Penyihir Aksara (Malaikat Salju)

Do'a Kalimat Pena By. Muhrodin "AM"

30
April

By. Muhrodin “AM”*

***
               Usai begitu cepat berlalu, tak terasa sudah hampir enam tahun Khidir berada di bumi pesantren Al-ihya ‘ulumaddin.
Teringat dulu saat ia masih duduk di bangku kelas VI SD, ia bercita-cita ingin menjadi Al-hafidz seperti Mas Faris, kakaknya, yang juga alumnus pondok pesantren Al-ihya ‘ulumaddin Kesugihan Cilacap.
Ia kagum sekaligus bangga kepada Mas Faris yang sekarang telah menjadi Ustadz juga kepala sekolah di rumahnya.
 “Aku harus bisa menjadi yang lebih dari Mas Faris,” tekadnya dalam hati...
Khidir memang mengakui kecerdasan dan kedisiplinan kakaknya, hingga beliau bisa sukses seperti saat ini, untuk itu Khidir ingin menapaki jejak langkah kakaknya agar ia dapat mewujudkan mimpi dan cita-citanya
.                                                                    ***
Malam masih seperti yang dulu... saat pertama kalinya Khidir menginjakan kaki di bumi pesantren di tanah jawa ini. Bintang-gemintang bersinar begitu indah menghiasi cakrawala malam. Dengan ditemani sang dewi malam yang tersenyum mesra, Khidir melaksanakan sahirul lail bersama teman-temanya.
Di serambi masjid, ia sibuk dengan hafalan bait-bait jawahirul maknun, dan sesekali iapun muthola’ah kitab mantiq dan balaghoh karena satu minggu lagi ujian akhir akan segera tiba.
Khidir, Reza dan Nabil, tiga sahabat yang sejak pertama kalinya selalu bersaing dalam mendapatkan ranking di kelas madrasah diniyahnya.
Khidir  kagum dengan kecerdasan dan kelihaian Nabil dalam menghafal dan berbahasa, begitu pula dengan Reza, yang selalu aktif dalam bertanya dengan gaya bahasa ilmiahnya. Terhitung hanya dua semester di kelas dua, Khidir dapat mengungguli Nabil sebagai juara pertama, selebihnya ia selalu kalah satu langkah di belakang Nabil, malah terkadang juga hanya mendapatkan ranking di belakang Reza. Tapi itu semua tidak pernah mengurangi rasa semangatnya untuk terus belajar dan berdo’a.
Mereka mencoba sahirul lail bersama-sama sejak dua minggu sebelum pelaksanaan ujian akhir, mengulang kembali pelajaran kelas satu sampai kelas enam, semangat mereka bagaikan kobaran bara api yang menyala-nyala.                                          

***
Hari ini ujian akhir semester telah tiba, Khidir dan teman-temanya sudah berusaha belajar semaksimal mungkin untuk menghadapinya. Semuanya tak mau membuang-buang waktu hanya untuk bermain-main, karena bagi mereka Waktu adalah ilmu. Robbi zidni ‘ilma warzuqni fahma, amin...
Satu minggu telah berlalu, ujian lisan dan tulisan yang dihadapi Khidir dan teman-temanya berjalan dengan lancar, hanya saja malang bagi Reza, karena dua hari pelaksanaan ujian dia tidak dapat mengikutinya, sakit asma dan paru-paru yang dideritanya kambuh, hingga ia harus dibawa kerumah sakit, Semoga alloh SWT selalu melindunginya, amin.
Khidir hendak bertanya kepada pengurus MADDIN -nya ( Madrasah Diniyah ) perihal tentang beasiswa bagi santri berprestasi di kantor sekretariat. Alangkah bahagianya saat ia mendapati nama: Muhammad Nabil dan Muhammad Khidir tertulis sebagai santri berprestasi dari PPAI ( Pondok pesantren Al-ihya ‘ulumaddin ) yang mendapatkan beasiswa di Universitas Al-azhar Cairo Mesir. Seketika  ia bersujud melafadzkan tahmid sebagai ucapan rasa syukurnya kepada Allah SWT.
Khidir segera menghubungi kedua orang tuanya untuk menyampaikan kabar bahagia yang baru dilihatnya.
Meskipun Khidir tak mendapatkan ranking pertama, tapi ia bangga bisa mendapatkan beasiswa ke Al-azhar, seperti mimpinya ia ingin menjadi yang lebih dari kakaknya dan ingin menjadi orang yang berguna bagi nusa, bangsa dan agamanya. Terlebih Nabil, ia tampak sangat bahagia, karena memang sejak pertama kalinya ia sudah berencana akan melanjutkan ke Al-azhar, dan atas pertolongan Allah SWT semua itu dapat terlaksana.
Setelah acara imtikhan akhirussanah atau perpisahan telah usai Khidir,Nabil, dan teman-teman khotimin lainnya berencana untuk sowan kendalemnya romo kiyai guna meminta do’a dan restunya agar ilmu yang diperoleh selama dipondok pesantren ini  dapat berguna dan bermanfaat bagi masyarakat nantinya.
Malam kian sepi, kebanyakan santri sudah pulang untuk merayakan liburan dirumah. Begitupula dengan Reza dan Nabil, mereka sudah pulang siang tadi, mungkin sekarang mereka sedang bercengkerama melepas rindu bersama keluarganya di rumah. Tapi Khidir? Ia hanya berteman sepi, hanya bintang-gemintang dan cahaya rembulan yang masih setia menemaninya menghabiskan sisa malam dibumi pesantren Al-ihya ‘ulumaddin tercinta.
Seperti pinta orang tuanya , Khidir pun  harus pulang ke Sumatra sebelum berangkat ke Cairo, karena banyak hal yang harus dipersiapkan sebelum ia berangkat ke sana.

***
Dengan berpakaian serba putih, Khidir melangkahkan kaki dihamparan gurun pasir yang sangat luas, tanpa ada satu orangpun di sekelilingnya. Ia merasa telah tersesat, berjalan tanpa arah tujuan, hingga akhirnya ia melihat kedua orang tuanya melambai-lambaikan tangan di seberang istana, tapi Khidir hanya bisa diam membisu, ia begitu terkejut saat melihat di depannya terbentang jurang yang sangat curam. Ia terhenyak saat perlahan-lahan gurun pasir itu mulai longsor dan membawanya ikut terjatuh bersama butiran-butiran pasir yang semakin tak terlihat, dan selebihnya yang ada hanyalah gelap.
“Khidir”... teriakan kedua orang tuanya masih sangat jelas terdengar di telinganya.
“Astaghfirullohal’adzim”... Khidir baru saja mimpi buruk, ia segera mengambil air wudlu dan melaksanakan sholat tahajjud.
Semuanya telah dipersiapkan, Khidir segera menemui pengurus pondok untuk meminta izin pulang ke Sumatra.
“Hati-hatilah di perjalanan Khidir, perbanyaklah membaca sholawat munjiyat agar keselamatan selalu menyertaimu, salam buat kedua orang tua kamu di rumah. Begitulah pesan terakhir dari Ustadz Nur Cholis selaku guru juga lurah dipondok pesantren ini. Khidir mencium telapak tangan beliau dengan rasa takdzim untuk kemudian salam dan beranjak pergi.
Sesekali Khidir masih memikirkan arti mimpinya malam tadi, ia khawatir sesuatu akan terjadi. Dan  tepat! Saat mobil yang dinaikinya melaju dengan kecepatan tinggi, kecelakaan tak bisa untuk dihindari. Khidir terkulai tak sadarkan diri dengan bersimbah darah disekujur tubuhnya, ia sudah tak ingat apa-apa lagi, di rumah sakit Serang Banten Khidir menghembuskan nafasnya yang terakhir. Innalillahi Wainnailaih iroji’un… 
***
Al-ihya ‘ulumaddin,
23 rajab 1433 H.


0 komentar:

Posting Komentar

X-Steel - Link Select

About this blog

Diberdayakan oleh Blogger.

Arsip Blog

salju

Blog Archive