Penyihir Aksara (Malaikat Salju)

Do'a Kalimat Pena By. Muhrodin "AM"

05
Mei

By. Muhrodin “AM”*
***
            Aku memulai menulis kenangan, dengan Bismillah…
Di sini, di Persinggahan suci, kucurahkan segala hal dan ihwal yang terkait dengan hidupku. Aku memilih melanjutkan ke sebuah Pesantren bukan tanpa alasan, Kakakku adalah alumnus Pesantren ini, dan sejak kecil, aku memang begitu ingin menikmati hidup dalam sebuah tempat yang penuh hikmah dengan aliran samudera barokah.
Inilah pertama kalinya aku merantau dan memulai kehidupan yang baru.

Aku bahagia, karena di sini aku begitu dekat dengan para Ustadz, yang tak lain dan tak bukan, beliau-beliau adalah sahabat kakakku. Yah, mungkin jika dibandingkan dengan teman-temanku yang lain, aku sedikit lebih beruntung; lebih dalam mendapatkan kasih sayang dan perhatian. Ah, rasanya itu tak begitu penting untuk kuceritakan, sedang aku adanya kini sudah menginjak dewasa. Meski terkadang tingkah dan pikirku masih seperti anak belia.
Itu manusiawi, kawan. Kita hidup di Dunia memang saling membutuhkan. Semua mengerti kalau kita memang mahluk sosial, yang tak akan pernah bisa hidup tanpa orang lain. Bukan aku terlalu menafikan, akan tetapi inilah realita kehidupan. Dan untuk satu kekuranganku, aku memang terlalu kekanak-kanakan untuk menyikapi semua itu.
***
Baru beberapa bulan di sini, aku sakit. Sungguh rasanya begitu sedih, jauh dari orang tua dan sanak saudara. Ingin rasanya cepat pulang ke Kampung halaman, tapi terlanjur aku sudah mengatakan kepada kedua orang tua, bahwa ramadhan pertama ini, aku ingin tetap di Pesantren.
“Kamu sakit apa?” Tanya Ustadzku. Itu kali pertama salah seorang ustadz menjengukku dalam pembaringan. Waktu itu aku memang tak berdaya, untuk sekedar ke kamar mandi saja,  aku begitu kesulitan. Mungkin Tuhan begitu sayang kepadaku, hingga waktu yang begitu indah, dengan nuansa ramadhan-Nya, Ia hendak mengurai segala dosa yang pernah terlukis dalam kanvas hatiku secara perlahan-lahan.
“Sabar, ya? Sebentar lagi juga sembuh kok.” Kata-kata Ustadzku yang coba menghiburku, agar aku mampu tersenyum dalam seduku. Kala itu mungkin aku telah lupa, bagaimana caranya untuk tersenyum, karena aku terlalu lelah memikirkan segala pedih yang kurasakan.
Kala itu, aku hanya bisa merepotkan teman-temanku saja, kawan. Jika memang tak sedang dalam keadaan sakit, mungkin aku akan mampu melawan segala hawa nafsu yang katanya harus terus kujaga sepanjang kita sedang melaksanakan ibadah yang bernama puasa. Namun aku telah kalah sebelum berperang. Satu minggu aku tak bisa berpuasa, karena butiran-butiran kapsul yang harus kutelan setiap fajar, siang dan malam. Keadaan telah menjadikanku seperti budak syetan. Di mana teman-temanku sedang berpuasa, menahan lapar dan dahaga, tapi aku bisa memakan apa saja yang aku suka. Dan ketika mereka sedang melaksanakan ibadah sholat tarawih di Masjid, aku terkulai tak berdaya, terkadang hanya untaian airmata yang menemaniku dalam menghabiskan sisa malam yang tak lagi indah untuk dikenang.
Tapi semua itu, sekali lagi bukan tanpa alasan, kawan. Aku tak pernah meminta sakit, apalagi hingga ‘ku tak bisa untuk melaksanakan ibadah sholat tarawih dan berpuasa, apalah daya, takdir Tuhan tiada yang menyangka. Dan itu, adalah cobaan pertamaku sebagai anak yang jauh dari kasih sayang orang tua.
Aku percaya, itu semua hanyalah untuk pelebur dosa-dosa, seperti halnya kata beliau ketika sedang menemaniku dalam suatu senja. “Bersabarlah, karena Tuhan tengah melebur segala dosa-dosamu, Kita diingatkan kembali lewat rasa sakit ini, itu tandanya Tuhan sayang sama kita.” Tiap kali ada Ustadz atau teman yang coba menguatkanku, tapi disaat itu pula, buliran air mataku tak dapat dibendungnya. Semua kata-kata itu, hanya menjadikan hatiku semakin rindu…
***
Tepat satu minggu, aku dapat beraktifitas seperti sedia kala. Dan senyum itu, kembali hadir menemani tiap episode dalam ramadhanku di Pesantren.
Ternyata lewat sakit itu, Tuhan tengah menegurku. Aku memang insan dhoif yang penuh dosa, hingga saat yang mempertemukanku dengan bulan bermata embun, bulan penuh ampunan, semoga Tuhan melebur semua dosa-dosaku.
Malam itu, kembali kuteringat saat di mana aku terkulai dalam pembaringan. Aku yang tak berdaya, sekedar ingin melafadzkan kalam-kalam-Nya, aku tak mampu. Rasanya miris sekali, dan syukur, malam ini, kembali kubaca lembar demi lembar ayat-ayat suci Al-qur’an. Aku hendak mengkhatamkan sepuluh kali khataman dalam satu ramadhan. Mungkin itu adalah hal paling mustahil dalam sejarah hidupku, karena ramadhan sebelumnya, aku hanya mampu mengkhatamkan dua atau tiga kali khataman saja. Tapi tidak untuk saat ini. Ya, masih sangat jelas kuingat kata-kata beliau, yang katanya dulu ketika ramadhan selalu mengkhataman Al-qur’an sepuluh kali khataman dalam satu ramadhan.
“Kamu boleh minta apa saja sama Kakak, kalau ramadhan tahun ini, kamu bisa mengkhatamkan sepuluh kali khataman.” Dan lagi, itu adalah kata-kata beliau yang terlalu indah jika untuk dikenang. Tapi, dengan aku bisa melakukan seperti apa yang telah beliau lakukan, sepertinya bahagia ini tak akan pernah bisa tergantikan oleh apapun.
Hanya keridloan Tuhan yang aku dambakan. Selebihnya, kasih sayang yang tak akan pernah lekang dari ‘kalian’ yang ‘kusayang’…
***

PPAI, 22 Juni 2013*

*Cerita ini telah terangkum dalam Buku Antologi FTS "Ramadhan di Rantau #1" - Penerbit Harfeey 2013

0 komentar:

Posting Komentar

X-Steel - Link Select

About this blog

Diberdayakan oleh Blogger.