Penyihir Aksara (Malaikat Salju)

Do'a Kalimat Pena By. Muhrodin "AM"

04
Mei

By. Muhrodin “AM”*
***
Ini adalah satu dari sekian mimpiku selama ini; hijrah ke tanah jawa. Yah, sejak lulus SD dulu, aku sudah begitu ingin menapakkan kaki di persinggahan suci. Tapi melihat umurku yang masih sangat belia, kedua orang tuaku begitu tak tega melepaskannya, hingga terpaksa aku harus menunggu lagi selama tiga tahun lamanya.
Dan kini, masa itu telah tiba. Masa yang beratus-ratus hari mampu menyeretku ke dalam dunia khayal yang sedari dulu teramat ingin kusinggahi.
“Do’akan ananda, Pak, Bu. Semoga ananda bisa mejadi anak yang shaleh, dan kelak menjadi anak yang berguna bagi nusa, bangsa dan agama. Aamiin.” Itu adalah pintaku sebelum aku benar-benar akan meninggalkan tanah kelahiranku di mana aku dibesarkan. Umurku genap lima belas tahun. Dan kini, aku bertekad untuk berpisah dengan kedua orang tua dan sanak saudara demi sebuah mimpi yang mulia; menjadi santri di salah satu pesantren di pulau jawa.
***
Setelah beberapa hari aku di sini, ternyata dunia pesantren tak seperti yang ada dalam benakku. Sungguh, jika tak ada sedikit saja jubah kesabaran dalam hatiku, mungkin, kini aku sudah tak lagi di sini. Yah, akhirnya aku sadar, di pesantren, kegiatannya begitu padat. Yang ada hanyalah mengaji, mengaji, dan mengaji. Belum lagi di pesantren ratusan bahkan ribuan santri yang berasal dari berbagai penjuru mata angin. Berbagai karakter dan aku harus belajar menyesuaikan dengan lingkungan dan juga dengan teman-teman.
Alhamdulillah, kini aku telah merasakan indahnya hidup di pesantren. Indahnya berbagi dan indahnya kebersamaan. Meski terkadang, akupun masih merasakan sedih, kangen, dan juga susah karena berbagai macam permasalahan. Tapi aku tetap belajar untuk bersabar, karena aku tahu, Tuhan selalu bersama kita. Laa Tahzan, Innallaha ma’ana…
***
Selama aku di sini, berbagai macam kenangan telah aku torehkan, dari hal-hal lucu, ambigu, dan yang melanggar peraturan pesantren-pun kerap aku lakukan. Itu manusiawi kawan, aku hanyalah manusia biasa yang kerap melakukan salah dan dosa. Seperti halnya malam itu, ketika pengajian tengah berlangsung, aku dan teman-teman malah asik nonton film di Rental Disk yang berada di sekitar pesantren. Tak pernah kusangka sebelumnya, ternyata malam itu keamanan pesantren mengadakan razia massal. Dan benar saja, aku dan ke-25 teman lainnya, yang malam itu tengah asik melakukan pelanggaran-pun tertangkap basah oleh beliau. Titik akhirnya telah terbaca, kita semua mendapatkan hukuman.
Dan lagi, karena suatu hal, aku jauh berbalik seratus delapan puluh derajat dengan sahabat terdekatku. Yah, inilah aku dengan segala keegoisanku pada waktu itu. Aku, yang begitu benci dengan sahabat yang kurang bertangggungjawab, sahabat yang tak bisa berkata jujur, aku begitu muak. Meskipun ia adalah sahabat terdekat sekalipun, jangan harap akan ada ampun untuk orang-orang yang menyentuh sisi sensitifku karena tersebab oleh hal-hal semacam itu.
Yah, mungkin aku terlalu salah. Tapi hati siapa yang ingin terluka? Aku rasa semua hati jika ditanya akan hal serupa, jawabnya sudahlah pasti akan sama ‘Tidak akan pernah ada’. Termasuk aku pada saat itu, sedikit saja ada seseorang yang sengaja berbohong kepadaku, itu rasanya sakit sekali, kawan. Dan ketika tidak hanya sekali dua kali, tapi sudah berkali-kali, maka jalan yang pasti aku tempuh adalah Maafkan aku, Teman...
***
“Kenapa kalian bermusuhan?” Itu adalah pertanyaan untuk yang kesekian kalinya yang terlontar dari teman-temanku. Tapi aku tak cukup mampu untuk menjawab pertanyaan itu, karena separuh hatiku benar-benar telah didera rasa kecewa.
“Dia masih begitu ingin bersahabat denganmu, bahkan ia kerap menceritakan kebaikan-kebaikanmu sewaktu kamu masih bersamanya, mengapa kamu tak jua mau memaafkannya, jika memang nyata ia bersalah?” dan lagi, itu adalah kata-kata yang kudengar langsung dari temanku yang juga menjadi temanmu pada waktu itu, namun sekali lagi, mungkin hatiku benar-benar telah membeku, hingga untuk memaafkanmu saja aku belum mampu.
Kini kusadari, meski jauh di lubuk hatiku masih merasakan nyeri karena ‘penghianatan’ itu, tapi tak baik juga jika aku harus terus-terusan membencimu. Bukankah manusia adalah tempatnya salah dan dosa?
Aku memang terlalu benci dengan seseorang yang kerap menyakiti sisi hatiku dengan cara berbohong dan tak bertanggung jawab, meski dalam hal terkecil sekalipun. Tapi bukan berarti aku tak bisa untuk memaafkannya. Setelah sekian lama, ternyata rasa itu  telah terkikis oleh sang waktu, dan naluriku sebagai manusia yang masih memiliki hati, akupun kini telah memaafkanmu. Semuanya telah terjawab oleh sang waktu. Tak ada lagi benci, tak ada lagi sekat di antara kita. Meski terkadang tiap kali kuingat akan ulahmu padaku, hatiku masih menyisakan serpihan luka. Semoga Tuhan menyembuhkan semua hati yang terluka…
***
Senja di langit mencipta bulir-bulir air hujan yang membasahi bumi muharram. Hari ini, tepat pada tanggal 1 Muharram, Romo Kyai mengumpulkan para santrinya untuk ber-I’tikaf di Masjid, melakukan mujahadah bersama sebelum akhirnya beliau berdo’a untuk akhir tahun dan awal tahun. Di mana saat itu buku catatan amal baik dan amal buruk kita diangkat oleh malaikat kemudian diperhitungkan di hadapan Tuhannya.
Tuhan, aku sadar, aku bersandar…
Senja itu, bersama deraian air hujan. Airmataku berjatuhan. Begitu banyak dosa yang telah aku lakukan. Dan di awal muharram ini, aku bersimpuh di hadapan Tuhan, berharap akan ridho dan ampunan-Nya. Sungguh, aku begitu merindukan kasih sayang-Nya…


PPAI, 11 November 2013*

*Cerita ini telah terangkum dalam Buku Antologi Cerpen “Seribu Lilin untuk Tuhan” - Sembilan Mutiara Publishing 2014

0 komentar:

Posting Komentar

X-Steel - Link Select

About this blog

Diberdayakan oleh Blogger.