Penyihir Aksara (Malaikat Salju)

Do'a Kalimat Pena By. Muhrodin "AM"

05
Mei

Inspired by the Cover Kanvas dalam Lukisan
By. Muhrodin “AM”*
***
Pagi yang kelabu, langit mulai menumpahkan amarahnya, seolah beban berat yang telah lama disimpannya kini terlepas sudah…
Raya masih diam tak bergeming di kamarnya, setelah selesai mandi dan sedikit memoles wajahnya, ia kembali duduk didepan cermin riasnya yang berada tepat di dekat jendela. Sesekali mata indahnya menyaksikan buliran air hujan yang tak kunjung reda. Hatinya mulai resah, dilihatnya jam di pergelangan tangan kanannya telah menunjukkan pukul 08.20 WIB,
“Sudah telat 20 Menit.” Gumamnya semakin resah…
          Hari ini, di kampus tempat raya kuliah, ada pameran lukisan. Kebetulan Raya adalah salah satu panitia penyelenggara pameran lukisan itu. Berkali-kali teman-temannya mengirimkan pesan singkat untuknya, namun Raya menyadari, keadaan memang tak memungkinkan untuk ia segera berangkat ke kampusnya.
Hingga tepat pukul 08.45 WIB, Raya baru keluar dan berjalan ke halte untuk menunggu bus yang akan mengantarkannya berangkat ke kampus. Sepuluh menit berlalu, Raya telah sampai dan segera bergabung bersama teman-teman panitia yang tengah sibuk menata lukisan-lukisan yang akan dipersiapkan untuk pameran nanti.
“Raya…” Panggil Dilla, setelah Dilla mengetahui kedatangan Raya.
“Iya, ada apa?” Jawabnya sambil mengatur napasnya yang masih memburu.
“Kemana aja sih? Jam segini baru kelihatan?” Tanya Dilla, gemas.
“Maaf, tadi menanti hujan yang tak kunjung reda.” Jawab Raya dengan sedikit alasannya.
“Oh, Sini buruan, ada Lukisanmu.” Kata-kata Dilla membuat Raya sedikit mengerutkan keningnya.
Raya tak mampu untuk menyembunyikan rasa herannya sekaligus rasa kagumnya, setelah melihat lukisan yang terpampang jelas di antara deretan lukisan-lukisan yang lainnya, Raya menemukan raut wajahnya terlukis di sana, dengan sebaris senyum yang tersungging di bibirnya dan lesung pipi yang membuat lukisan itu tampak sempurna. Di bawahnya ada nama ‘Langit Ar-raya’, yang digoreskan dalam kanvas yang mengandung unsure cinta.
Speechless raya melihatnya.
Untuk sepersekian detik, Raya masih lekat memandang lukisan itu tak percaya. “Siapa yang telah melukisnya? hingga raut wajah di lukisan itu nyaris tanpa cela.” Pikirannya mengembara mencari sosok yang mungkin pernah menjadi pemujanya. Adi, Rendy, Rio, Angga… Namun sejauh mata menerawang, tak ada satupun pengagumnya yang masuk dalam kategori pelukis hebat. Bahkan yang masuk pecinta seni dan keindahan pun hampir tak ada.
Apakah ia seorang pemuja rahasi?
Raya mencari tahu pelukis misterius itu kepada teman-teman panitianya, namun satu pun tak ada yang tahu. Atau lebih tepatnya mungkin ada yang pura-pura tak tahu? Entahlah…
Setelah acara pameran lukisan telah usai, Raya hendak mengambil lukisan dirinya dan berniat untuk membayarnya. Namun seseorang tengah memanggilnya dan membuat Raya sekali lagi terdiam tanpa kata.
“Raya… lukisan ini buat kamu, tadi pelukisnya meminta saya untuk menyampaikan kepadamu, dan ini juga titipan dari pelukis itu.” Ben, salah satu panitia pameran memberikan seikat bunga dan lipatan kertas berbentuk hati kepada Raya.
Raya masih diam tak percaya, hingga Ben telah pergi menghilang dari pandangan kosongnya.
Hari ini benar-benar penuh teka-teki, dan Raya harus segera mengungkap siapa skenario dari sandiwara ini.
Perlahan, ia membuka lipatan kertas yang ternyata isinya adalah Untaian puisi “Kanvas dalam Lukisan”, dan di pojok kanan bawah tertera sebuah nama : -Riko-.
“Siapa Riko? Seperti pemuja rahasia, aku bahkan tak pernah mengenalnya, walau hanya sebatas nama…”
Raya melangkahkan kakinya untuk segera pulang. Namun, tiba-tiba ponselnya berdering. Ben, Calling…
“Hallo, Raya… Baru saja Riko kecelakaan waktu mau pulang dari pameran lukisan. Sekarang dia di rumah sakit ‘Harapan Bunda’, kamu harus segera kesana, keadaannya sangat keritis.
Tut tut tut… Ben memutuskan sambungan telponnya tanpa memberikan kesempatan kepada Raya untuk sekedar bertanya.
Huh, siapa dia, hingga Raya harus menuruti kata-kata Ben.
Namun hati Raya tak bisa berdusta, setelah mendengar Riko kecelakaan, pikirannya benar-benar kalut. Dan untuk mengetahui keadaan Riko sekaligus mencari jawaban atas rasa penasarannya kepada pelukis misterius itu, Raya pun segera pergi menuju rumah sakit.
Masih dengan bunga dan lukisan di tangannya, ketika Raya masuk ke dalam kamar tempat Riko dirawat.
Raya begitu tak tega ketika dilihatnya Riko terbaring tak berdaya dengan darah yang melumuri sebagian tubuh dan kepalanya, juga infuse yang terpasang sebagai alat bantu pernapasannya.
Teman-teman panitia telah berkumpul di sana, di mana Riko tengah terkulai tak berdaya.
Tiba-tiba airmata raya menetes mencipta buliran-buliran hangat di pipinya, hingga pernapasannya terasa begitu sesak.
“Riko… terimakasih untuk bunga dan lukisannya, juga untuk puisinya… Aku terima dengan sepenuh hatiku. Meski sebelumnya aku tak pernah mengerti bahwa kamulah pelukis itu, aku terima ketulusan cintamu, Riko…” Tanpa sadar, Raya bergumam dalam gugu yang membiru…
Namun Riko hanya diam, hingga detik terakhir ketika ia mendengar kata-kata Raya. Bibirnya sempat mengukir senyum bahagia karena ia telah memberikan separuh hatinya untuk gadis yang dicintainya, meski hanya sebatas pengagum rahasia dalam lukisan cinta…
***

PPAI, 2013*

*Cerita ini telah terangkum dalam Buku Antologi Cerpen "Kata Kita #3" - Penerbit Harfeey 2013

0 komentar:

Posting Komentar

X-Steel - Link Select

About this blog

Diberdayakan oleh Blogger.