Cerpen:
Muhrodin “AM”
***

Rani, sang penari Bali, malam ini kembali memainkan
perannya sebagai seorang penari yang mampu menghipnotis tiap penontonnya.
Liuk tubuhnya seirama dengan hentakan gendang yang
mengiringi tariannya, lirik matanya seumpama anak panah yang melesat jauh
menerkam titian mangsa. Sesekali selendang merah marun yang tersampir di
pundaknya dimainkan hingga juntaiannya selaksa kepakkan sayap kupu-kupu yang
sedang dimabuk cinta.
Ratusan penonton dibuatnya terpukau oleh kelihaiannya
dalam membawakan tarian Bali. Malam ini, Rani sungguh terlihat sangat memesona,
seperangkat konde berwarna emas terhunjam di atas gundukan sanggulnya yang
hitam lekat, rangkaian kembang melati dan kanthil beruntai-untai jatuh
kesamping. Kain jarit yang direkatkan kepinggangnya menjuntai sampai ke kaki,
di lehernya tersampir selendang merah marun dengan taburan manik-manik yang
berkilauan setiap diterpa cahaya.
Disela-sela kerumunan orang yang terpukau melihat
tariannya, ada seseorang yang hatinya tergores luka. Dialah Rama, kekasih Rani
yang sejak dulu menginginkannya untuk berhenti menjadi seorang penari, karena
tiap kali matanya menyaksikan orang-orang yang menyawer rani di atas
panggung, matanya memanas, hatinya seperti terbakar menahan api cemburu yang
bergejolak menciptakan bara di bagian dada.
Setelah pertunjukan tari itu selesai, Rani menemui
Rama yang sedari tadi telah menunggunya.
“Tarianmu sangat sempurna, kamu sangat menjiwai
tarian kupu-kupu tadi,” puji Rama dengan bias senyum di bibirnya.
“Terimakasih, Bli. Semuanya karena Biang
yang tak pernah lelah dalam membimbingnya.”
Memang sejak kecil Rani telah diajarkan menari,
karena dulu Biangnya adalah seorang penari handal yang mampu memukau
ratusan bahkan ribuan penonton di kotanya. Tapi kejadian naas pada malam itu,
membuatnya tak mampu lagi untuk menari. Kecelakaan itu, adalah saat terakhir Biangnya
membawakan tarian kupu-kupu.
“Sudah waktunya Biang mengajarkan tarian Bali
yang Biang miliki, agar Gek mampu menjadi penerus Biang
dikemudian hari.” Kembali kata-kata Biangnya terngiang merajai benaknya.
Itu adalah permintaan Biangnya sebelum malam keparat itu menjadikannya
tak lagi mampu untuk menari. Hingga Rani seperti tersadar, bahwa itulah jawaban
kenapa Biangnya begitu mendambakan Rani untuk menjadi seorang penari.
Kembali airmata Rani membasahi kedua pipinya tiap
kali ia mengingat Biangnya yang sangat dikasihi.
“Maafkan aku, Rani. Aku tak bermaksud membuatmu
mengingat kejadian yang menimpa Biangmu.” Rama mengusap airmata Rani.
“Tidak, Bli. Aku percaya, pasti Biang
sangat bahagia melihat Gek mampu meneruskan perjuangannya mempertahankan
tarian Bali. Dan Biang pasti tersenyum melihat Gek mampu
membawakan tarian kupu-kupu dengan sempurna.”
Temaram rembulan menjadi saksi kisah cinta mereka
berdua. Rani bersyukur memiliki Rama yang sangat mencintainya…
***
Kembali malam ini Rani menunjukkan kelihaiannya.
Tarian kupu-kupu yang berpadu dengan pasangannya membuat para penontonnya
berdecak kagum. Tarian itu nyata laiknya sepasang sayap kupu-kupu yang sedang
terbang untuk mengisap madu; madu cinta pada bebunga surga yang semerbak
harumnya. Tak sedikit para penyawer itu menghamburkan uangnya,
menyelipkan pada kemben yang membungkus rapat kemolekan tubuh Rani. Tak pelik
lagi, para lelaki hidung belang itu dengan kesombongannya berlomba-lomba untuk
mengajak Rani menari-nari, layaknya sepasang kumbang janti yang tak pernah
lelah berputar-putar kesana-kemari. Ah, inilah yang sangat tak disukai Rama,
setiap kali ia harus menyaksikan kekasihnya menjadi pelampiasan para lelaki
brengsek yang tiap kali mampu menyulut bara api di hatinya.
Malam ini Rama tak menungguinya, hingga Rani terpaksa
harus melayani obrolan para lelaki yang berbasa-basi untuk sekedar
menyanjungnya dalam menari, atau untuk mengajaknya berkencan di bawah temaram
rembulan dengan malamnya yang kian merajam.
“Bli Rama…, “ jerit Rani. Ia tersedu menyadari
dirinya dalam kerumunan laki-laki hidung belang yang hendak mengantarnya
pulang. Tapi nyatanya, Rani dibawa kesuatu tempat yang teramat gelap, pekat.
“Jangan lakukan itu…” isak-tangisnya dalam gugu yang
membiru.
Hingga ketika malam makin menyepuh, dengan cahaya
temaram rembulan yang menggantung di langit kelam, Rani menemukan dirinya
dengan busana yang telah tercabik-cabik. Batinnya menjerit, kini bunga itu
semakin layu. Karena madunya telah diisap oleh kumbang-kumbang jalang.
“Rani, kaukah itu?...” telak, Rama menemukan Rani
ketika para bajingan itu telah pergi.
“Siapa yang tega melakukan semua ini, Rani…” teriak
Rama, kemurkaannya hingga mampu membelah kegelapan.
Dipeluknya Rani dalam dekap kasih Rama. “Inilah yang
sedari dulu aku takutkan, Rani… aku tak rela kau terjatuh dalam kuasa para
lelaki bajingan itu, sungguh, aku tak rela… “
***
“Maafkan aku, Bli. Mulai malam ini, aku tak
akan menari lagi…”
Semilir angin di Pantai Sanur membuat Rani merapatkan
pelukan Rama. Mereka menikmati deburan ombak dan kemilau cahaya yang terpantul
dari permukaan lautnya.
Di bawah temaram sinar rembulan, mereka memadu cinta.
Mencurahkan segala kasih dan sayangnya yang sedari dulu sempat terabaikan.
“Rani… aku ingin secepatnya kita menikah.”
Rani membisu, pikirannya melayang jauh menembus sinar
rembulan. Belum sempat Rani menjawab pernyataan Rama, ada gelombang pasang dan
kilatan cahaya yang tiba-tiba datang melesat menerpa mereka berdua.
Dalam sekejap, Rani menghilang. Cahaya dan gelombang
itu, telah membawanya menyatu dengan
ombak di lautan.
“Rani… “ malang nian, teriakan Rama hanya didengar
oleh kelelawar malam dan burung-burung yang berterbangan.
Kini, Rama bukan hanya kehilangan madu cintanya, tapi
juga telah kehilangan Rani-nya untuk selamanya…
***
Penjara suci, 04122013*
Ket :
Bli : Panggilan
untuk Laki-laki di Bali
Gek : Panggilan
untuk Perempuan di Bali
Biang : Panggilan Ibu
untuk orang yang berkasta
0 komentar:
Posting Komentar