By. Muhrodin “AM”*
***
Fajar…
Kilaumu nian memancarkan keindahan yang tiada
tertangguhkan
Memberikan kehangatan, pada tiap apa yang telah
tercipta di belahan bumi persada
Seperti siluet,
entah bagaimana kidungnya yang tiada tereja oleh bahasa kata, meski
maknanya teramat dalam laiknya gelombang cinta pada lautan asmara…
Keindahan
itu sederhana, seperti halnya kicau burung di pagi ini yang mencipta sonata pada tiap ranting pohon
yang menjadi saksi. Seperti halnya kilau cahaya yang membias di batas cakrawala; sesederhana Tuhan menciptakan cinta di antara kita…
***
“Kiara…
“ Panggil Fajar, ketika dilihatnya Kiara sedang berjalan di depan Perpustakaan
Kampus, tempat mereka belajar.
Kiara pun menoleh, menghentikan langkahnya sejenak, setelah
dilihat yang memanggil namanya adalah Fajar; kekasihnya yang selalu membuat ia tersenyum.
“Iya,
ada apa?” Tanya Kiara setelah mereka sudah berjalan bersisian, untuk menuju
ruang kelas di lantai tiga.
“Kamu
jadi ikut pendakian itu?” Tanya Fajar, antusias. Mereka memang pernah berjanji akan mendaki ke Puncak
Gunung Slamet bersama-sama. Dan sekarang, acara pendakian itu tinggal
menghitung hari.
“Belum
tahu, Fajar… Kamu ngerti sendiri, kan? Akhir-akhir ini aku sering sakit-sakitan,
aku takut di sana hanya akan merepotkanmu.” Kiara berkata penuh kelembutan.
Jauh di lubuk hatinya, sebenarnya ia sangat ingin ikut mendaki ke Gunung Slamet bersama Fajar,
menikmati keindahan Bunga Edelwiss dan mengagumi kuasa Tuhan. Namun apalah
daya, satu minggu yang lalu Kiara harus terbaring lemah di Rumah Sakit karena
penyakit Livernya yang kian meraja. Ia tak ingin mendzalimi dirinya dengan menuruti
nafsunya, yang akhirnya hanya akan menyusahkan orang-orang yang mencintanya.
“Iya,
aku tahu, kok. Kalau memang kamu masih sakit, tidak
usah dipaksakan. Suatu saat nanti, jika memang Tuhan masih memberikan umur yang
panjang, kita akan menaklukan puncak Slamet bersama-sama.” Kata-kata Fajar selalu meneduhkan, sehingga Kiara
begitu bahagia dapat dipertemukan dengannya, bahkan kini, Tuhan telah
menitipkan benih cinta di antara hati mereka berdua…
Kiara
mengurai senyum, senyum yang tulus demi mendengar penuturan Fajar yang serasa
seperti Oase di tengah gurun sahara. “Iya, Fajar. Pasti aku akan bahagia sekali
bila bisa mendaki Gunung Slamet bersamamu.” Kata Kiara masih dengan lengkung sabit di bibir manisnya.
***
Teman-teman
Mahasiswa yang hendak mengikuti pendakian ke Puncak Gunung Slamet sudah
berkumpul di depan Kampus, termasuk Fajar. Mereka semua mendengarkan sedikit
prakata dari Mahasiswa Senior Ighopala –Imam Ghozali pecinta alam-- yang harus dipatuhi dan tak boleh untuk dilanggar selama dalam
pendakian.
***
Senja memancarkan
semburat keemasan, sebentar lagi malam akan merangkak. Bumi yang telah berotasi akan mengalihkan cahaya mentari dengan cahaya sang
rembulan. Menggantikan siang dengan pucuk malam yang penuh Bintang-gemintang.
Dalam perjalanan
menuju kaki Gunung Slamet yang terletak di daerah Purbalingga, Fajar teringat akan kalimat dalam kata-kata
Kiara.
“Fajar… jika tak
keberatan. Aku ingin untuk keabadian cinta kita, bawakan aku Setangkai Edelweiss.” Itu kata-kata Kiara, sebelum Fajar meninggalkannya untuk mendaki
puncak Gunung Slamet tanpa Kiara di sisinya. Teringat akan kebersamaan yang telah mereka
lalui berdua, membuat Fajar begitu sangat merindukan Kiara. Mungkin, jika Kiara
tak sedang dalam keadaan sakit, mereka sudah merajut malam yang penuh bintang-gemintang
dengan untaian makna yang tak akan pernah terlupakan. Tapi, itu semua hanya
membuat separuh hatinya kian terluka, karena sejatinya, itu hanya
kamuflase, Ia hanya bersama semilir
angin malam dan kabut di kaki pegunungan yang membuat Fajar merasa sangat
kedinginan.
***
Malam
telah punai, semilir angin masih begitu terasa menusuk ke dalam sukma. Bintang-gemintang di atas cakrawala terlihat begitu memesona, kilaunya
laiknya taman surga yang Tuhan ciptakan dengan goresan kuasanya dalam kanvas yang penuh cinta.
Usai istirahat di Base
Camp kaki Gunung Slamet, Fajar dan Rekan-rekan mahasiswa lainnya siap untuk
mendaki langit. Menaklukkan puncak ketinggian pegunungan Slamet yang menjulang
bagai hendak menggapai awan dilangit malam. Malam masih menyisakan kabut di sepanjang perjalanan yang begitu terjal dan berliku.
Bersama dingin yang serasa menusuk tulang, Fajar dan Rekan-rekannya terus
menerobos hutan belantara dalam pekatnya.
Nyiur suara binatang
malam ikut meramaikan suasana, bersama sabit di lengkung langit malam yang seperti terus mengikuti
langkahnya, mereka terus melangkahkan kakinya menuju perisai cinta di batas langit antara.
Hingga fajar kembali
menyapa, menyuguhkan Sun Rise yang begitu indah untuk sekedar dinikmati
dengan mata yang masih terjaga.
Fajar dan Rekan-rekan mahasiswa
lainnya telah sampai di Pos V, di mana Sun Rise memancarkan keindahan
yang menyilaukan, membuat semuanya terkagum-kagum akan setitik kuasa Tuhan yang
telah tercipta di antara ketinggian puncaknya.
Perlahan… cahaya itu
memudar, berganti dengan pemandangan pegunungan yang begitu indah; dedaunan yang menghijau, dan hamparan
rerumputan yang terus bergoyang tiap kali semilir angin menyapa, memberi salam kepada
alam semesta.
Seperti hendak
berjalan di atas awan, ketika gumpalan putih itu telah tercipta, begitu
nyata keindahannya menyelimuti hamparan luas di batas cakrawala. Sejauh mata memandang langit
lazuardi, pun terlihat keangkuhannya yang menjulang bagai hendak bernostalgia. -Sindoro-Sumbing-
nyata terlihat di depan mata.
Mungkin jika Tuhan mengijinkan,
suatu saat nanti ia berjanji akan menaklukkan keangkuhannya, “Sindoro-Sumbing,
tunggu aku menggagahimu.” Ujarnya dalam hati.
Fajar terus berjalan di atas awan. Sengatan mentari yang menemani langkahnya
serasa seperti dalam ruangan hampa udara. Tak cukup mampu untuk membuatnya
merasa kepanasan, namun begitu mampu membuat tubuhnya menguap hingga
tergelincirlah buliran-buliran air dari tiap pori-pori dalam tubuhnya.
***
Sempurnalah
mimpinya, Fajar bersama Rekan-rekan mahasiswa lainnya telah purna menaklukkan
ketinggian puncaknya. Slamet yang menjulang menantang sang pangeran langit pun, kini telah berada dalam genggamannya.
Tuhan…
Aku tak mampu berbuat lebih
Semua adalah kuasa-Mu
Lewat lelahku, kucoba renungi keagungan-Mu
Seperti d’javu, ketika kulihat di sekelilingku, semua adalah ciptaan-Mu,
yang begitu nyata menyiratkan akan keagungan kuasa-Mu.
Satu pintaku, dalam untaian do’a suciku di Puncak
Ketinggian Gunung Slamet.
Semoga Engkau selalu menjaga orang-orang yang
kucintai dan orang-orang yang mencintaiku. Bersama ridlo-Mu, kusimpuhkan
harapanku hanya pada-Mu,
Tuhan…
Seketika Fajar
teringat akan kekasihnya, Kiara… teringat dengan Setangkai Edelweiss yang
dimintanya sebagai lambang keabadian
cinta suci mereka.
“Seperti
pintamu padaku, Kiara… akan aku persembahkan Setangkai Edelweiss ini untukmu,
sebagai bukti kesucian cinta kita yang terus kujaga.” Dalam diamnya Fajar merapal do’a…
***
Kuasa
Tuhan kita memang tak pernah tahu, seperti halnya takdir ini yang terkadang
terasa begitu sangat menyakitkan. Seperti halnya Fajar yang harus kehilangan
Kiara untuk selamanya…
Senja hanya terlihat
senyum sang surya… kembali dalam kelopak mata, yang akhirnya mampu mencipta
bulir-bulir airmata…
Fajar belum sempat
memberikan Setangkai Edelweiss itu untuk Kiara, Namun Tuhan telah lebih dulu
mengambil Kiara dari sisinya.
Penyakit Liver yang
menyerang Kiara, tak mampu lagi untuk menopang tubuhnya. Hingga saat yang belum
mampu melabuhkan cinta mereka dalam tepian lautan cinta. Bahtera itu harus
tenggelam bersama sakit dan kecewa yang mendera.
Sakit, karena Fajar
harus kehilangan Kiara, dan kecewa, karena Fajar belum mampu untuk
mempersempahkan Setangkai Edelweiss itu untuk Kiara sebagai tanda cinta sucinya…
Kamar
Biru, 20 Mei 2013*
*Cerita ini telah terhimpun dalam Buku Antologi Cerpen "On Another Place dan Abu-abu" - Menara 9 Warna - 2013
0 komentar:
Posting Komentar