begitu bangga, karena bisa dekat dengan beliau dan hampir setiap hari aku juga diberi nasihat-nasihat bijak oleh beliau. Lebih dari itu, aku juga selalu diberi solusi atau jalan keluar setiap kali aku sedang menghadapi sebuah masalah dengan teman-teman.  Bahkan tak jarang beliaupun sering membelikan mie rebus atau makanan ringan untuk sekedar menemani setiap kali beliau memberikan nasihat untukku.
Hampir seluruh santri di Pondok Pesantren Al-ihya ‘Ulumaddin tahu, kalau aku adalah anak emas beliau. Hingga terkadang aku Su’ul Adab kepada beliau, karena sering seenaknya minta uang. Bahkan terkadang langsung mengambil sendiri uang beliau yang berserakan diatas meja kamar.
Ketika aku Kelas dua diniyah Minat Sore, beliau menjadi wali dikelas kami, dan Alhamdulillah, selama dua semester akupun selalu mendapat peringkat yang pertama. Aku semakin bangga, semakin merasa bahwa beliau adalah sosok Ayah yang telah Allah ciptakan untuk membimbingku dijalan-Nya, memberikan kasih sayang dan nasihat-nasihat bijak setiap aku melakukan kesalahan, walau itu hanya sebatas kesalahan makan diluar pesantren, atau bahkan tidak memakai peci ketika aku sedang sekolah.
Manusia adalah tempatnya salah dan dosa.
Suatu ketika, aku dan teman-teman ketahuan sedang menonton TV di Rental Disk yang berada disekitar depan pesantren. Tepat jam 12 malam, kami semua disuruh berkumpul dikantor pondok untuk kemudian diintrogasi satu persatu. Nama, asal daerah, dan jenis pelanggaran. Ternyata malam itu tercatat ada 26 santri yang melanggar. Dari mulai nonton TV, Main PS, dan Warnetan.
Aku begitu malu, ketika beliau, Ustadz Nur Cholis menanyai nama, dan jenis pelanggaranku, seolah beliau tak pernah mengenal aku sebagai santri yang mempunyai akhlak yang baik dipesantren ini, pandangannya nyalang, aku seperti ditelanjangi. Bahkan sekedar memandang beliaupun aku tak mampu.
Setelah mencatat semua santri-santri yang bermasalah, beliau menyuruh kami untuk istirahat. Namun sebelumnya beliau menegaskan tepat jam tujuh pagi, kami semua harus berkumpul dikantor secretariat dan selanjutnya Sowan menghadap Romo kyai Haji Imdadurrohman Al-‘Ubudy untuk memohon maaf dan meminta sanksi dari pelanggaran yang telah kami lakukan.
“Berani berbuat harus berani bertanggung jawab”. Itu prinsipku, ketika menghadapi segala problematika hidup ini. Bahkan ketika harus Sowan ke Ndalem-nya Romo kyai Haji Imdadurrahman Al- ‘Ubudy.
Beliau menanyai satu-persatu dari kami, dan setiap santri yang dipanggil namanya, beliau langsung menanyakan sanksi yang diminta. Berbagai permintaan tentunya, karena kami berjumlah 26 santri. Ada yang meminta membaca Al-qur’an 1 Juz, ada yang meminta menghafalkan kitab Al-imrithi, ada yang meminta menghafalkan kitab Al-Ajjurumiyyah. Dan ketika sampai pada namaku, sekali lagi beliau menanyakan sanksi yang ingin aku terima.
Langsung saja, aku menjawab “Membersihkan seluruh kamar mandi pondok putra” yang kemudian di Amini oleh teman-temanku.
Alhamdulillah, beliau masih memberikan keringanan kepada kami, tidak ada yang di potong rambutnya hingga tandas, tidak ada yang disuruh membersihkan selokan sepanjang pondok putra dan putri, dan tentunya kami tidak dikeluarkan dari pesantren. Kami hanya disuruh membersihkan semua kamar mandi yang ada di pondok putra seperti yang tadi kami minta.
***
Dan kejadian seperti itu ternyata harus terulang kembali, lagi-lagi kami harus berhadapan dengan pengurus keamanan karena kami telah melakukan kesalahan. Menerjang larangan pesantren untuk tidak boleh warnetan.
 Kali ini, persidangan dilakukan dikantor komplek Asassunnajah. Tanpa banyak bertanya, pengurus-pengurus komplek Asassunajah memutuskan sanksi yang mau tak mau harus kami terima. Membersihkan selokan sepanjang pondok putra dan putri, yang panjangnya sekitar 400 Meter.
Sejak saat itulah, setiap kali Ustadz Nur Cholis memanggilku untuk kekamar beliau, aku selalu takut. Lebih tepatnya malu, malu karena kini aku sudah mulai menjadi santri yang nakal, suka melanggar peraturan-peraturan pondok pesantren.
Hidupku dipesantren kini tak seindah  dulu, kedamaian yang pernah kurasakan, kini seperti telah sirna bersama waktu yang terus berlalu. Al-qur’an yang dulu menjadi bagian dari napas hidupku, kini seperti terabaikan. Bahkan aku hampir tak pernah menemukan ketenangan dan kedamaian hati setiap kali aku melafadzkan ayat-ayat Al-qur’an.
Bahkan, akupun semakin jauh dengan Ustadz Nur Cholis. Beliau yang dulu setiap hari memberikan nasihat-nasihat dan motivasinya, kini tak pernah lagi kudengarkan kata-kata bijaknya.
Terakhir kalinya beliau memanggilku, aku tak mampu menahan tangisku ketika beliau benar-benar menasihatiku hingga kata-katanya mampu menusuk kedalam qalbuku. Aku sadar, aku terlalu salah, selalu saja mementingkan egoku dari pada kewajibanku sebagai seorang santri yang seharusnya Ta’dzim dengan segala peraturan-peraturan pesantren. Atau sebagai santri seharusnya belajar dan terus belajar, hanya itu yang seharusnya aku lakukan disini, pesantren yang dulu sudah menjadi pilihan hidupku. Ketika kedua orang tuaku menyuruh aku untuk sekolah dan mondok di rumah saja, aku tetap gigih dengan pendirianku, bahwa aku ingin mondok dan menjadi santri di sebuah pondok pesantren di tanah Jawa. Namun setelah aku disini, apa yang aku lakukan?.
Selalu melanggar peraturan-peraturan pesantren dan tak pernah lagi mau mendengarkan nasihat-nasihat guru atau Ustadz-ustadzku, aku mulai kehilangan arah, aku limbung. Seperti seseorang yang tengah tersesat dalam hutan belantara, yang tak tahu mana arah barat dan mana arah utara.
“Maafkan aku Ustadz, karena aku tak lagi mampu seperti dulu. Dan terimakasih, karena Ustadz telah membimbingku hingga saat ini.”
“Aku kangen sama Ustadz…“. Kata-kata itulah yang kini sering menggangguku. Aku rindu dengan nasihat-nasihat bijak beliau. Aku rindu dengan kasih sayangnya, aku rindu dengan jeweran beliau setiap kali aku melakukan  kesalahan. Kini setiap kali aku bertemu dengan beliau, selalu saja aku menghindar. Aku malu, malu pada diriku yang tak lagi mampu seperti dulu, istiqomah dalam Muhafadzoh kitab-kitab alat, Muthola’ah kitab-kitab  kuning, dan melafadzkan ayat-ayat Al-qur’an setiap waktu shubuh dan petang.
Pernah suatu ketika beliau menegurku. Menanyakan kabarku yang tak pernah lagi terlihat sedang membaca Al-qur’an atau menghafalkan Kitab Alat. “Apakah kini kamu sudah besar? Sehingga tak pernah lagi mau silaturrahim kekamarku?” pertanyaan beliau yang membuat aku semakin sedih, karena memang sejatinya aku masih benar-benar sangat merindukan kasih sayang dan nasihat-nasihat beliau.
Ya. Kini, aku hanya bisa memperbaiki kesalahan-kesalahanku dimasa lalu. Mencoba berpikir dan bertindak dewasa. memang  sudah waktunya aku harus melakukan yang terbaik untuk semua. Terutama untuk kehidupanku di Pesantren yang kucinta. Meski aku sadari, kini aku benar-benar telah berbeda tak seperti dulu lagi, tapi, aku akan mencoba untuk memperbaiki diri. Memperbaiki semua kesalahan-kesalanku dimasa lalu.
***
Aku tertegun, tersadar dari lamunan masa laluku, ketika bacaan tahlil sudah dimulai, dan lagi-lagi aku benar-benar Nelangsa terbawa suasana, ketika Ustadz Nur Cholis membacakan do’a dan kami semua meng-Amininya.
“Ya Allah… Ampunilah segala dosa-dosaku, dan dosa kedua orang tuaku. Dan juga dosa semua guru-guruku. Amiiin.”
Setelah usai acara khotmil qur’an dan tahlil di Ndalem-nya Romo Kyai. Kami semua kembali kekomplek masing-masing.
Semburat merah keemasan terpancar dari ufuk barat. Dan suara muadzin yang mengumandangkan adzan maghrib di masjid Al-ihya terdengar begitu merdu. Terlihat santri-santri mulai sibuk mengambil air wudlu untuk segera melaksanakan kewajibannya, menunaikan ibadah sholat maghrib berjama’ah, dan selanjutnya melaksanakan Takror, kemudian Diniyah malam, seperti itulah kegiatan wajib santri –santri dipondok pesantren Al-ihya ‘Ulumaddin Kesugihan 1 Cilacap, saat ini.                                

***
Al-ihya ‘Ulumaddin, 09 Maret 2013*


CATATAN :
·Ndalem                                  : Kediaman Kyai
·Langgar Duwur                    : Surau / Mushola
·Tawassul                               : Perantara
·Rikuh / Pakewuh                   : Segan / Merasa Tidak Enak
·Imtikhan Akhirussanah          : Ujian Akhir Tahun
·Muthola’ah                            : Mengkaji
·Muhafadzoh                           : Hafalan
·Kitab Safinah Annajah          : Kitab Fiqih, Karya : Syaikh Abi Abdul Mu’thi Muhammad                               Nawawi Al-bantani
·Kitab Duror Bahiyah               : Kitab yang membahas tentang ilmu syariat bagi para mukallaf. Karya : Abu Bakar Bin Muhammad Syatho’ Assyafi’i
·Kitab Al-Ajjurumiyah                        : Kitab yang menerangkan gramatika bahasa arab ( nahwu ), Karya : Syaikh Muhammad Asson Haji
·Kitab Al-Imrithi                     : Kitab yang berisi syair-syair yang menerangkan tentang gramatika bahasa arab ( Nahwu ), Karya : Syaikh Syarofudin Yahya Al-imrithi
·Kitab Alat                              : Kitab yang menerangkan tentang gramatika bahasa arab
·Asto                                       : Tangan
·Samparan                              : Kaki
·Su’ul Adab                             : Tidak Sopan
·Sowan                                                : Menghadap Kyai
·Ta’dzim                                 : Menghormati
·Takror                                               : Mengkaji ulang pelajaran

·Diniyah                                  : Sekolah non formal pesantren 

0 komentar:

Posting Komentar

X-Steel - Link Select

About this blog

Diberdayakan oleh Blogger.

Arsip Blog

salju

Blog Archive