By. Muhrodin “AM”*
Prolog
Senja itu, kala sang mentari mulai
beranjak keperaduannya, aku duduk termangu di atas terdam,
deretan bebatuan tempat pemecah gelombang.
Semilir angin
menyentuh tubuhku, mencipta kedamaian pada relung hatiku yang tengah dirundung
kepedihan tiap kali kuharus mengingat tentang masa lalu itu.

Aku tak tahu kenapa kita bisa sedekat itu, mungkin saja
karena rumah orang tua kita saling berdekatan, sehingga kita menjadi teman yang
tak pernah bisa terpisahkan.
Hingga menginjak
remaja, kita masih terus bersama, jalan-jalan ke pantai, atau sekedar
main di rumahnya sambil nonton tv hingga berjam-jam,
sampai-sampai banyak yang mengira kalau kita pacaran. Tapi itu salah, karena
kita sudah mempunyai pasangan masing-masing tiap kali sedang bercanda membahas
tentang orang yang menjadi soulmate buat kita. Sang ketua kelas yang
tampan dan penuh wibawa untuknya, dan sang jenius yang cantik jelita dan penuh
pesona untukku. Itu yang terjadi tiap kali kita sedang bermain bersama
temen-temen, entah di rumah ataupun di sekolah.
Kulalui hari-hari yang ceria,
bersamanya aku begitu bahagia. Mungkin dialah sahabat fillah yang telah
menjadi bagian dari hidupku. Aku bersyukur bisa mengenalnya dan menjadi bagian
dari hidupnya.
Namun sejak kita
duduk di bangku SMA, aku merasa ada hal yang berbeda tiap kali
kumemandang raut wajah cantiknya, seolah aku baru tersadar dari tidur
panjangku, seperti mimpi... Aku menemukan aura kecantikan yang terpancar dari dia yang menjadi
sahabat kecilku.
Sebelumnya, aku
memang tak pernah menyangka jika perasaan ini ternyata berubah menjadi cinta.
Salahkah jika hati ini mengatakan aku mencintainya? Dulu, aku memang
menyayanginya sebagai sahabat, tapi sekarang lebih dari sekedar kata sahabat.
Tapi, cinta...
Sejak aku mengerti akan rasa yang
hadir dalam hati ini, aku sering salah tingkah tiap kali harus bercanda dan
bersama dengannya.
Aku menyadari,
mungkin aku telah menyalahi tentang perasaan ini, perasaan sahabat yang selalu
dia anggap untuk sebuah kebersamaan yang selama ini kita jalani, tapi tidak
untuk rasaku, aku mulai mengaguminya, menyayanginya dan ingin selalu melihat
senyum manisnya, hingga kusadari kini aku telah jatuh cinta. Ya, jatuh cinta
pada seorang sahabat yang kurang lebih dua belas tahun kulalui hidupku
bersamanya.
Dia tak mengerti sebelumnya, kalau
aku memiliki perasan yang lebih istimewa dari sekedar sahabat, hingga
kutuliskan semua tentang perasaanku dalam buku diary yang kuberikan padanya
tepat waktu aku akan pergi meninggalkannya.
Sungguh, aku
merasakan kesedihan yang begitu dalam kala kuharus jauh darinya... Begitupun
dia, yang meneteskan air mata ketika tiba-tiba kita harus berpisah untuk waktu
yang cukup lama.
Aku tahu, ia
amat bersedih karena akan ditinggalkan oleh seorang sahabat yang selama ini
selalu mengisi hari-harinya, tapi rasa hatiku sungguh lebih dari itu, serasa
tertimpa sebuah benda yang beratnya berton-ton, aku tak kuasa menahan kesedihan
yang merasuk ke dalam sukma, namun aku harus kuat, demi sebuah
cita-cita...
Berbulan-bulan aku memendam perasaan
rindu ini kepadanya, hingga menginjak hitungan tahun, namun akhirnya aku harus
kecewa.
Mungkin
selamanya dia hanya menganggap aku sebagai sahabatnya, hingga waktu itu tiba,
sungguh aku hampir tak percaya, dia menelponku, mengabarkan tentang pernikahannya
dengan orang yang tak pernah kukenal sebelumnya. Ia menangis terisak
mengharapkan sahabat kecilnya untuk bisa datang menghadiri acara istimewa dalam
sejarah hidupnya. Entah apa yang ia rasakan saat itu, tangisnya membuat aku
ikut tergugu...
Aku menyayanginya, sungguh sangat
menyayanginya, bahkan telah mencintainya lebih dari yang seharusnya. Namun,
ternyata perasaanku harus kukubur dalam-dalam karena kusadari, dia bukanlah
jodohku, dan sampai kapanpun aku tak akan pernah bisa mendapatkan cintanya.
Hanya kata
sahabat yang tetap tersemat dalam lubuk hatiku yang kini telah terluka. Sejak
saat yang mampu meluluhlantahkan jiwaku, aku berusaha sekuat hati mencoba untuk
melupakannya.
Hanya kenangan
sahabat yang masih tetap kujaga, hingga kita dapat berjumpa pada kehidupan yang
mungkin telah berbeda...
Epilog
Tak terasa, bulir-bulir air mata
telah membuyarkan lamunanku.
Senja mulai
menjelma temaram kala kulihat lautan yang seperti tak bertepi.
Aku masih dapat
merasakan sakit hati ini yang begitu menyiksa batinku, hanya do'a yang dapat
kupersembahkan untuk kebahagiaannya di sana, bersama
dia yang kini telah menjadi bagian dari hidupnya, untuk selamanya...
Dalam dimensi yang berbeda, aku
pasrahkan segala rasa, dan aku percaya skenario tuhan jauh lebih indah dari
sekedar cinta yang pernah membuat aku terjatuh hingga tak berdaya...
Meskipun perih,
aku harus melupakan perasaanku yang telah membuat aku kecewa.
Di penghujung
senja, di pantai Teluk Penyu, kukubur sebentuk luka karena cinta yang dulu pernah
tercipta...
*Cerita ini telah terangkum dalam Buku Antologi Cerpen "Melupakan #4" Penerbit Harfeey 2013
0 komentar:
Posting Komentar