Penyihir Aksara (Malaikat Salju)

Do'a Kalimat Pena By. Muhrodin "AM"

15
April

By. Muhrodin “AM”

---
Hujan senja ini tak semisal lalu, derainya begitu menawar pilu, hingga luka di ulu hatiku selayak sayatan sembilu.
O, adakah luka yang lebih menyiksa jiwa dari ketika cinta tengah diputuskan? Dan adakah sakit yang lebih menyesakkan dada dari ketika hati telah dipermainkan? Rasanya sakit sekali, kawan.
Senja ini hanya ada aku dan air hujan yang jatuh dari langit. Selebihnya adalah segelas White Coffe yang menemaniku dalam kesunyian.
Sungguh, aku tak pernah menyangka sebelumnya, jika jalan cintaku begitu terjal selayak karang di lautan. Pun kesetiaan yang kutawarkan, ternyata harus kau balas dengan penghianatan. Namun aku bahagia, setidaknya kau telah mengajarkan arti keikhlasan dalam jalinan cinta yang pernah kita rajutkan, meski jua tak kudustakan hatiku tergores luka karena diorama cintaku telah engkau patahkan.
“Maafkan aku, Za. Mungkin cukup sampai di sini hubungan kita.” Katamu tiba-tiba
“Kenapa Alina? Apa salahku?” cercaku dengan napas yang mulai memburu
“Tidak, kamu tidak bersalah. Tapi aku yang ingin sudahi jalinan cinta kita.” Jawabmu dengan rasa tanpa dosa
“Tapi aku butuh penjelasanmu, Alina! Setidaknya ada alasan yang bisa aku terima kenapa kamu ingin akhiri semua ini.” Mataku kian memanas
“Apa kamu tidak merasa, kalau aku sudah terlalu bosan dengan caramu mencintaiku yang seperti itu-itu saja? Aku butuh perhatian yang lebih. Kasih sayang yang lebih. Selayaknya wanita yang dicintai oleh kekasih hatinya.”
“Apa maksudmu, Alina? Kau anggap apa cinta dan kasih-sayangku selama ini?” sungguh, aku masih tak habis pikir dengan kekatamu yang teramat menyakiti
“Aku bosan, Za!” kata itulah yang terakhir keluar dari bibirmu. Sebelum engkau meninggalkanku dengan sayatan luka yang mematikan
---

 Itu masa lalu yang terlalu pahit untuk dikenang tafsirkan. Kini aku hanya berteman sepi. Dengan segelas White Coffe di Café Anggrek aku mencecap manis kopiku tanpa dirimu di sisiku.
Alina, kutahu aku tak sempurna. Dan aku merasa sempurna ketika telah memilikimu. Tapi kini aku mulai sadar, kalau kesempurnaan itu hanyalah milik-Nya. Dan aku tak mampu berbuat apa-apa setelah engkau meninggalkanku dengan luka yang menyiksa jiwa.
Terakhir aku melihatmu, ternyata engkau telah bersama lelaki lain. Lelaki yang sebelumnya pernah kau ceritakan ketika kita tengah menikmati White Coffe di Café Anggrek dengan derai air hujan di ujung senja. Kulihat jelas semburat senyum terurai dari bibirmu. Senyum manis yang dulu sempat menjadi milikku.
Sepertinya engkau lebih bahagia bersama dia, Alina. Dari caramu berbicara dan bermanja, membuat hatiku semakin remuk-redam dibuatnya. Tepat di depan mataku, acapkali kau sengaja menyakitiku. Kau sering datang di Café Anggrek bersama lelakimu, dan bodohnya aku, hingga saat ini masih bertahan dengan segelas White Coffe dan kenangan sunyi di Café Anggrek bersama guratan senja dan deraian air hujan yang jatuh satu-satu.
---
Aku tersentak, ketika tiba-tiba pelayan Café itu memberikan ‘Undangan Pernikahan’ bersama segelas White Coffe yang ia suguhkan.
“Maaf, saya disuruh menyampaikan undangan ini buat anda,” katanya, sebelum akhirnya pelayan itu berlalu dari hadapanku
Kepada : Rheza Saputra
Di
Tempat

Ya, undangan itu memang untukku. Dan setelah kuamati, ada nama yang teramat kukenal yang tersemat di dalamnya. “Alina Azalea dan Fahrizal Ahmad”. O, malang nian nasibku. Ini bukan kisah Rama dan Rahwana yang merebutkan Dewi Sinta. Tapi ini adalah kisahku bersama luka karena cinta yang tak pernah kumengerti akan di mana ia bermuara.
Alina, gadis manis bermata embun. Dengan senyum bulan sabit yang menjadi impian. Ternyata kini hanya tinggal kenangan.
Setelah kutahu engkau akan menikah bersama lelaki yang kau anggap mampu memberikan cinta dan kasih-sayang seperti yang engkau inginkan, kupasrahkan segala rasa, dan selayak hati berbicara, aku akan mengubur sebentuk luka dan melupakan segala cinta yang dulu pernah tercipta.
Oh, Alina. Terimakasih karena telah menggoreskan warna bernama luka di lubuk jiwa paling didamba. Mungkin bersamamu adalah masa paling indah dalam hidupku. Saat  senja di Café Anggrek dengan berteman jarum-jarum hujan. Kuberdo’a, semoga Tuhan akan menggantikan kenangan yang lebih indah dari sekedar cinta yang pernah kita tawarkan dengan segenap lara.

Aku masih berteman sepi. Dan rasaku kini mungkin telah lama mati. Namun aku paham benar, bahwa hari ini adalah hari pernikahanmu bersama lelakimu.
Sengaja aku tak menghadiri undanganmu, karena aku cukup tahu itu hanya akan menguak luka lama yang kini telah kusimpan rapat-rapat dalam memoriku. Aku hanya ingin menikmati segelas White Coffe bersama sunyi, bersama guratan merah saga di ujung senja, serta rerintik hujan yang menjadi saksinya. Akan  kurapalkan sulur-sulur do’a dengan segenap cinta yang tereja di kedalaman sukma.
Untuk Alina yang dulu menjadi bagian dari napas di jiwa. Semoga engkau bahagia selamanya…

---

PPAI, 14022014

*Cerita ini telah terangkum dalam Buku Antologi Cerpen "Kopi Bercerita #5" - Penerbit Harfeey 2014

0 komentar:

Posting Komentar

X-Steel - Link Select

About this blog

Diberdayakan oleh Blogger.

Arsip Blog

salju

Blog Archive