By. Muhrodin “AM”
***
Tak seharusnya cinta itu kulabuhkan
dalam dermaga hatimu, hingga luka yang kurasakan kini sempurna menyayat qalbu.
Andai saja waktu itu aku tak pernah
bertemu denganmu, dan andai kata rasa itu tak pernah ada direlung hatiku.
Mungkin, rasa sakit ini tak akan selayak sayatan sembilu.
Masih
sangat jelas kuingat saat-saat terakhir kita bersama, disebuah telaga warna yang penuh cinta dan
keindahan kita bernostalgia. Itu memang tempat favorite kita untuk menghabiskan
sisa senja sebelum temaram datang menjemputnya.
“Aku sayang sama kamu, Rani… Apakah
kamu mau menjadi bidadariku?” Itu adalah ungkapan rasa cintaku padamu untuk
yang kesekian kalinya. Aku memang tak pernah lelah dalam menguntai cinta,
memberikan segala sayang yang ku punya, namun tiap kali kuutarakan kata-kata
itu, hanya senyum-mu yang tercipta, dan sepatah jawaban yang kuharapkan, kaupun
hanya berkata, “Belum saatnya aku memberikan jawaban, sayang...” Hingga waktu
yang terus merajai kegalauan hati ini, kau masih tetap lugu dengan senyum-mu --yang kuanggap manis pada waktu itu--.
***
Seperti
baru disadarkan dari mimpi buruk-ku, aku kehilanganmu, Raniku…
Kau memang wanita yang nyaris
sempurna, nyaris tanpa cela… dan semua lelakipun mengakui akan hal itu. Tapi apakah
itu yang kau harapkan dari setiap lelaki yang kau cintai? Akhir dari setiap
episode perjalanan cintamu adalah ‘Kau telah melukai hati para lelaki: lagi dan
lagi.’
Ah, bodoh sekali aku yang
terperangkap dalam jerat cintamu.
Kau memang tak pernah berkisah
tentang lelaki-mu padaku, Rani… dan akupun tak pernah menyangka sebelumnya
kalau hatimu ternyata setega itu. Jutaan kata telah kurangkai dan ribuan cinta
telah kuuntai hanya untukmu. Tapi, Tuhan memang tak pernah berkehendak kau
menjadi milikku, atau entahlah, akupun terlalu lelah untuk memikirkan akan hal itu…
Kau
bersama lelakimu memadu cinta ditepian senja yang kian membiru, tepat didepan
mataku. Diujung pantai yang menghubungkan muara sungai kecil itu pada lautmu.
Aku limbung, hatiku serasa tertusuk
ribaun duri. Hingga perlahan, titik air mata ini mampu mencipta buliran yang
teramat menyakiti…
Sekali lagi, aku tak akan pernah
berandai kata dalam menjalani realita hidup ini. seperti kata sebagian para
penyair, hidup memang kejam, sayang... selayak deburan ombak yang menghantam
karang, dan tak akan segan arusnya membawa sesiapa yang berada dalam titik
rawan pantai angin gelombang.
Sedalam mata hati ini terlukai, aku
percaya, Tuhan tak pernah alpa, apalagi hanya sekedar urusan cinta dan rasa,
dalam waktu sekejap saja, Ia bisa merubah luka menjadi tawa, dan air mata
menjadi untaian bahagia. Seperti goresan luka yang tercipta, aku mengerti
dimana kini cintaku akan bermuara.
0 komentar:
Posting Komentar