By. Muhrodin “AM”
---
Hujan senja ini tak semisal lalu, derainya begitu menawar pilu,
hingga luka di ulu hatiku selayak sayatan sembilu.
O, adakah luka yang lebih menyiksa jiwa dari ketika cinta tengah diputuskan?
Dan adakah sakit yang lebih menyesakkan dada dari ketika hati telah
dipermainkan? Rasanya sakit sekali, kawan.
Senja ini hanya ada aku dan air hujan yang jatuh dari langit.
Selebihnya adalah segelas White Coffe yang menemaniku dalam kesunyian.
Sungguh, aku tak pernah menyangka sebelumnya, jika jalan cintaku
begitu terjal selayak karang di lautan. Pun kesetiaan yang kutawarkan, ternyata
harus kau balas dengan penghianatan. Namun aku bahagia, setidaknya kau telah
mengajarkan arti keikhlasan dalam jalinan cinta yang pernah kita rajutkan,
meski jua tak kudustakan hatiku tergores luka karena diorama cintaku telah
engkau patahkan.
“Maafkan aku, Za. Mungkin cukup sampai di sini hubungan kita.”
Katamu tiba-tiba
“Kenapa Alina? Apa salahku?” cercaku dengan napas yang mulai memburu
“Tidak, kamu tidak bersalah. Tapi aku yang ingin sudahi jalinan
cinta kita.” Jawabmu dengan rasa tanpa dosa
“Tapi
aku butuh penjelasanmu, Alina! Setidaknya ada alasan yang bisa aku terima
kenapa kamu ingin akhiri semua ini.” Mataku kian memanas
“Apa kamu
tidak merasa, kalau aku sudah terlalu bosan dengan caramu mencintaiku yang
seperti itu-itu saja? Aku butuh perhatian yang lebih. Kasih sayang yang lebih.
Selayaknya wanita yang dicintai oleh kekasih hatinya.”
“Apa
maksudmu, Alina? Kau anggap apa cinta dan kasih-sayangku selama ini?” sungguh,
aku masih tak habis pikir dengan kekatamu yang teramat menyakiti
“Aku
bosan, Za!” kata itulah yang terakhir keluar dari bibirmu. Sebelum engkau
meninggalkanku dengan sayatan luka yang mematikan
---
Itu masa lalu yang terlalu pahit untuk
dikenang tafsirkan. Kini aku hanya berteman sepi. Dengan segelas White Coffe
di Café Anggrek aku mencecap manis kopiku tanpa dirimu di sisiku.
Alina,
kutahu aku tak sempurna. Dan aku merasa sempurna ketika telah memilikimu. Tapi
kini aku mulai sadar, kalau kesempurnaan itu hanyalah milik-Nya. Dan aku tak
mampu berbuat apa-apa setelah engkau meninggalkanku dengan luka yang menyiksa
jiwa.
Terakhir
aku melihatmu, ternyata engkau telah bersama lelaki lain. Lelaki yang
sebelumnya pernah kau ceritakan ketika kita tengah menikmati White Coffe
di Café Anggrek dengan derai air hujan di ujung senja. Kulihat jelas semburat senyum
terurai dari bibirmu. Senyum manis yang dulu sempat menjadi milikku.
Sepertinya
engkau lebih bahagia bersama dia, Alina. Dari caramu berbicara dan bermanja,
membuat hatiku semakin remuk-redam dibuatnya. Tepat di depan mataku, acapkali
kau sengaja menyakitiku. Kau sering datang di Café Anggrek bersama lelakimu,
dan bodohnya aku, hingga saat ini masih bertahan dengan segelas White Coffe
dan kenangan sunyi di Café Anggrek bersama guratan senja dan deraian air hujan
yang jatuh satu-satu.
---
Aku tersentak,
ketika tiba-tiba pelayan Café itu memberikan ‘Undangan Pernikahan’ bersama
segelas White Coffe yang ia suguhkan.
“Maaf, saya
disuruh menyampaikan undangan ini buat anda,” katanya, sebelum akhirnya pelayan
itu berlalu dari hadapanku
Kepada :
Rheza Saputra
Di
Tempat
Ya,
undangan itu memang untukku. Dan setelah kuamati, ada nama yang teramat kukenal
yang tersemat di dalamnya. “Alina Azalea dan Fahrizal Ahmad”. O, malang nian
nasibku. Ini bukan kisah Rama dan Rahwana yang merebutkan Dewi Sinta. Tapi ini
adalah kisahku bersama luka karena cinta yang tak pernah kumengerti akan di
mana ia bermuara.
Alina,
gadis manis bermata embun. Dengan senyum bulan sabit yang menjadi impian.
Ternyata kini hanya tinggal kenangan.
Setelah
kutahu engkau akan menikah bersama lelaki yang kau anggap mampu memberikan
cinta dan kasih-sayang seperti yang engkau inginkan, kupasrahkan segala rasa,
dan selayak hati berbicara, aku akan mengubur sebentuk luka dan melupakan
segala cinta yang dulu pernah tercipta.
Oh,
Alina. Terimakasih karena telah menggoreskan warna bernama luka di lubuk jiwa
paling didamba. Mungkin bersamamu adalah masa paling indah dalam hidupku.
Saat senja di Café Anggrek dengan
berteman jarum-jarum hujan. Kuberdo’a, semoga Tuhan akan menggantikan kenangan
yang lebih indah dari sekedar cinta yang pernah kita tawarkan dengan segenap
lara.
Aku
masih berteman sepi. Dan rasaku kini mungkin telah lama mati. Namun aku paham
benar, bahwa hari ini adalah hari pernikahanmu bersama lelakimu.
Sengaja
aku tak menghadiri undanganmu, karena aku cukup tahu itu hanya akan menguak
luka lama yang kini telah kusimpan rapat-rapat dalam memoriku. Aku hanya ingin
menikmati segelas White Coffe bersama sunyi, bersama guratan merah saga
di ujung senja, serta rerintik hujan yang menjadi saksinya. Akan kurapalkan sulur-sulur do’a dengan segenap
cinta yang tereja di kedalaman sukma.
Untuk
Alina yang dulu menjadi bagian dari napas di jiwa. Semoga engkau bahagia
selamanya…
---
PPAI,
14022014
*Cerita ini telah terangkum dalam Buku Antologi Cerpen "Kopi Bercerita #5" - Penerbit Harfeey 2014
*Cerita ini telah terangkum dalam Buku Antologi Cerpen "Kopi Bercerita #5" - Penerbit Harfeey 2014
0 komentar:
Posting Komentar