By.
Muhrodin “AM”*
Rerintik hujan ini adalah derap hati
yang membeku, menahan gejolak rindu di antara puing-puing hati yang hanya mendamba
untaian cinta setelah nyanyian senja yang berdiorama bianglala membias di batas
cakrawala. Dua hati saling menyapa, mendedah jiwa di bawah jantera mayapada bernapaskan
do’a paling didamba...
Cinta. Apatah hanya untaian kata
berbilur ribuan makna seharum bunga di taman seloka? Atau hanya roman picisan
yang menawarkan kedramatisan namun mengagumkan? O, entahlah... namun aroma itu
kini mulai menyesap rindu ketika dua hati saling menyatu, saujana membentang di
batas pinangan dewi malam yang mungkin secepatnya akan menggubah temaram; kini,
rindu itu serupa ombak yang mematikan...
---
Ini adalah Sands Of Time yang menjadi
saksi bisu senandung cinta biru... kugenggam erat benda yang bertuliskan
namamu, --sedang Sands Of Time yang bertuliskan namaku ada dalam
genggamanmu--, agar tak pernah lepas meski nanti Tuhan akan memisahkan
kita. Aku mafhum betul, jika akhirnya waktu dan jarak adalah benteng sebagai
tolak-ukur kesetiaanku pun kesetiaanmu yang tak seharusnya kita ragukan.
“Virra... Biarlah cinta yang berbicara
jika hatimu tak kuasa menanggung luka yang kian mendera, aku di sini masih bersama
rasa yang akan aku berikan untukmu, hingga Tuhan tengah mengijinkan engkau
untuk menjadi Bidadari di taman hatiku paling dirindu.” Kataku di tengah
gemuruh ombak Pantai Teluk Penyu.
“Aku sanksi, Dir. Apakah nanti kita
akan dipertemukan kembali seperti saat ini.” Katamu meragu, yang lebih
menyerupai desahan ketakutan.
“Mungkin aku tak bisa memberikan
janji, namun percayalah Virra... bahwa cintaku benar adanya. Apakah kamu masih
meragukannya? Sedang aku mencintaimu
karena Tuhan yang telah melabuhkan rasa cintanya. Memang tak banyak kata untuk
meyakinkanmu, tapi sungguh, aku mencintaimu...” Aku tertunduk, sebelum akhirnya
kuberikan Sands Of Time itu untukmu. Sebatas menjadi sebuah kenangan yang
mungkin tak akan mudah untuk kulupakan.
---
Kuamati kembali Jam Pasir yang
tergenggam erat di tanganku. Masih ada rindu, pun jua seberkas cahaya cinta
yang tersemat di dalamnya.
Ini
sudah lebih dari dua belas purnama setelah pertemuan kita. Aku masih menyimpan
rasa itu; rasa cinta yang mungkin hanya aku dan Tuhan yang tahu. Virra, kuharap
kau masih tetap setia menantiku hingga di penghujung waktu...
Jarak
kita bukanlah sesuatu yang harus kita takuti, tapi perlu kita syukuri
setidaknya untuk menata diri dan hati kita masing-masing, hingga nanti
benar-benar terpatri sebuah rasa yang bernama kesabaran ketika ketentuan Tuhan
menggariskan akan ketiadasempurnaan setiap rencana yang telah kita pautkan.
Saat ini
mungkin kau tengah merindukanku. Seperti kekatamu setahun lalu ketika aku
memberikan Sands Of Time itu untukmu. “Aku akan selalu merindukanmu, Dira.” Kau
tersenyum seraya berkata yang membuatku terpesona dibuatnya. Semoga itu benar
adanya. Karena aku di sini pun berbilur rindu ingin bertemu. Tapi kewajiban dan
keharusan yang mustahil aku tangguhkan, aku mencoba meredamkannya sementara
bersama ayat-ayat keagungan.
---
Malam
menyepuh rindu, sebelum temaram membawaku dalam pusara mimpi keabadian,
kupastikan do’a puja-puji Tuhan senantiasa kurapalkan. Jika cinta tak
mengembalikan engkau padaku dalam hidup ini, cinta akan menyatukan kita di
kehidupan yang akan datang.
Aku pun
pernah berjanji, setelah wisudaku nanti, aku akan menemuimu lagi. Menyatukan
kembali Sands Of Time yang sempat terpisahkan. Menawarkan kembali renjana yang
bertahta di istana jiwa. Akan kubangunkan singgasana untuk keabadian cinta
kita. Agar tak ada lagi gelak tanpa tawa, dan tak ada lagi tangis tanpa airmata
bahagia.
Jam
Pasir itu, adalah detik rindu yang menjaga cintaku hingga Tuhan menjawab do’a
yang teruntai di setiap sujud tahajjudku, “Percayalah,Virra... aku akan
segera menjemputmu. Baik-baik di sana, tunggu aku di batas kota,” Segera kukirim pesan singkat itu, sebelum
akhirnya kugenggam erat kembali Sands Of Time yang berpahatkan namamu di situ,
sama seperti di hatiku...
PPAI, 13 Mei 2014*
~Biodata
Penulis~
Muhrodin “AM”, Lahir di Bandar Lampung, 23 Februari 1991.
Buku solonya yang telah terbit, berupa Antologi Cerpen “Menggapai
Mimpi”, Antologi Puisi “Kanvas dalam Lukisan”, dan Antologi Cerpen dan Puisi
“Untaian Tasbih Cinta”. Serta Puluhan
cerita dan puisinya juga telah terhimpun dalam Antologi Bersama.
Saat ini ia masih nyantri di Pon-pes Al-ihya ‘Ulumaddin, Kesugihan
1 Cilacap, Jawa Tengah 53274
Ia bisa diakrabi melaui Fb. Amir_muhammad38@yahoo.com /
Twitter : @MuhrodinAM
Hp. 085647945291
0 komentar:
Posting Komentar