Penyihir Aksara (Malaikat Salju)

Do'a Kalimat Pena By. Muhrodin "AM"

15
Agustus

Oleh: Muhrodin “AM”*

1
Kuawali surat ini dengan menyebut asma-Nya; yang jiwanya adalah cinta, dan setianya adalah bunga-bunga di taman seloka…
Demi sang penjaga cinta, kularungkan rasa ini lewat kidung arsua dari sang lelaki yang menjatuhkan airmatanya di atas bumantara.
Demi sang penyelamat segala, dan sang pemantik renjana, kupasrahkan segala luka. Meski sayap-sayapku telah patah, aku percaya, Tuhan masih menyematkan cinta selaksa api, hingga rasa di sebilik hati ini masih terus menyala… 
Layla, masih ingatkah saat pertama kita memadu cinta di bawah hujan bulan Juni? Tentu, bukan sekerat puisi Sapardi Djoko Damono yang akan kupersembahkan untukmu, tapi cinta, cinta yang sebenar nyata hingga bidadari-bidadari surga mencemburuinya.
Tiada yang lebih indah dari ketika aku melihatmu tersenyum, Layla. Karena senyummu sungguh merupa anggur yang memabukan, selaksa candu yang kapan saja dapat mematikan. Namun, kini mengapa engkau bermuram durja?
Layla, jika diammu adalah sebuah amarah yang memang tak pantas untuk kauungkapkan, maka, izinkanlah aku ‘tuk merasai sakit ini bersama rindu yang seringkali membuatku gugu di sepertiga malam yang sunyi.
Seperti seribu malam pada ruas kalender. Ketika rindu tak mampu kupikul sendiri, ingin kugantungkan rasaku pada bulan sabit di langit tertinggi, atau pada bintang-bintang, agar sinarnya mengilhami luka yang menghunjam. Lalu, akan kupersembahkan sekantung do’a agar engkau senantiasa dalam pelukan Tuhan.
Layla, meski tak kupungkiri ada sebait badai saat kau berpaling, namun aku berpasrah dengan segala kealpaan. Karena ketika saat engkau menjauh dan tak mampu kusentuh, bukan tanpa alasan aku ingin mengirimkan sehelai kertas ini sebagai risalah rinduku, atau sebagai jiwa yang mengharapkan putik kenangan.
Aku bukanlah Majnun yang begitu tabah menghadapi badai kerinduan pada Layla-nya tersebab cinta yang mereka tanam terlalu mulia, terlalu istimewa. Aku hanya sehelai daun kering yang patah, ketika terempas angin sekejap saja akan dirundung remuk dan menghilang. Jika sejatinya hidup adalah meninggalkan dan atau ditinggalkan, maka tak ada yang salah jika nyatanya cinta memang harus melepaskan dan atau dilepaskan.
Dan aku, melepaskanmu dengan seribu nyanyian kesetiaan… [*]

2
Jika tak berkebaratan, aku ingin melukis tentangmu; tentang wajah yang bagai kelopak krisan, tentang senyum yang membawaku terbang ke kahyangan, dan tentang semua yang membuat aku tak lagi mampu membedakan mana cinta dan mana kasih sayang… 
Putri Dea Agestasia…
Tepat satu tahun aku mengenalmu. Seorang putri yang cantik, tenang,  penuh misteri, dan tentu saja menarik bagi tiap para lelaki.
Dea, kurasa bukan kebetulan Tuhan telah mempertemukan kita. Karena diyakini atau tidak, dalam sebab-musabab semuanya telah digariskan. Maka, izinkanlah aku untuk menuliskan sepucuk surat untukmu. Setidaknya, karena engkau begitu istimewa di hatiku…
Sulit untuk dijabarkan pada sebongkah tanya mengapa aku begitu mengagumimu? Mungkin karena engkau berbeda, atau lebih tepatnya memesona, hingga rasa yang semakin menghunjam bermetamorfosa menjadi cinta.
Ah, Dea. Tidakkah kau mampu membaca pertanda dari tiap lelakuku yang seringkali salah-tingkah ketika bersitatap denganmu? Atau segurat senyum yang tak lagi dapat ternamai ketika mataku melihatmu dalam waktu yang sesingkat kelebat kilat sekalipun. Untuk hal itu, aku selalu berdo’a agar Tuhan berkenan mempertemukan kita pada kesempatan yang indah, tentunya...
Tak banyak yang ingin kusampaikan pada suratku ini, karena keluguan dan kepolosanmu itu aku ingin engkau tahu, Dea. Terkadang jemariku tak luput ingin mengacak rambut pekatmu yang adalah sebagai bukti kasih-sayang dan cintaku. Tapi akhir-akhir ini, kita tak memiliki cukup waktu untuk bersama, sekalipun terkadang kita bersua, tapi itu hanya sepersekian menit dari waktu yang ada.
Dea, jika boleh memilih, aku ingin bersamamu. Merajut kisah cinta paling indah dari kisah cinta yang pernah ada –Kitab cinta Yusuf Zulaikhah, Siti Nurbaya, Cleopatra, bahkan Laila-Majnun  sekalipun!– Betapa tidak? Engkau adalah wanita bermata do’a dengan wajah kilau cahaya. Laki-laki manapun akan bersetuju, bahwa engkau adalah wanita terbaik yang pantas menjadi pendamping juga ibu bagi anak-anaknya.
Tapi tidak, Dea. Rupanya, kedekatan kita telah menyakiti seseorang yang jauh lebih dulu mencitaimu. Kau tahu, betapa sakitnya melihat seseorang yang kita cintai seringkali berkencan dengan orang lain? Terlebih dia adalah sahabatnya sendiri!
Ya, dia sahabatku, Dea. Sabahat yang tak pernah kuanggap bahwa ia pun telah memiliki rasa yang sama; mencintaimu lebih dari yang aku kira. Dan itu sudah cukup membukakan perisai hatiku yang sempat kasat mata.
Sampai di sini, sepertinya aku (harus) cukup tahu diri. Kencan kita yang berbilang hari, bukanlah tolak-ukur kebersamaan yang abadi. Itu hanya mimpi bagi lelaki nisbi sepertiku; lelaki yang tak pantas mendapatkan cinta suci dari bidadari kirmizi sepertimu.
Dea, maafkan aku karena telah mencitaimu…
Terima kasih engkau pernah hadir mengisi lubuk hatiku dengan putik cintamu. Akan kukenang selalu dalam kidung do’a-doa, dalam bentangan kanvas dari surga yang berlukiskan wajahmu seindah purnama. Putri Dea Agestasia, dari sini aku percaya, bahwa berdo’a adalah cara terbaik untuk jatuh cinta… [*]

3
Aku berlindung dari para kekasih yang melukai…
Kekasih… maukah engkau menemaniku mencari sepotong senja yang hilang? Sejak senja itu meremang, semuanya tak lagi dapat merasakan keindahan senja di segelas cappuccino, atau di semangkuk sub buah di café temaram.
Aku ingin mencarinya dan akan kupersembahkan sepotong senja itu untukmu, Adellea. Agar kaupercaya, bahwa cahayanya yang teramat mengagumkan sempat menjadi perburuan banyak orang.
Dulu sekali, beratus purnama yang lalu, ketika sepotong senja itu masih menjadi milik seorang lelaki bermata sendu, senja itu akan dikirimkan kepada kekasihnya. Namun kautahu, Sayang? Petugas pos yang hendak mengantarkan sepotong senja itu tak pernah menemukan alamatnya. Hingga perlahan, kuning keemasan yang terbungkus di dalam sebuah amplop itu menghilang, dan sampai detik ini, tak ada seorang pun yang tahu di mana senja itu tengah berpulang.
Alina adalah gadisnya yang teramat dicintai, hingga ketika ia menginginkan sepotong senja di segelas cappuccino, Syukab, kekasihnya, dengan setia mengirimkannya. Tapi adalah cerita yang tak terlalu sedap untuk dikenang, Sayang. Karena sejak senja itu menghilang, Alina meninggalkan Syukab dengan tanpa perasaan. Dan aku, tak ingin kisah usang itu berulang. Aku tak ingin menjadi Syukab yang harus menerima kenyataan bahwa luka adalah harga yang setimpal untuk sebuah kenisbian.
Adellea, cerita itu mungkin tak akan sama dan tak akan pernah sama jika saja sepotong senja yang aku cari di segelas cappuccino dan semangkuk sub buah di café temaram dapat aku temukan. Karena seperti kebanyakan wanita, engkau pun menginginkan keindahan guratan merah saga dapat kembali memberikan warna  cinta, atau lebih dari itu, engkau akan merasa menjadi wanita paling istimewa karena mendapatkan sepotong senja yang selama ini dipuja-puja.
Tapi, jalan cerita yang kusangka bahagia harus berakhir sama; rupanya, engkau pun meninggalkanku dengan segenap lara.
Adallea, adakah engkau tak pernah mengerti. Betapa sakitnya dikhianati oleh seseorang yang dicintai? Andai engkau memahami bahwa ‘jatuh cinta adalah cara terbaik untuk bunuh diri’ seperti yang diyakini oleh Bernad Batubara, engkau pasti akan memilih setia, setidaknya tetap memilih bersamaku hingga saatnya kita dapat merasakan indahnya senja di segelas cappuccino dan semangkuk sub buah seperti yang sama-sama kita inginkan, sama-sama kita impikan.
Mengingatnya hatiku belah. Cinta terlalu indah untuk diakhiri dengan perpisahan, dan setia, terlalu sayang untuk dilewati dengan pengkhianatan.
Adellea, sejak kau meninggalkanku di sepotong senja yang muram. Serpihan kenangan itu tiba-tiba saja mengoyak jiwaku. Aku seperti halnya lelaki yang tak pantas untuk dicintai. Bahkan, oleh sepotong senja sekalipun!
Akhirnya, serpihan kenangan itu kini sempurna. Dari bisikan malam paling jelaga, aku mencoba meraba-raba. Bilakah setia harus dibuktikan dengan setangkup kejujuran, maka jujur kukatan, “Aku tak pernah menyesal telah mencintaimu, meski harus merengguk semangkuk darah kematian…” [*]

Al-Ihya ‘Ulumaddin, 20 - 25 Juni 2015*

Muhrodin “AM”*
Lahir di Lampung 23 Februari 1991. Sekarang masih nyantri di Pon-pes Al-Ihya ‘Ulumaddin, Kesugihan 1 Cilacap, Jawa Tengah. Aktif di Buletin INSPIRASI dan Ihya Magazine sejak 2010. Ia bisa diakrabi melalui fb. Muhammad Amirudin / Twitter: MuhrodinAM. J

0 komentar:

Posting Komentar

X-Steel - Link Select

About this blog

Diberdayakan oleh Blogger.