By. Muhrodin “AM”*
***
Usai begitu cepat
berlalu, tak terasa sudah hampir enam tahun Khidir berada di bumi pesantren Al-ihya ‘ulumaddin.
Teringat dulu saat ia masih duduk di bangku kelas VI SD, ia bercita-cita ingin menjadi
Al-hafidz seperti Mas Faris, kakaknya, yang juga alumnus pondok
pesantren Al-ihya ‘ulumaddin Kesugihan Cilacap.
Ia kagum sekaligus bangga kepada Mas Faris yang sekarang telah menjadi Ustadz juga kepala sekolah di rumahnya.
“Aku harus bisa menjadi yang lebih dari Mas Faris,” tekadnya dalam hati...
Khidir memang mengakui kecerdasan dan
kedisiplinan kakaknya, hingga beliau bisa sukses seperti saat ini, untuk itu
Khidir ingin menapaki jejak langkah kakaknya agar ia dapat mewujudkan mimpi dan
cita-citanya
.
***
Malam
masih seperti yang dulu... saat pertama kalinya Khidir menginjakan kaki di bumi pesantren di tanah
jawa ini. Bintang-gemintang bersinar begitu indah menghiasi cakrawala malam.
Dengan ditemani sang dewi malam yang tersenyum mesra, Khidir melaksanakan sahirul
lail bersama teman-temanya.
Di serambi masjid, ia sibuk dengan hafalan bait-bait jawahirul
maknun, dan sesekali iapun muthola’ah kitab mantiq dan balaghoh
karena satu minggu lagi ujian akhir akan segera tiba.
Khidir, Reza dan Nabil, tiga sahabat
yang sejak pertama kalinya selalu bersaing dalam mendapatkan ranking di kelas madrasah diniyahnya.
Khidir
kagum dengan kecerdasan dan kelihaian Nabil dalam menghafal dan
berbahasa, begitu pula dengan Reza, yang selalu aktif dalam bertanya dengan
gaya bahasa ilmiahnya. Terhitung hanya dua semester di kelas dua, Khidir dapat mengungguli Nabil sebagai juara
pertama, selebihnya ia selalu kalah satu langkah di belakang Nabil, malah terkadang juga hanya mendapatkan
ranking di belakang Reza. Tapi itu semua tidak pernah
mengurangi rasa semangatnya untuk terus belajar dan berdo’a.
Mereka mencoba sahirul lail
bersama-sama sejak dua minggu sebelum pelaksanaan ujian akhir, mengulang
kembali pelajaran kelas satu sampai kelas enam, semangat mereka bagaikan
kobaran bara api yang menyala-nyala.
***
Hari
ini ujian akhir semester telah tiba, Khidir dan teman-temanya sudah berusaha
belajar semaksimal mungkin untuk menghadapinya. Semuanya tak mau membuang-buang
waktu hanya untuk bermain-main, karena bagi mereka Waktu adalah ilmu. Robbi
zidni ‘ilma warzuqni fahma, amin...
Satu minggu telah berlalu, ujian lisan
dan tulisan yang dihadapi Khidir dan teman-temanya berjalan dengan lancar,
hanya saja malang bagi Reza, karena dua hari pelaksanaan ujian dia tidak dapat
mengikutinya, sakit asma dan paru-paru yang dideritanya kambuh, hingga ia harus
dibawa kerumah sakit, Semoga alloh SWT selalu melindunginya, amin.
Khidir
hendak bertanya kepada pengurus MADDIN -nya ( Madrasah Diniyah ) perihal
tentang beasiswa bagi santri berprestasi di kantor sekretariat. Alangkah bahagianya saat ia mendapati
nama: Muhammad Nabil dan Muhammad Khidir tertulis sebagai santri berprestasi
dari PPAI ( Pondok pesantren Al-ihya ‘ulumaddin ) yang mendapatkan beasiswa di
Universitas Al-azhar Cairo Mesir. Seketika
ia bersujud melafadzkan tahmid sebagai ucapan rasa syukurnya kepada Allah
SWT.
Khidir segera menghubungi kedua orang
tuanya untuk menyampaikan kabar bahagia yang baru dilihatnya.
Meskipun Khidir tak mendapatkan ranking
pertama, tapi ia bangga bisa mendapatkan beasiswa ke Al-azhar, seperti mimpinya
ia ingin menjadi yang lebih dari kakaknya dan ingin menjadi orang yang berguna
bagi nusa, bangsa dan agamanya. Terlebih Nabil, ia tampak sangat bahagia,
karena memang sejak pertama kalinya ia sudah berencana akan melanjutkan ke
Al-azhar, dan atas pertolongan Allah SWT semua itu dapat terlaksana.
Setelah acara imtikhan akhirussanah
atau perpisahan telah usai Khidir,Nabil, dan teman-teman khotimin
lainnya berencana untuk sowan kendalemnya romo kiyai guna meminta
do’a dan restunya agar ilmu yang diperoleh selama dipondok pesantren ini dapat berguna dan bermanfaat bagi masyarakat
nantinya.
Malam
kian sepi, kebanyakan santri sudah pulang untuk merayakan liburan dirumah.
Begitupula dengan Reza dan Nabil, mereka sudah pulang siang tadi, mungkin
sekarang mereka sedang bercengkerama melepas rindu bersama keluarganya di rumah. Tapi Khidir? Ia hanya berteman sepi, hanya
bintang-gemintang dan cahaya rembulan yang masih setia menemaninya menghabiskan
sisa malam dibumi pesantren Al-ihya ‘ulumaddin tercinta.
Seperti pinta orang tuanya , Khidir
pun harus pulang ke Sumatra sebelum
berangkat ke Cairo, karena banyak hal yang harus dipersiapkan sebelum ia
berangkat ke sana.
***
Dengan
berpakaian serba putih, Khidir melangkahkan kaki dihamparan gurun pasir yang
sangat luas, tanpa ada satu orangpun di sekelilingnya.
Ia merasa telah tersesat, berjalan tanpa arah tujuan, hingga akhirnya ia
melihat kedua orang tuanya melambai-lambaikan tangan di seberang istana, tapi Khidir hanya bisa diam membisu, ia
begitu terkejut saat melihat di depannya terbentang jurang yang sangat curam. Ia terhenyak
saat perlahan-lahan gurun pasir itu mulai longsor dan membawanya ikut terjatuh
bersama butiran-butiran pasir yang semakin tak terlihat, dan selebihnya yang
ada hanyalah gelap.
“Khidir”... teriakan kedua orang tuanya
masih sangat jelas terdengar di telinganya.
“Astaghfirullohal’adzim”... Khidir baru saja mimpi buruk, ia
segera mengambil air wudlu dan melaksanakan sholat tahajjud.
Semuanya telah dipersiapkan, Khidir
segera menemui pengurus pondok untuk meminta izin pulang ke Sumatra.
“Hati-hatilah di perjalanan Khidir, perbanyaklah membaca sholawat munjiyat
agar keselamatan selalu menyertaimu, salam buat kedua orang tua kamu di rumah.” Begitulah
pesan terakhir dari Ustadz Nur Cholis selaku guru juga lurah dipondok pesantren
ini. Khidir mencium telapak tangan beliau dengan rasa takdzim untuk kemudian
salam dan beranjak pergi.
Sesekali Khidir masih memikirkan arti
mimpinya malam tadi, ia khawatir sesuatu akan terjadi. Dan tepat! Saat mobil yang dinaikinya melaju
dengan kecepatan tinggi, kecelakaan tak bisa untuk dihindari. Khidir terkulai
tak sadarkan diri dengan bersimbah darah disekujur tubuhnya, ia sudah tak ingat
apa-apa lagi, di rumah sakit Serang Banten Khidir menghembuskan nafasnya yang
terakhir. Innalillahi Wainnailaih iroji’un…
***
Al-ihya
‘ulumaddin,
23 rajab 1433 H.
0 komentar:
Posting Komentar