Penyihir Aksara (Malaikat Salju)

Do'a Kalimat Pena By. Muhrodin "AM"

02
Agustus

By. Muhrodin “AM”*

Malam menyepuh rindu, suasana di Pondok pesantren Nurul Iman tampak begitu sepi. Aku masih duduk termenung, pikiranku melayang jauh ke seberang lautan, mencari satu titik cahaya kedamaian...
“Fathan ingin seperti kakak yang bisa mondok di tanah jawa,” pintaku pada ummi ketika sedang berada di ruang tamu.
“Ummi sangat senang mendengarnya, tapi apa Fathan serius benar–benar mau mondok?” tanya ummi, pelan kepadaku.
“Iya, Ummi. Fathan benar–benar serius mau mondok, Fathan ingin seperti kak Faris yang bisa menghafal dan menjaga al-Qur’an. Ummi terdiam sejenak demi mendengar perkataanku yang terakhir.
“Fathan, menjadi seorang hafidz itu tidak mudah, banyak godaan dan cobaannya, apa kamu mampu, sayang?” Tanya ummi bijak dengan penuh kelembutan.
 “InsyaAllah, Ummi. Dengan usaha dan do’a restu dari Abah dan Ummi.” Kataku sedikit meyakinkan.
“Jaga diri kamu baik-baik, ya, Nak. jangan pernah menyerah untuk terus berusaha dan berdo’a kepada Alloh SWT. Nasihat ummi masih terngiang jelas di telingaku.
***
Suasana malam ini begitu dingin, tampaknya kabut malam masih menyisakan ritik-rintik air hujan. Setelah selesai sholat tahajud, aku sempatkan untuk berdo’a kepada Tuhan.
“Allohumma nawir qulubana, wa qulu bahum, binnuril ‘ilmi wal hidayati wal hikmah.
Selanjutnya seperti biasa, aku pun mulai tenggelam dalam buaian ayat-ayat suci Al-Qur’an yang akan kucoba untuk kugenggam dalam hati dan pikiran. Setelah itu, kami pun simakan secara bergantian. Begitulah seterusnya, hingga acara Haul dan Ultah Pon-Pes Nurul Iman tinggal satu minggu lagi.
“Fathan...”
Tiba-tiba suara ummi yang begitu lembut terdengar jelas di telingaku.
Bagaimana kabarnya sayang? Tentu baik-baik saja, ‘kan? Umi sama Abah mau minta do’a dan restunya, insyaAllah besok Ummi mau berangkat ke tanah suci.
Aku hanya diam tanpa bisa berkata apa-apa, hanya mataku yang terus memandangi wajah abah dan ummi yang tampak arif dan lebih bercahaya dengan pakaian ihramnya. Dengan tatapan kasih seorang ibu kepada anaknya ummi pun kembali berkata, “Ummi bangga dan sangat bahagia, akhirnya kamu dapat mewujudkan impianmu untuk menghafal dan menjaga al-Qur’an. Istiqomahlah dalam menghafalkan dan menjaganya, sayang. Do’a Abah dan ummi selalu menyertaimu.
Perlahan-lahan bayangan abah dan ummi pun menghilang bersama dengan tangan Ilham yang mencoba membangunkanku untuk melaksanakan qiyamul lail.
Astahgfirullohal’adzim…” ucapku lirih setelah aku tersadar dan mengerti kalau semua itu hanyalah mimpi.
“Ada apa, Than?” tanya Ilham setengah terkejut.
“Gak ada apa-apa kok, aku cuma bermimpi.
 “Oh, ya sudah kalau begitu, aku ke masjid dulu ya?”
Aku hanya menganggukkan kepala sembari melihat Ilham hingga  menghilang di balik pintu, aku masih sempat memikirkan arti mimpiku itu, sebelum akhirnya aku pun segera mangambil air wudlu menyusul Ilham untuk kembali menghafal kalam-kalamNya.
***
Hari telah berganti, Ilham tampak bahagia karena telah menyelesaikan hafalan al-Qur’annya disusul Rizal. Namun aku semakin bingung memikirkan hafalanku yang baru juz 27 surat ar-Rohman.
“Yakinlah pasti kamu bisa, kawan. Support Rizal ketika melihat aku yang masih duduk termenung di depan masjid sambil menikmati suasana malam.
“Kita harus berusaha untuk meraih kesuksesan dan kabahagiaan itu bersama-sama.” Kata-kata Ilham mencoba menguatkanku.
“Iya, terimakasih, kawan, aku akan terus berusaha demi untuk sebuah cita-cita yang mulia, karena aku tak ingin mengecewakan kalian, jawabku semangat. J --Terlebih tak ingin mengecewakan Abah dan Ummiku-- batinku dalam hati.
Ya Allah, Engkau telah mempercayakan hamba untuk menghafal dan menjaga kalam-Mu. Maka, ridloilah dan lindungilah hamba dan keluarga hamba dari siksa api neraka, Robbana atinaa fiddunya hasanah wafil akhiroti hasanah waqinaa ‘adzabannar.
***
Acara Haul dan Ultah Pon-pes Nurul Iman kini telah tiba, halaman Pon-pes yang untuk menyambut para tamu, wali santri dan alumni pada acara khataman dan pengajian akbar malam nanti terlihat begitu meriah. Aku mulai tak sabar untuk menunggu kedatangan abah dan ummi, ketika kulihat para wali santri sudah banyak yang hadir, termasuk keluarga Ilham dan Rizal, semuanya sudah berada di kamar tamu, mereka tampaknya begitu bahagia bisa berkumpul dengan keluarganya.
Sebelum acara khataman belangsung, aku dikagetkan oleh suara Ustadz Mamun yang memanggilku lewat Microphone kantor Secretariat. Aku pun segera menuju kantor secretariat dan menemui beliau.
Assalamu’alaikum.
Wa’alaikum Salam,” suara ustadz Mamun terdengar begitu pelan.
“Ada apa, Ustadz?” Tanyaku gugup, ketika sudah bertemu dengan beliau
“Muhammad Fathan Haidar, maaf sebelumnya, tadi Abah panjenengan telphone, dan katanya beliau tidak bisa datang untuk menghormati acara khatamanmu.”
Lho, kenapa Ustadz?” Tanyaku masih belum mengerti
Ibumu kecelakaan di Banten, ketika hendak berangkat ke sini.” Jawab Ustadz Ma’mun sembari memegang pundakku, dan mengusap rambut belakang kepalaku.
Detak jantungku semakin kencang saat aku mendengar kata-kata itu,  aliran darahku serasa berhenti, seakan aku tak mempercayai semua itu.
 Innalillahi wainna ilihi roji’un,” ucapku lirih, dan tak terasa butiran kristal bening telah menetes membasahi pipiku. Aku benar-benar tak kuasa untuk menopang tubuhku, dan seketika itu pula, kurasakan semuanya berubah menjadi gelap...

PPAI, 22 Juni 2014*

*Cerpen ini terangkum dalam buku Antologi FF Warna-warni di Pesantren #1 Pena Indis - 2014*

0 komentar:

Posting Komentar

X-Steel - Link Select

About this blog

Diberdayakan oleh Blogger.