Inspired by the Cover Kanvas dalam Lukisan
By.
Muhrodin “AM”*
***

Raya masih diam tak bergeming di kamarnya, setelah selesai mandi
dan sedikit memoles wajahnya, ia
kembali duduk didepan cermin riasnya yang berada tepat di dekat jendela. Sesekali mata indahnya
menyaksikan buliran air hujan yang tak kunjung reda. Hatinya mulai resah,
dilihatnya jam di pergelangan
tangan kanannya telah menunjukkan pukul 08.20 WIB,
“Sudah telat 20 Menit.”
Gumamnya semakin resah…
Hari ini, di kampus tempat raya kuliah,
ada pameran lukisan. Kebetulan Raya adalah salah satu panitia penyelenggara
pameran lukisan itu. Berkali-kali teman-temannya mengirimkan pesan singkat
untuknya, namun Raya menyadari, keadaan memang tak memungkinkan untuk ia segera berangkat ke kampusnya.
Hingga
tepat pukul 08.45 WIB, Raya baru keluar dan berjalan ke halte untuk
menunggu bus yang akan mengantarkannya berangkat ke kampus. Sepuluh menit
berlalu, Raya telah sampai dan segera bergabung bersama teman-teman panitia
yang tengah sibuk menata lukisan-lukisan yang akan dipersiapkan untuk pameran
nanti.
“Raya…” Panggil
Dilla, setelah Dilla mengetahui kedatangan Raya.
“Iya, ada apa?” Jawabnya sambil mengatur napasnya yang masih
memburu.
“Kemana aja sih? Jam segini baru kelihatan?” Tanya Dilla, gemas.
“Maaf, tadi menanti hujan yang tak kunjung reda.” Jawab Raya dengan sedikit alasannya.
“Oh, Sini buruan, ada Lukisanmu.”
Kata-kata Dilla membuat Raya sedikit mengerutkan keningnya.
Raya tak mampu untuk menyembunyikan rasa herannya sekaligus rasa
kagumnya, setelah melihat lukisan yang terpampang jelas di antara deretan lukisan-lukisan yang lainnya,
Raya menemukan raut wajahnya terlukis di sana, dengan sebaris senyum yang tersungging di bibirnya dan lesung pipi yang membuat lukisan
itu tampak sempurna. Di bawahnya
ada nama ‘Langit Ar-raya’, yang digoreskan dalam kanvas yang mengandung
unsure cinta.
Speechless
raya melihatnya.
Untuk
sepersekian detik, Raya masih lekat memandang lukisan itu tak percaya. “Siapa
yang telah melukisnya? hingga raut wajah di lukisan itu nyaris tanpa cela.” Pikirannya mengembara mencari sosok yang
mungkin pernah menjadi pemujanya. Adi, Rendy, Rio, Angga… Namun sejauh mata
menerawang, tak ada satupun pengagumnya yang masuk dalam kategori pelukis
hebat. Bahkan yang masuk pecinta seni dan keindahan pun hampir tak ada.
Apakah ia seorang pemuja rahasi?
Raya
mencari tahu pelukis misterius itu kepada teman-teman panitianya, namun satu pun tak ada yang tahu. Atau lebih tepatnya
mungkin ada yang pura-pura tak tahu? Entahlah…
Setelah acara pameran lukisan telah usai, Raya hendak mengambil
lukisan dirinya dan berniat untuk membayarnya. Namun seseorang tengah
memanggilnya dan membuat Raya sekali lagi terdiam tanpa kata.
“Raya… lukisan ini buat kamu, tadi pelukisnya meminta saya untuk
menyampaikan kepadamu, dan ini juga titipan dari pelukis itu.” Ben, salah satu panitia pameran memberikan
seikat bunga dan lipatan kertas berbentuk hati kepada Raya.
Raya masih
diam tak percaya, hingga Ben telah pergi menghilang dari pandangan kosongnya.
Hari ini
benar-benar penuh teka-teki, dan Raya harus segera mengungkap siapa skenario
dari sandiwara ini.
Perlahan,
ia membuka lipatan kertas yang ternyata isinya
adalah Untaian puisi “Kanvas dalam
Lukisan”, dan di pojok
kanan bawah tertera sebuah nama : -Riko-.
“Siapa Riko? Seperti pemuja rahasia, aku bahkan tak pernah mengenalnya,
walau hanya sebatas nama…”
Raya
melangkahkan kakinya untuk segera pulang. Namun, tiba-tiba ponselnya berdering.
Ben, Calling…
“Hallo, Raya…
Baru saja Riko kecelakaan waktu mau pulang dari pameran lukisan. Sekarang dia di rumah sakit ‘Harapan Bunda’, kamu harus segera
kesana, keadaannya sangat keritis.”
Tut tut
tut… Ben memutuskan sambungan telponnya tanpa memberikan kesempatan kepada Raya
untuk sekedar bertanya.
Huh, siapa dia,
hingga Raya harus menuruti kata-kata Ben.
Namun
hati Raya tak bisa berdusta, setelah mendengar Riko kecelakaan, pikirannya
benar-benar kalut. Dan untuk mengetahui keadaan Riko sekaligus mencari jawaban
atas rasa penasarannya kepada pelukis misterius itu, Raya pun segera pergi menuju
rumah sakit.
Masih dengan bunga dan lukisan di tangannya, ketika Raya masuk ke dalam kamar tempat Riko dirawat.
Raya begitu
tak tega ketika dilihatnya Riko terbaring tak berdaya dengan darah yang
melumuri sebagian tubuh dan kepalanya, juga infuse yang terpasang sebagai alat
bantu pernapasannya.
Teman-teman
panitia telah berkumpul di sana, di mana Riko tengah terkulai tak berdaya.
Tiba-tiba
airmata raya menetes mencipta buliran-buliran hangat di pipinya, hingga pernapasannya terasa begitu
sesak.
“Riko… terimakasih untuk bunga dan lukisannya, juga untuk puisinya…
Aku terima dengan sepenuh hatiku. Meski sebelumnya aku tak pernah mengerti
bahwa kamulah pelukis itu, aku terima ketulusan cintamu, Riko…” Tanpa
sadar, Raya bergumam dalam gugu yang membiru…
Namun Riko hanya diam, hingga detik terakhir ketika ia mendengar kata-kata Raya. Bibirnya sempat mengukir senyum bahagia karena ia telah memberikan separuh hatinya untuk gadis
yang dicintainya, meski
hanya sebatas pengagum rahasia dalam lukisan cinta…
***
PPAI,
2013*
*Cerita ini telah terangkum dalam Buku Antologi Cerpen "Kata Kita #3" - Penerbit Harfeey 2013
0 komentar:
Posting Komentar