By. Muhrodin “AM”*
Malam menyepuh rindu,
suasana di Pondok
pesantren Nurul Iman tampak begitu sepi. Aku masih
duduk termenung, pikiranku
melayang jauh ke seberang lautan,
mencari satu titik cahaya kedamaian...
“Fathan ingin seperti kakak yang
bisa mondok di tanah jawa,” pintaku pada
ummi ketika sedang berada di ruang tamu.
“Ummi sangat senang mendengarnya,
tapi apa Fathan serius benar–benar mau mondok?” tanya ummi,
pelan kepadaku.
“Iya, Ummi. Fathan
benar–benar serius mau mondok, Fathan ingin
seperti kak Faris yang bisa menghafal dan menjaga al-Qur’an.” Ummi terdiam sejenak demi mendengar perkataanku yang
terakhir.
“Fathan, menjadi seorang hafidz itu tidak
mudah, banyak godaan dan cobaannya, apa kamu mampu, sayang?” Tanya ummi bijak
dengan penuh kelembutan.
“InsyaAllah, Ummi. Dengan
usaha dan do’a restu dari Abah dan Ummi.”
Kataku sedikit meyakinkan.
“Jaga diri kamu baik-baik, ya, Nak. jangan pernah menyerah untuk terus berusaha dan berdo’a kepada Alloh SWT.” Nasihat
ummi
masih terngiang jelas di telingaku.
***
Suasana malam ini begitu dingin,
tampaknya kabut malam masih menyisakan ritik-rintik air hujan. Setelah selesai sholat tahajud, aku
sempatkan untuk berdo’a kepada Tuhan.
“Allohumma
nawir qulubana, wa qulu bahum, binnuril ‘ilmi wal hidayati wal hikmah.”
Selanjutnya seperti biasa, aku pun mulai
tenggelam dalam buaian ayat-ayat suci Al-Qur’an yang akan kucoba untuk kugenggam
dalam hati dan pikiran. Setelah
itu,
kami pun simakan secara bergantian. Begitulah
seterusnya, hingga acara Haul
dan Ultah Pon-Pes
Nurul Iman tinggal satu minggu lagi.
“Fathan...”
Tiba-tiba suara ummi
yang begitu lembut terdengar jelas di telingaku.
“Bagaimana
kabarnya sayang? Tentu baik-baik saja, ‘kan?
Umi sama Abah mau minta do’a dan restunya, insyaAllah
besok Ummi
mau berangkat ke tanah suci.”
Aku hanya diam tanpa bisa berkata apa-apa,
hanya mataku yang terus memandangi wajah abah dan ummi yang tampak arif dan lebih
bercahaya dengan pakaian ihramnya. Dengan tatapan kasih seorang ibu kepada anaknya
ummi pun kembali berkata, “Ummi bangga dan sangat bahagia, akhirnya kamu dapat
mewujudkan impianmu untuk menghafal dan menjaga al-Qur’an. Istiqomahlah dalam
menghafalkan dan
menjaganya, sayang. Do’a Abah dan ummi selalu menyertaimu.”
Perlahan-lahan bayangan abah dan
ummi pun menghilang bersama dengan tangan Ilham yang mencoba membangunkanku
untuk melaksanakan qiyamul lail.
“Astahgfirullohal’adzim…”
ucapku lirih setelah aku tersadar dan mengerti kalau semua itu hanyalah mimpi.
“Ada apa,
Than?” tanya Ilham setengah terkejut.
“Gak ada
apa-apa kok, aku cuma bermimpi.”
“Oh, ya
sudah kalau begitu, aku ke masjid
dulu ya?”
Aku hanya menganggukkan kepala sembari melihat
Ilham hingga menghilang di balik pintu,
aku masih sempat memikirkan arti mimpiku itu, sebelum akhirnya aku pun segera
mangambil air wudlu menyusul Ilham untuk kembali menghafal kalam-kalamNya.
***
Hari telah berganti, Ilham tampak bahagia
karena telah menyelesaikan hafalan al-Qur’annya disusul Rizal. Namun aku
semakin bingung memikirkan hafalanku yang baru juz 27 surat ar-Rohman.
“Yakinlah pasti kamu bisa,
kawan.” Support
Rizal
ketika melihat aku yang masih duduk termenung di depan masjid sambil menikmati
suasana
malam.
“Kita harus berusaha untuk meraih
kesuksesan dan kabahagiaan itu bersama-sama.”
Kata-kata
Ilham
mencoba menguatkanku.
“Iya,
terimakasih, kawan, aku akan terus berusaha demi untuk sebuah cita-cita yang
mulia, karena aku tak ingin mengecewakan kalian,” jawabku semangat. J --Terlebih tak ingin mengecewakan Abah dan Ummiku-- batinku dalam hati.
Ya Allah, Engkau
telah mempercayakan hamba untuk menghafal dan menjaga kalam-Mu.
Maka,
ridloilah dan lindungilah hamba dan keluarga hamba dari siksa api neraka, Robbana
atinaa fiddunya hasanah wafil akhiroti hasanah waqinaa ‘adzabannar.
***
Acara Haul
dan Ultah
Pon-pes Nurul Iman kini telah tiba, halaman Pon-pes
yang untuk menyambut para tamu, wali santri dan alumni pada acara khataman dan
pengajian akbar malam nanti terlihat begitu meriah. Aku mulai tak sabar untuk
menunggu kedatangan abah dan ummi, ketika kulihat para wali santri sudah banyak
yang hadir, termasuk keluarga Ilham dan Rizal, semuanya sudah berada di kamar
tamu, mereka tampaknya begitu bahagia bisa berkumpul dengan keluarganya.
Sebelum acara khataman belangsung, aku
dikagetkan oleh suara Ustadz Ma’mun yang
memanggilku lewat Microphone
kantor Secretariat.
Aku pun segera menuju kantor
secretariat dan menemui beliau.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum Salam,”
suara ustadz Ma’mun terdengar
begitu pelan.
“Ada apa, Ustadz?”
Tanyaku gugup,
ketika sudah bertemu dengan beliau
“Muhammad Fathan Haidar, maaf
sebelumnya, tadi Abah panjenengan
telphone,
dan katanya beliau tidak bisa datang untuk
menghormati acara
khatamanmu.”
“Lho,
kenapa Ustadz?” Tanyaku masih
belum mengerti
“Ibumu kecelakaan
di Banten, ketika hendak berangkat ke
sini.” Jawab Ustadz Ma’mun sembari memegang
pundakku, dan mengusap rambut belakang kepalaku.
Detak jantungku semakin kencang saat aku
mendengar kata-kata itu, aliran darahku
serasa berhenti, seakan aku tak mempercayai semua itu.
“Innalillahi wainna ilihi
roji’un,” ucapku lirih, dan tak terasa butiran kristal bening telah menetes membasahi pipiku.
Aku benar-benar tak kuasa untuk menopang tubuhku, dan
seketika itu pula, kurasakan semuanya berubah menjadi gelap...
PPAI, 22 Juni
2014*
*Cerpen ini terangkum dalam buku Antologi FF Warna-warni di Pesantren #1 Pena Indis - 2014*
*Cerpen ini terangkum dalam buku Antologi FF Warna-warni di Pesantren #1 Pena Indis - 2014*
0 komentar:
Posting Komentar