By. Muhrodin “AM”
***
Pyar!
Cahaya itu pecah, menghilang setelah sebelumnya
mencipta seketsa wajah yang berlumuran darah dengan gigi-gigi taring
menyeringai bagai hendak memangsa Dilan yang berada tepat dihadapannya.
Aku tersentak, ketika tiba-tiba Dilan mengalihkan
pandangannya kearahku dengan sorot mata yang tajam penuh kebencian.
“Dilan! Kamu kenapa?” Bulu kuduk-ku merinding. Dan
dalam waktu sepersekian detik, Dilan
telah mencekik leherku hingga membuat aku tak mampu untuk bernapas.
“l-e-p-a-s-k-a-n a-k-u,” pintaku dengan suara yang
teramat berat.
Aku pasrah, ketika cengkeraman tangan Dilan
benar-benar tak sanggup lagi untuk kutahan. Kuku-kuku tajamnya telah menusuk
sebagian kulit leherku. lamat-lamat pandanganku kabur: menggelap, dan kurasakan,
aku seperti tak sadarkan diri.
***
Aku berada disebuah tempat yang asing. Entah tempat
apa, aku tak pernah melihat sebelumnya. Seperti sebuah goa pada zaman purba,
dikanan-kirinya ada obor yang menerangi tiap lorongnya.
Seketika aku teringat bahwa barusaja aku tengah
dicekik oleh Dilan sampai terasa tak lagi bernyawa. Tapi dimana Dilan sekarang?
Kulangkahkan kaki-ku pelan-pelan, aku tak tahu apa
yang harus aku lakukan. Kuberanikan diriku untuk terus berjalan membunuh rasa
penasaranku akan tempat yang kini kusinggahi.
“Huahahaha…”
Suara itu? Seperti yang kudengar ketika sedang
bersama Dilan. Aku mencoba untuk terus melangkah meski dengan rasa takut yang
teramat sangat. Ketika telah sampai diujung goa, kulihat Dilan sedang diikat
dengan dikelilingi oleh mahluk-mahluk penghuni goa itu, rambutnya seperti
kobaran api, kukunya panjang meruncing hingga menyentuh tanah. Raut mukanya
berlumuran darah, sama seperti yang kulihat bersama Dilan malam tadi; sangat
mengerikan!
Aku masih tak cukup mengerti. “Mengapa aku bisa ada
disini?” berbagai pikiran telah berkecamuk dalam otak-ku.
“Jangan! Aku masih ingin hidup.” Kudengar suara Dilan
meronta, ketika sesosok mahluk yang mengerikan itu hendak menusuk perut Dilan
dengan kuku tajamnya.
“S-a-k-i-t.”
Kembali Dilan mengerang kesakitan. Rasanya sakit itu begitu nyata, hingga mampu
merasuk kedalam sukma.
“Dilan!” aku berteriak mencoba memanggilnya, namun
sia-sia. Dilan sedikitpun tak mendengar panggilanku. Kembali mahluk itu
menyiksa Dilan dengan sayatan-sayatan kuku tajamnya.
“Aku tak mau menjadi budak setan!” Teriaknya dengan
suara yang menyayat.
“Dilaaan….!” Kembali kuberteriak hingga aku
terbangun. Kedua orangtuaku menenangkanku dengan memelukku yang tengah
terbaring di rumah sakit. Kini aku sadar, bahwa alamku telah berbeda. Belum
genap 24 jam yang lalu Dilan telah tiada. Aku kecelakaan bersamanya ketika
hendak menikmati semilir angin malam di pantai Cilacap.
Selamat jalan, Dilan. Semoga engkau bahagia di alam
sana…
PPAI, 26092013*
0 komentar:
Posting Komentar