By.
Muhrodin “AM”*
~~~
Adalah
ia, yang menanti rinai hujan dalam diam. Mengembara jauh, sejauh mata
menerawang langit lazuardi, mencari titik keindahan dan kedamaian yang sejati…
Gemericik air hujan malam ini laiknya nyanyian
alam tentang kerinduan pada sang penghuni bumi. Suaranya yang memburu, namun begitu
mampu mendamaikan sebagian hati yang tersakiti.
Ia masih setia menikmati keindahan yang sangat
erotis tentang arti dari filosofi hujan. Menurutnya, hujan adalah sebagian dari
keindahan yang Tuhan ciptakan untuk menerpa kerontangnya hati karena berbagai
problematika kehidupan.
Oh, alangkah agungnya kuasa Tuhan. Karena rinainya,
tak sedikit dari mereka akan terperanga dalam dimensi yang berbeda, adalah
bianglala yang tercipta tiap kali hujan reda di penghujung senja.
Ia akan tersenyum dalam diamnya, tiap kali lukisan
Tuhan tentang warna-warni pelangi itu melengkung di batas cakrawala. Tak
sedikit karya-karyanya adalah inspirasi
yang terbias dari goresan yang tercipta setelah nyanyian alam. Dan ia begitu Setia jika harus menanti datangnya
hujan dari atas langit senja.
“Surya, Tak seharusnya kau terus larut dalam lamunan
panjangmu tiap kali hujan
datang menerpa. Tidak kah kau tahu? tak
sedikit dari mereka pun menyalahkan rinai hujan karena keangkuhannya terkadang
sering membuatnya payah dan mengeluh.” Ia
hanya tersenyum, kala Suatu waktu seorang sahabatnya memberikan komentar akan
kebiasaannya menanti hujan. Bahkan di hari-hari selanjutnya, ia masih tetap setia
menunggu datangnya rinai hujan. Hujan yang pernah membuat kenangan indah dalam
hidupnya, meski mungkin sekaligus membuatnya telah terluka!
“Bagiku, hujan adalah sesuatu yang sangat istimewa.
Karena keindahan yang Tuhan ciptakan lewat nyanyian hujan adalah satu dari
sekian anugerah yang tuhan berikan untuk para hambanya.” Ia memberikan jawaban
yang menurutnya memang seperti itulah kenyataannya; nyanyian hujan adalah indah
adanya.
Ia memiliki sepenggal kisah dengan kekasihnya.
Tiap derainya adalah suatu harapan dalam napas hidupnya. Fika, wanita yang
kurang lebih dua tahun belakangan ini telah menemani suka dukanya, telah
mengajarkan arti kesetiaan dalam hidupnya, bersama hujan mereka merajut kisah
sederhana menjadi untaian cinta.
“Aku selalu bahagia tiap kali bersamanya melihat
rintik hujan, senyum indahnya membuat aku selalu ingin terus dan terus
bersamanya, tak sedikit kenangan indah yang tersimpan dalam memorabilia
bersamanya adalah hujan yang setia menemaninya, meski karenanya pula, aku harus
kehilangan dia untuk selama-lamanya.”
Kala itu, ia mengajakku kesebuah telaga warna,
dan tak lama kami di sana,
hujan pun
turun berirama. Dia, aku dan cinta kita, adalah setitik hujan yang tercipta,
kami selalu tersenyum tiap kali hujan datang menyapa.
Aku merasakan ada sesuatu hal yang berbeda, meski
senja dengan rinainya telah bersama membasahi sekujur tubuhku dan tubuhnya,
namun senyumnya kurasakan tak seperti biasanya, dia banyak diam dengan mata
sayunya, hanya sesekali tangannya melingkarkan memeluk tanganku, dan sesekali
pula kepalanya disandarkan dalam bahuku. Aku tak pernah menyangka, kalau saat
itulah terakhir kalinya kami bersama, meniti hujan yang akhirnya mengantarkan
dia kedalam kehidupan yang berbeda.
“Aku sayang sama kamu, Surya… “ Terakhir
kata-katanya sebelum dia benar-benar meninggalkanku sendirian meniti rinai
hujan untuk hari yang kelam.
- Kecelakaan itu, membuat aku terus terpuruk dalam
kerinduan. Yah, aku selalu merindukannya, tiap kali langit menumpahkan
amarahnya, aku selalu berharap bisa bersamanya, meniti kembali masa-masa indah
yang sempat terlewati bersamanya, bersama hujan yang mampu mencipta cinta dan
kerinduan yang mendalam. Namun, realitanya, itu hanya kamuflase yang selamanya
tak akan pernah terwujudkan-.
***
Bersama rinai hujan, kini ia menatap langit lewat
tirai jendela. Tak sedikit asa dalam bahagia yang tercipta, juga tentang luka
karena cintanya telah sirna bersama nyanyian hujan di penghujung senja.
Happy Birth Day, My Honey. J
Wish U All The Best.
Fika love Surya.
Terselip
lara dalam hati yang berderu oleh sebongkah kerinduan. Kala kata-katanya
sebulan lalu, tepat di hari ultahnya yang ke-21 kembali terbaca
oleh sang waktu. hanya doa yang tersemat dalam perisai qalbu, semoga dia bahagia
selalu, bersama kasih sayang dan cinta dari sang pencipta alam semesta…
Dalam
diamnya, ia
masih tetap setia menanti nyanyian hujan hingga keajaiban Tuhan datang padanya…
&&&
“Al-ihya ‘Ulumaddin, Juni 2013”
*Cerita ini telah terangkum dalam Buku Antologi Cerpen "Menunggu #2" - Penerbit Harfey 2013
0 komentar:
Posting Komentar