Penyihir Aksara (Malaikat Salju)

Do'a Kalimat Pena By. Muhrodin "AM"

06
Mei

By. Muhrodin “AM”*


Prolog

            Senja itu, kala sang mentari mulai beranjak keperaduannya, aku duduk termangu di atas terdam, deretan bebatuan tempat pemecah gelombang.
Semilir angin menyentuh tubuhku, mencipta kedamaian pada relung hatiku yang tengah dirundung kepedihan tiap kali kuharus mengingat tentang masa lalu itu.

            Sejak kita sama-sama masih duduk di bangku SD, kita sudah sangat dekat layaknya dua sejoli yang tak bisa untuk dipisahkan. Sekolah bersama, makan bersama, mengaji bersama, sampai terkadang kita hujan-hujanan bersama, dan jalan-jalan berdua menyusuri tiap halaman rumah tetangga ketika hujan sudah mulai reda...
Aku tak tahu kenapa kita bisa sedekat itu, mungkin saja karena rumah orang tua kita saling berdekatan, sehingga kita menjadi teman yang tak pernah bisa terpisahkan.
Hingga menginjak remaja, kita masih terus bersama, jalan-jalan ke pantai, atau sekedar main di rumahnya sambil nonton tv hingga berjam-jam, sampai-sampai banyak yang mengira kalau kita pacaran. Tapi itu salah, karena kita sudah mempunyai pasangan masing-masing tiap kali sedang bercanda membahas tentang orang yang menjadi soulmate buat kita. Sang ketua kelas yang tampan dan penuh wibawa untuknya, dan sang jenius yang cantik jelita dan penuh pesona untukku. Itu yang terjadi tiap kali kita sedang bermain bersama temen-temen, entah di rumah ataupun di sekolah.

            Kulalui hari-hari yang ceria, bersamanya aku begitu bahagia. Mungkin dialah sahabat fillah yang telah menjadi bagian dari hidupku. Aku bersyukur bisa mengenalnya dan menjadi bagian dari hidupnya.
Namun sejak kita duduk di bangku SMA, aku merasa ada hal yang berbeda tiap kali kumemandang raut wajah cantiknya, seolah aku baru tersadar dari tidur panjangku, seperti mimpi... Aku menemukan aura kecantikan yang terpancar dari dia yang menjadi sahabat kecilku.
Sebelumnya, aku memang tak pernah menyangka jika perasaan ini ternyata berubah menjadi cinta. Salahkah jika hati ini mengatakan aku mencintainya? Dulu, aku memang menyayanginya sebagai sahabat, tapi sekarang lebih dari sekedar kata sahabat. Tapi, cinta...
            Sejak aku mengerti akan rasa yang hadir dalam hati ini, aku sering salah tingkah tiap kali harus bercanda dan bersama dengannya.
Aku menyadari, mungkin aku telah menyalahi tentang perasaan ini, perasaan sahabat yang selalu dia anggap untuk sebuah kebersamaan yang selama ini kita jalani, tapi tidak untuk rasaku, aku mulai mengaguminya, menyayanginya dan ingin selalu melihat senyum manisnya, hingga kusadari kini aku telah jatuh cinta. Ya, jatuh cinta pada seorang sahabat yang kurang lebih dua belas tahun kulalui hidupku bersamanya.

            Dia tak mengerti sebelumnya, kalau aku memiliki perasan yang lebih istimewa dari sekedar sahabat, hingga kutuliskan semua tentang perasaanku dalam buku diary yang kuberikan padanya tepat waktu aku akan pergi meninggalkannya.
Sungguh, aku merasakan kesedihan yang begitu dalam kala kuharus jauh darinya... Begitupun dia, yang meneteskan air mata ketika tiba-tiba kita harus berpisah untuk waktu yang cukup lama.
Aku tahu, ia amat bersedih karena akan ditinggalkan oleh seorang sahabat yang selama ini selalu mengisi hari-harinya, tapi rasa hatiku sungguh lebih dari itu, serasa tertimpa sebuah benda yang beratnya berton-ton, aku tak kuasa menahan kesedihan yang merasuk ke dalam sukma, namun aku harus kuat, demi sebuah cita-cita...

            Berbulan-bulan aku memendam perasaan rindu ini kepadanya, hingga menginjak hitungan tahun, namun akhirnya aku harus kecewa.
Mungkin selamanya dia hanya menganggap aku sebagai sahabatnya, hingga waktu itu tiba, sungguh aku hampir tak percaya, dia menelponku, mengabarkan tentang pernikahannya dengan orang yang tak pernah kukenal sebelumnya. Ia menangis terisak mengharapkan sahabat kecilnya untuk bisa datang menghadiri acara istimewa dalam sejarah hidupnya. Entah apa yang ia rasakan saat itu, tangisnya membuat aku ikut tergugu...
            Aku menyayanginya, sungguh sangat menyayanginya, bahkan telah mencintainya lebih dari yang seharusnya. Namun, ternyata perasaanku harus kukubur dalam-dalam karena kusadari, dia bukanlah jodohku, dan sampai kapanpun aku tak akan pernah bisa mendapatkan cintanya.
Hanya kata sahabat yang tetap tersemat dalam lubuk hatiku yang kini telah terluka. Sejak saat yang mampu meluluhlantahkan jiwaku, aku berusaha sekuat hati mencoba untuk melupakannya.
Hanya kenangan sahabat yang masih tetap kujaga, hingga kita dapat berjumpa pada kehidupan yang mungkin telah berbeda...

Epilog

            Tak terasa, bulir-bulir air mata telah membuyarkan lamunanku.
Senja mulai menjelma temaram kala kulihat lautan yang seperti tak bertepi.
Aku masih dapat merasakan sakit hati ini yang begitu menyiksa batinku, hanya do'a yang dapat kupersembahkan untuk kebahagiaannya di sana, bersama dia yang kini telah menjadi bagian dari hidupnya, untuk selamanya...

            Dalam dimensi yang berbeda, aku pasrahkan segala rasa, dan aku percaya skenario tuhan jauh lebih indah dari sekedar cinta yang pernah membuat aku terjatuh hingga tak berdaya...

Meskipun perih, aku harus melupakan perasaanku yang telah membuat aku kecewa.

Di penghujung senja, di pantai Teluk Penyu, kukubur sebentuk luka karena cinta yang dulu pernah tercipta...  

*Cerita ini telah terangkum dalam Buku Antologi Cerpen "Melupakan #4" Penerbit Harfeey 2013

0 komentar:

Posting Komentar

X-Steel - Link Select

About this blog

Diberdayakan oleh Blogger.