By. Muhrodin “AM”*
***
Aku
memulai menulis kenangan, dengan Bismillah…
Di sini, di Persinggahan suci,
kucurahkan segala hal dan ihwal yang terkait dengan hidupku. Aku memilih
melanjutkan ke sebuah Pesantren bukan tanpa alasan, Kakakku
adalah alumnus Pesantren ini, dan sejak kecil, aku memang begitu ingin menikmati
hidup dalam sebuah tempat yang penuh hikmah dengan aliran samudera barokah.
Inilah
pertama kalinya aku merantau dan memulai kehidupan yang baru.
Aku
bahagia, karena di sini aku begitu dekat dengan para Ustadz, yang
tak lain dan tak bukan, beliau-beliau adalah sahabat kakakku. Yah, mungkin jika
dibandingkan dengan teman-temanku yang lain, aku sedikit lebih beruntung; lebih dalam mendapatkan kasih sayang
dan perhatian. Ah, rasanya itu tak begitu penting untuk kuceritakan,
sedang aku adanya kini sudah menginjak dewasa. Meski terkadang tingkah dan
pikirku masih seperti anak belia.
Itu
manusiawi, kawan. Kita hidup di Dunia memang saling
membutuhkan. Semua mengerti kalau kita memang mahluk sosial, yang tak akan
pernah bisa hidup tanpa orang lain. Bukan aku terlalu menafi’kan, akan tetapi inilah realita
kehidupan. Dan untuk satu kekuranganku, aku memang terlalu kekanak-kanakan
untuk menyikapi semua itu.
***
Baru
beberapa bulan di sini, aku sakit. Sungguh rasanya begitu sedih,
jauh dari orang tua dan sanak saudara. Ingin rasanya cepat
pulang ke Kampung halaman, tapi terlanjur aku sudah mengatakan kepada kedua
orang tua, bahwa ramadhan pertama ini, aku ingin tetap di Pesantren.
“Kamu sakit
apa?” Tanya Ustadzku. Itu kali pertama salah seorang
ustadz menjengukku dalam pembaringan. Waktu itu aku memang tak berdaya, untuk
sekedar ke kamar mandi saja, aku begitu kesulitan. Mungkin Tuhan begitu
sayang kepadaku, hingga waktu yang begitu indah, dengan nuansa ramadhan-Nya, Ia
hendak mengurai segala dosa yang pernah terlukis dalam kanvas hatiku secara
perlahan-lahan.
“Sabar,
ya? Sebentar lagi juga sembuh kok.” Kata-kata Ustadzku yang coba
menghiburku, agar aku mampu tersenyum dalam seduku. Kala itu mungkin aku telah
lupa, bagaimana caranya untuk tersenyum, karena aku terlalu lelah memikirkan
segala pedih yang kurasakan.
Kala itu,
aku hanya bisa merepotkan teman-temanku saja, kawan. Jika memang tak sedang
dalam keadaan sakit, mungkin aku akan mampu melawan segala hawa nafsu yang
katanya harus terus kujaga sepanjang kita sedang melaksanakan ibadah yang bernama
puasa. Namun aku telah kalah sebelum berperang. Satu minggu aku tak bisa
berpuasa, karena butiran-butiran kapsul yang harus kutelan setiap fajar, siang
dan malam. Keadaan telah menjadikanku seperti budak syetan. Di mana teman-temanku sedang berpuasa,
menahan lapar dan dahaga, tapi aku bisa memakan apa saja yang aku suka. Dan
ketika mereka sedang melaksanakan ibadah sholat tarawih di Masjid, aku terkulai
tak berdaya, terkadang hanya untaian airmata yang menemaniku dalam menghabiskan
sisa malam yang tak lagi indah untuk dikenang.
Tapi
semua itu, sekali lagi bukan tanpa alasan, kawan. Aku tak pernah meminta sakit,
apalagi hingga ‘ku tak bisa untuk melaksanakan ibadah sholat tarawih dan
berpuasa, apalah daya, takdir Tuhan tiada yang menyangka. Dan itu, adalah
cobaan pertamaku sebagai anak yang jauh dari kasih sayang orang tua.
Aku
percaya, itu semua hanyalah untuk pelebur dosa-dosa, seperti halnya kata beliau
ketika sedang menemaniku dalam suatu senja. “Bersabarlah, karena Tuhan tengah
melebur segala dosa-dosamu, Kita diingatkan kembali lewat rasa sakit ini, itu
tandanya Tuhan sayang sama kita.” Tiap kali ada Ustadz atau teman yang coba
menguatkanku, tapi disaat itu pula, buliran air mataku tak dapat dibendungnya.
Semua kata-kata itu, hanya menjadikan hatiku semakin rindu…
***
Tepat satu
minggu, aku dapat beraktifitas seperti sedia kala. Dan senyum itu, kembali
hadir menemani tiap episode dalam ramadhanku di Pesantren.
Ternyata
lewat sakit itu, Tuhan tengah menegurku. Aku memang insan dhoif yang penuh
dosa, hingga saat yang mempertemukanku dengan bulan bermata embun, bulan penuh
ampunan, semoga Tuhan melebur semua dosa-dosaku.
Malam
itu, kembali kuteringat saat di mana aku terkulai dalam pembaringan.
Aku yang tak berdaya, sekedar ingin melafadzkan kalam-kalam-Nya, aku tak mampu.
Rasanya miris sekali, dan syukur, malam ini, kembali kubaca lembar demi lembar
ayat-ayat suci Al-qur’an. Aku hendak mengkhatamkan sepuluh kali khataman dalam
satu ramadhan. Mungkin itu adalah hal paling mustahil dalam sejarah hidupku, karena
ramadhan sebelumnya, aku hanya mampu mengkhatamkan dua atau tiga kali khataman
saja. Tapi tidak untuk saat ini. Ya, masih sangat jelas kuingat kata-kata
beliau, yang katanya dulu ketika ramadhan selalu mengkhataman Al-qur’an sepuluh
kali khataman dalam satu ramadhan.
“Kamu
boleh minta apa saja sama Kakak, kalau ramadhan tahun ini, kamu bisa
mengkhatamkan sepuluh kali khataman.” Dan lagi, itu adalah kata-kata
beliau yang terlalu indah jika untuk dikenang. Tapi, dengan aku bisa melakukan
seperti apa yang telah beliau lakukan, sepertinya bahagia ini tak akan pernah bisa
tergantikan oleh apapun.
Hanya
keridloan Tuhan yang aku dambakan. Selebihnya, kasih sayang yang tak akan
pernah lekang dari ‘kalian’ yang ‘kusayang’…
***
PPAI, 22 Juni 2013*
*Cerita ini telah terangkum dalam Buku Antologi FTS "Ramadhan di Rantau #1" - Penerbit Harfeey 2013
0 komentar:
Posting Komentar