By. Muhrodin “AM”*
***

Dan kini, masa itu telah tiba. Masa yang beratus-ratus hari mampu
menyeretku ke dalam dunia
khayal yang sedari dulu teramat ingin kusinggahi.
“Do’akan ananda, Pak, Bu. Semoga ananda bisa mejadi anak yang
shaleh, dan kelak menjadi anak yang berguna bagi nusa, bangsa dan agama.
Aamiin.” Itu adalah pintaku sebelum aku benar-benar akan meninggalkan tanah
kelahiranku di mana aku
dibesarkan. Umurku genap lima belas tahun. Dan kini, aku bertekad untuk
berpisah dengan kedua orang tua dan sanak saudara demi sebuah mimpi yang mulia;
menjadi santri di salah satu pesantren di pulau jawa.
***
Setelah beberapa hari aku di sini,
ternyata dunia pesantren tak seperti yang ada dalam benakku. Sungguh, jika tak
ada sedikit saja jubah kesabaran dalam hatiku, mungkin, kini aku sudah tak lagi
di sini. Yah, akhirnya aku sadar, di pesantren, kegiatannya begitu
padat. Yang ada hanyalah mengaji, mengaji, dan mengaji. Belum lagi di pesantren
ratusan bahkan ribuan santri yang berasal dari berbagai penjuru mata angin.
Berbagai karakter dan aku harus belajar menyesuaikan dengan lingkungan dan juga
dengan teman-teman.
Alhamdulillah, kini aku telah merasakan indahnya hidup di
pesantren. Indahnya berbagi dan indahnya kebersamaan. Meski terkadang, akupun
masih merasakan sedih, kangen, dan juga susah karena berbagai macam
permasalahan. Tapi aku tetap belajar untuk bersabar, karena aku tahu, Tuhan
selalu bersama kita. Laa Tahzan, Innallaha ma’ana…
***
Selama aku di sini,
berbagai macam kenangan telah aku torehkan, dari hal-hal lucu, ambigu, dan yang
melanggar peraturan pesantren-pun kerap aku lakukan. Itu manusiawi kawan, aku
hanyalah manusia biasa yang kerap melakukan salah dan dosa. Seperti halnya
malam itu, ketika pengajian tengah berlangsung, aku dan teman-teman malah asik
nonton film di Rental Disk yang berada di sekitar
pesantren. Tak pernah kusangka sebelumnya, ternyata malam itu keamanan
pesantren mengadakan razia massal. Dan benar saja, aku dan ke-25 teman lainnya,
yang malam itu tengah asik melakukan pelanggaran-pun tertangkap basah oleh
beliau. Titik akhirnya telah terbaca, kita semua mendapatkan hukuman.
Dan lagi, karena suatu hal, aku jauh berbalik seratus delapan puluh
derajat dengan sahabat terdekatku. Yah, inilah aku dengan segala keegoisanku
pada waktu itu. Aku, yang begitu benci dengan sahabat yang kurang
bertangggungjawab, sahabat yang tak bisa berkata jujur, aku begitu muak.
Meskipun ia adalah sahabat terdekat sekalipun, jangan harap akan ada ampun
untuk orang-orang yang menyentuh sisi sensitifku karena tersebab oleh hal-hal
semacam itu.
Yah, mungkin aku terlalu salah. Tapi hati siapa yang ingin terluka?
Aku rasa semua hati jika ditanya akan hal serupa, jawabnya sudahlah pasti akan
sama ‘Tidak akan pernah ada’. Termasuk aku pada saat itu, sedikit saja ada
seseorang yang sengaja berbohong kepadaku, itu rasanya sakit sekali, kawan. Dan
ketika tidak hanya sekali dua kali, tapi sudah berkali-kali, maka jalan yang
pasti aku tempuh adalah “Maafkan
aku, Teman...”
***
“Kenapa kalian bermusuhan?” Itu adalah pertanyaan untuk yang
kesekian kalinya yang terlontar dari teman-temanku. Tapi aku tak cukup mampu
untuk menjawab pertanyaan itu, karena separuh hatiku benar-benar telah didera
rasa kecewa.
“Dia masih begitu ingin bersahabat denganmu, bahkan ia kerap
menceritakan kebaikan-kebaikanmu sewaktu kamu masih bersamanya, mengapa kamu
tak jua mau memaafkannya, jika memang nyata ia bersalah?” dan lagi, itu adalah
kata-kata yang kudengar langsung dari temanku yang juga menjadi temanmu pada
waktu itu, namun sekali lagi, mungkin hatiku benar-benar telah membeku, hingga
untuk memaafkanmu saja aku belum mampu.
Kini kusadari, meski jauh di lubuk
hatiku masih merasakan nyeri karena ‘penghianatan’ itu, tapi tak baik juga jika
aku harus terus-terusan membencimu. Bukankah manusia adalah tempatnya salah dan
dosa?
Aku memang terlalu benci dengan seseorang yang kerap menyakiti sisi
hatiku dengan cara berbohong dan tak bertanggung jawab, meski dalam hal
terkecil sekalipun. Tapi bukan berarti aku tak bisa untuk memaafkannya. Setelah
sekian lama, ternyata rasa itu telah
terkikis oleh sang waktu, dan naluriku sebagai manusia yang masih memiliki
hati, akupun kini telah memaafkanmu. Semuanya telah terjawab oleh sang waktu.
Tak ada lagi benci, tak ada lagi sekat di antara
kita. Meski terkadang tiap kali kuingat akan ulahmu padaku, hatiku masih
menyisakan serpihan luka. Semoga Tuhan menyembuhkan semua hati yang terluka…
***
Senja di langit mencipta bulir-bulir air hujan yang membasahi bumi
muharram. Hari ini, tepat pada tanggal 1 Muharram, Romo Kyai
mengumpulkan para santrinya untuk ber-I’tikaf di Masjid,
melakukan mujahadah bersama sebelum akhirnya beliau berdo’a untuk akhir tahun
dan awal tahun. Di mana saat itu
buku catatan amal baik dan amal buruk kita diangkat oleh malaikat kemudian
diperhitungkan di hadapan
Tuhannya.
Tuhan, aku sadar, aku bersandar…
Senja itu, bersama deraian air hujan. Airmataku berjatuhan. Begitu
banyak dosa yang telah aku lakukan. Dan di awal
muharram ini, aku bersimpuh di hadapan
Tuhan, berharap akan ridho dan ampunan-Nya. Sungguh, aku begitu merindukan
kasih sayang-Nya…
PPAI, 11 November 2013*
*Cerita ini telah terangkum
dalam Buku Antologi Cerpen “Seribu Lilin untuk Tuhan” - Sembilan Mutiara Publishing
2014
0 komentar:
Posting Komentar