Penyihir Aksara (Malaikat Salju)

Do'a Kalimat Pena By. Muhrodin "AM"

16
April

By. Muhrodin “AM”*

***
Fajar…
Kilaumu nian memancarkan keindahan yang tiada tertangguhkan
Memberikan kehangatan, pada tiap apa yang telah tercipta di belahan bumi persada
Seperti siluet,  entah bagaimana kidungnya yang tiada tereja oleh bahasa kata, meski maknanya teramat dalam laiknya gelombang cinta pada lautan asmara…


            Keindahan itu sederhana, seperti halnya kicau burung di pagi ini yang mencipta sonata pada tiap ranting pohon yang menjadi saksi. Seperti halnya kilau cahaya yang membias di batas cakrawala; sesederhana Tuhan menciptakan cinta di antara kita…
***
            “Kiara… “ Panggil Fajar, ketika dilihatnya Kiara sedang berjalan di depan Perpustakaan Kampus, tempat mereka belajar.
Kiara pun menoleh, menghentikan langkahnya sejenak, setelah dilihat yang memanggil namanya adalah Fajar; kekasihnya yang selalu membuat ia tersenyum.
            “Iya, ada apa?” Tanya Kiara setelah mereka sudah berjalan bersisian, untuk menuju ruang kelas di lantai tiga.
            “Kamu jadi ikut pendakian itu?” Tanya Fajar, antusias. Mereka memang pernah berjanji akan mendaki ke Puncak Gunung Slamet bersama-sama. Dan sekarang, acara pendakian itu tinggal menghitung hari.
            “Belum tahu, Fajar… Kamu ngerti sendiri, kan? Akhir-akhir ini aku sering sakit-sakitan, aku takut di sana hanya akan merepotkanmu.” Kiara berkata penuh kelembutan.
Jauh di lubuk hatinya, sebenarnya ia sangat ingin ikut mendaki ke Gunung Slamet bersama Fajar, menikmati keindahan Bunga Edelwiss dan mengagumi kuasa Tuhan. Namun apalah daya, satu minggu yang lalu Kiara harus terbaring lemah di Rumah Sakit karena penyakit Livernya yang kian meraja. Ia tak ingin mendzalimi dirinya dengan menuruti nafsunya, yang akhirnya hanya akan menyusahkan orang-orang yang mencintanya.
            “Iya, aku tahu, kok. Kalau memang kamu masih sakit, tidak usah dipaksakan. Suatu saat nanti, jika memang Tuhan masih memberikan umur yang panjang, kita akan menaklukan puncak Slamet bersama-sama.” Kata-kata Fajar selalu meneduhkan, sehingga Kiara begitu bahagia dapat dipertemukan dengannya, bahkan kini, Tuhan telah menitipkan benih cinta di antara hati mereka berdua…
            Kiara mengurai senyum, senyum yang tulus demi mendengar penuturan Fajar yang serasa seperti Oase di tengah gurun sahara. “Iya, Fajar. Pasti aku akan bahagia sekali bila bisa mendaki Gunung Slamet bersamamu.” Kata Kiara masih dengan lengkung sabit di bibir manisnya.
***
            Teman-teman Mahasiswa yang hendak mengikuti pendakian ke Puncak Gunung Slamet sudah berkumpul di depan Kampus, termasuk Fajar. Mereka semua mendengarkan sedikit prakata dari Mahasiswa Senior Ighopala –Imam Ghozali pecinta alam-- yang harus dipatuhi dan tak boleh untuk dilanggar selama dalam pendakian.
***
Senja memancarkan semburat keemasan, sebentar lagi malam akan merangkak. Bumi  yang telah berotasi akan mengalihkan cahaya mentari dengan cahaya sang rembulan. Menggantikan siang dengan pucuk malam yang penuh Bintang-gemintang.
Dalam perjalanan menuju kaki Gunung Slamet yang terletak di daerah Purbalingga, Fajar teringat akan kalimat dalam kata-kata Kiara.
“Fajar… jika tak keberatan. Aku ingin untuk keabadian cinta kita, bawakan aku Setangkai Edelweiss. Itu kata-kata Kiara, sebelum Fajar meninggalkannya untuk mendaki puncak Gunung Slamet tanpa Kiara di sisinya. Teringat akan kebersamaan yang telah mereka lalui berdua, membuat Fajar begitu sangat merindukan Kiara. Mungkin, jika Kiara tak sedang dalam keadaan sakit, mereka sudah merajut malam yang penuh bintang-gemintang dengan untaian makna yang tak akan pernah terlupakan. Tapi, itu semua hanya membuat separuh hatinya kian terluka, karena sejatinya, itu hanya kamuflase,  Ia hanya bersama semilir angin malam dan kabut di kaki pegunungan yang membuat Fajar merasa sangat kedinginan.
***
            Malam telah punai, semilir angin masih begitu terasa menusuk ke dalam sukma. Bintang-gemintang di atas cakrawala terlihat begitu memesona, kilaunya laiknya taman surga yang Tuhan ciptakan dengan goresan kuasanya dalam kanvas yang penuh cinta.
Usai istirahat di Base Camp kaki Gunung Slamet, Fajar dan Rekan-rekan mahasiswa lainnya siap untuk mendaki langit. Menaklukkan puncak ketinggian pegunungan Slamet yang menjulang bagai hendak menggapai awan dilangit malam. Malam masih menyisakan kabut di sepanjang perjalanan yang begitu terjal dan berliku. Bersama dingin yang serasa menusuk tulang, Fajar dan Rekan-rekannya terus menerobos hutan belantara dalam pekatnya.
Nyiur suara binatang malam ikut meramaikan suasana, bersama sabit di lengkung langit malam yang seperti terus mengikuti langkahnya, mereka terus melangkahkan kakinya menuju perisai cinta di batas langit antara.
Hingga fajar kembali menyapa, menyuguhkan Sun Rise yang begitu indah untuk sekedar dinikmati dengan mata yang masih terjaga.
Fajar dan Rekan-rekan mahasiswa lainnya telah sampai di Pos V, di mana Sun Rise memancarkan keindahan yang menyilaukan, membuat semuanya terkagum-kagum akan setitik kuasa Tuhan yang telah tercipta di antara ketinggian puncaknya.
Perlahan… cahaya itu memudar, berganti dengan pemandangan pegunungan yang begitu indah; dedaunan yang menghijau, dan hamparan rerumputan yang terus bergoyang tiap kali semilir angin menyapa, memberi salam kepada alam semesta.
Seperti hendak berjalan di atas awan, ketika gumpalan putih itu telah tercipta, begitu nyata keindahannya menyelimuti hamparan luas di batas cakrawala. Sejauh mata memandang langit lazuardi, pun terlihat keangkuhannya yang menjulang bagai hendak bernostalgia. -Sindoro-Sumbing- nyata terlihat di depan  mata.
Mungkin jika Tuhan mengijinkan, suatu saat nanti ia berjanji akan menaklukkan keangkuhannya, “Sindoro-Sumbing, tunggu aku menggagahimu.” Ujarnya dalam hati.
Fajar terus berjalan di atas awan. Sengatan mentari yang menemani langkahnya serasa seperti dalam ruangan hampa udara. Tak cukup mampu untuk membuatnya merasa kepanasan, namun begitu mampu membuat tubuhnya menguap hingga tergelincirlah buliran-buliran air dari tiap pori-pori dalam tubuhnya.
***
            Sempurnalah mimpinya, Fajar bersama Rekan-rekan mahasiswa lainnya telah purna menaklukkan ketinggian puncaknya. Slamet yang menjulang menantang sang pangeran langit pun, kini telah berada dalam genggamannya. 

Tuhan…
Aku tak mampu berbuat lebih
Semua adalah kuasa-Mu
Lewat lelahku, kucoba renungi keagungan-Mu
Seperti d’javu, ketika kulihat di sekelilingku, semua adalah ciptaan-Mu,
yang begitu nyata menyiratkan akan  keagungan kuasa-Mu.
Satu pintaku, dalam untaian do’a suciku di Puncak Ketinggian Gunung Slamet.
Semoga Engkau selalu menjaga orang-orang yang kucintai dan orang-orang yang mencintaiku. Bersama ridlo-Mu, kusimpuhkan harapanku hanya pada-Mu,
Tuhan…

Seketika Fajar teringat akan kekasihnya, Kiara… teringat dengan Setangkai Edelweiss yang dimintanya sebagai lambang  keabadian cinta suci mereka.
            “Seperti pintamu padaku, Kiara… akan aku persembahkan Setangkai Edelweiss ini untukmu, sebagai bukti kesucian cinta kita yang terus kujaga.” Dalam diamnya Fajar merapal do’a…
***
            Kuasa Tuhan kita memang tak pernah tahu, seperti halnya takdir ini yang terkadang terasa begitu sangat menyakitkan. Seperti halnya Fajar yang harus kehilangan Kiara untuk selamanya…
Senja hanya terlihat senyum sang surya… kembali dalam kelopak mata, yang akhirnya mampu mencipta bulir-bulir airmata…
Fajar belum sempat memberikan Setangkai Edelweiss itu untuk Kiara, Namun Tuhan telah lebih dulu mengambil Kiara dari sisinya.
Penyakit Liver yang menyerang Kiara, tak mampu lagi untuk menopang tubuhnya. Hingga saat yang belum mampu melabuhkan cinta mereka dalam tepian lautan cinta. Bahtera itu harus tenggelam bersama sakit dan kecewa yang mendera.
Sakit, karena Fajar harus kehilangan Kiara, dan kecewa, karena Fajar belum mampu untuk mempersempahkan Setangkai Edelweiss itu untuk Kiara sebagai tanda  cinta sucinya…
***

Kamar Biru, 20 Mei 2013*

*Cerita ini telah terhimpun dalam Buku Antologi Cerpen "On Another Place dan Abu-abu" - Menara 9 Warna - 2013

0 komentar:

Posting Komentar

X-Steel - Link Select

About this blog

Diberdayakan oleh Blogger.

Arsip Blog

salju

Blog Archive