Lewat serpihan malam, kuliarkan cerita sunyiku tuk menjaring cinta yang jauh sebelum lalu telah kutunggu; cerita malam minggu...
"
Apa aku salah mencintainya, Tuhan? Bahkan aku tak pernah tahu kapan tepatnya rasa ini merajai hatiku. Namun sungguh, tak dapat kupungkiri aku mencintainya; gadis manis bermata jeli bak bidadari di taman seloka.
"
"Mas, maafkan aku. Abah tak merestui hubungan kita," katanya, lewat sepucuk surat merah delima yang dikirimkan tepat disaat malam menggagahi semesta.
Oh, Tuhan, yang menciptakan cinta dan kerinduan. Apakah sebenar cinta harus terhalang karena sebuah perbedaan? Aku amat sadar, aku hanyalah seorang santri yang tak tahu diri, sedang ia adalah putri seorang kiyai. Tradisi yang mengalir di antara bilik sucinya adalah putri kiyai dengan putra kiyai. Ah, sepertinya dunia ini tak adil sekali bagi aku yang nyata hatinya telah tergores luka.
Masih kuingat jelas, saat malam minggu pertama kudapati senyum manismu, hingga kuberanikan untuk menulis surat biru itu. Dan oh, ternyata kamu membalasnya, hingga cinta itu tercipta di atas hamparan luas bumi persada. Aku dan kamu selayak raja dengan rani, hingga tak kuasa menahan gejolak rasa, saat itu aku seperti tenggelam di laut terdalam mendapati dirimu mau menerima cintaku, tapi ternyata itu tak bertahan lama.
Surat ke dua ke tiga dan setelahnya cinta itu masih terbias di antara kelopak mawar yang menjadi saksinya. Tapi tidak untuk malam minggu ini, suratmu selayak duri yang melukai. Hingga ketika aku membacanya, hatiku serasa tertusuk ribuan duri yang terasa nyeri seakan mati.
"
"Mas, maafkan aku. Abah tak merestui hubungan kita," kata-kata itu kembali terngiang-ngiang hingga dengungannya merupa sengatan lebah yang mematikan.
Aku sudah menyangka sebelumnya, seperti cerita-cerita klise di pesantren yang pernah aku baca. Akan sulit sekali bahkan mungkin teramat tabu jika seorang kiyai merestui putrinya berhubungan dengan santrinya, karena dalam sejarahnya pun tak pernah mengenal kamus pacaran! Hanya perjodohan atau ta'aruf yang menuju pernikahan. Pun itu dengan sesama putra kiyai bukan dengan santri tak tahu diri macam aku.
O, salahkah aku menanam rasa? Jika cinta adalah anugerah, tapi kenapa rasa ini seperti musibah?
"
"Abah, aku mencintai putri abah, jika diijinkan aku hendak melamarnya," pernah suatu ketika aku menghadap untuk mengutarakan rasa dan niat yang terajut di dalam dada.
Namun tetap sama yang kurasa; aku terluka!
"Punya apa kamu berani melamar putriku? Apa kamu kira kalian bisa bahagia hanya dengan nafsu semata yang berkedok cinta?" Aku bungkam. Tertunduk pasrah dalam kesakitan. Oh, Tuhan, kupasrahkan segala rasaku pada-Mu. Aku rela jika ini takdirku. Ambillah nyawaku sebagai bukti ketulusan cintaku. Aku terpejam hingga airmataku jatuh satu-satu...
PPAI, 19012014
02:42
0 komentar:
Posting Komentar