Oleh: Muhrodin “AM”*
1
Kuawali surat ini dengan
menyebut asma-Nya; yang jiwanya adalah cinta, dan setianya adalah bunga-bunga
di taman seloka…
Demi sang penjaga cinta,
kularungkan rasa ini lewat kidung arsua dari sang lelaki yang menjatuhkan
airmatanya di atas bumantara.
Demi sang penyelamat
segala, dan sang pemantik renjana, kupasrahkan segala luka. Meski sayap-sayapku
telah patah, aku percaya, Tuhan masih menyematkan cinta selaksa api, hingga
rasa di sebilik hati ini masih terus menyala…
Layla, masih ingatkah
saat pertama kita memadu cinta di bawah hujan bulan Juni? Tentu, bukan sekerat
puisi Sapardi Djoko Damono yang akan kupersembahkan untukmu, tapi cinta, cinta
yang sebenar nyata hingga bidadari-bidadari surga mencemburuinya.
Tiada yang lebih indah
dari ketika aku melihatmu tersenyum, Layla. Karena senyummu sungguh merupa
anggur yang memabukan, selaksa candu yang kapan saja dapat mematikan. Namun,
kini mengapa engkau bermuram durja?
Layla, jika diammu adalah
sebuah amarah yang memang tak pantas untuk kauungkapkan, maka, izinkanlah aku
‘tuk merasai sakit ini bersama rindu yang seringkali membuatku gugu di
sepertiga malam yang sunyi.
Seperti seribu malam pada
ruas kalender. Ketika rindu tak mampu kupikul sendiri, ingin kugantungkan
rasaku pada bulan sabit di langit tertinggi, atau pada bintang-bintang, agar
sinarnya mengilhami luka yang menghunjam. Lalu, akan kupersembahkan sekantung
do’a agar engkau senantiasa dalam pelukan Tuhan.
Layla, meski tak kupungkiri
ada sebait badai saat kau berpaling, namun aku berpasrah dengan segala
kealpaan. Karena ketika saat engkau menjauh dan tak mampu kusentuh, bukan tanpa
alasan aku ingin mengirimkan sehelai kertas ini sebagai risalah rinduku, atau
sebagai jiwa yang mengharapkan putik kenangan.
Aku bukanlah Majnun yang
begitu tabah menghadapi badai kerinduan pada Layla-nya tersebab cinta yang
mereka tanam terlalu mulia, terlalu istimewa. Aku hanya sehelai daun kering
yang patah, ketika terempas angin sekejap saja akan dirundung remuk dan
menghilang. Jika sejatinya hidup adalah meninggalkan dan atau ditinggalkan,
maka tak ada yang salah jika nyatanya cinta memang harus
melepaskan dan atau dilepaskan.
Dan aku, melepaskanmu
dengan seribu nyanyian kesetiaan… [*]
2
Jika tak berkebaratan,
aku ingin melukis tentangmu; tentang wajah yang bagai kelopak krisan, tentang
senyum yang membawaku terbang ke kahyangan, dan tentang semua yang membuat aku
tak lagi mampu membedakan mana cinta dan mana kasih sayang…
Putri Dea Agestasia…
Tepat satu tahun aku
mengenalmu. Seorang putri yang cantik, tenang, penuh misteri, dan tentu saja menarik bagi tiap
para lelaki.
Dea, kurasa bukan kebetulan
Tuhan telah mempertemukan kita. Karena diyakini atau tidak, dalam sebab-musabab
semuanya telah digariskan. Maka, izinkanlah aku untuk menuliskan sepucuk surat
untukmu. Setidaknya, karena engkau begitu istimewa di hatiku…
Sulit untuk dijabarkan
pada sebongkah tanya mengapa aku begitu mengagumimu? Mungkin karena engkau
berbeda, atau lebih tepatnya memesona, hingga rasa yang semakin menghunjam bermetamorfosa
menjadi cinta.
Ah, Dea. Tidakkah kau
mampu membaca pertanda dari tiap lelakuku yang seringkali salah-tingkah ketika
bersitatap denganmu? Atau segurat senyum yang tak lagi dapat ternamai ketika
mataku melihatmu dalam waktu yang sesingkat kelebat kilat sekalipun. Untuk hal
itu, aku selalu berdo’a agar Tuhan berkenan mempertemukan kita pada kesempatan
yang indah, tentunya...
Tak banyak yang ingin
kusampaikan pada suratku ini, karena keluguan dan kepolosanmu itu aku ingin
engkau tahu, Dea. Terkadang jemariku tak luput ingin mengacak rambut pekatmu
yang adalah sebagai bukti kasih-sayang dan cintaku. Tapi akhir-akhir ini, kita
tak memiliki cukup waktu untuk bersama, sekalipun terkadang kita bersua, tapi
itu hanya sepersekian menit dari waktu yang ada.
Dea, jika boleh memilih, aku
ingin bersamamu. Merajut kisah cinta paling indah dari kisah cinta yang pernah
ada –Kitab cinta Yusuf Zulaikhah, Siti Nurbaya, Cleopatra, bahkan Laila-Majnun sekalipun!– Betapa tidak? Engkau adalah
wanita bermata do’a dengan wajah kilau cahaya. Laki-laki manapun akan bersetuju,
bahwa engkau adalah wanita terbaik yang pantas menjadi pendamping juga ibu bagi
anak-anaknya.
Tapi tidak, Dea. Rupanya,
kedekatan kita telah menyakiti seseorang yang jauh lebih dulu mencitaimu. Kau
tahu, betapa sakitnya melihat seseorang yang kita cintai seringkali berkencan
dengan orang lain? Terlebih dia adalah sahabatnya sendiri!
Ya, dia sahabatku, Dea.
Sabahat yang tak pernah kuanggap bahwa ia pun telah memiliki rasa yang sama;
mencintaimu lebih dari yang aku kira. Dan itu sudah cukup membukakan perisai
hatiku yang sempat kasat mata.
Sampai di sini,
sepertinya aku (harus) cukup tahu diri. Kencan kita yang berbilang hari,
bukanlah tolak-ukur kebersamaan yang abadi. Itu hanya mimpi bagi lelaki nisbi
sepertiku; lelaki yang tak pantas mendapatkan cinta suci dari bidadari kirmizi sepertimu.
Dea, maafkan aku karena
telah mencitaimu…
Terima kasih engkau
pernah hadir mengisi lubuk hatiku dengan putik cintamu. Akan kukenang selalu
dalam kidung do’a-doa, dalam bentangan kanvas dari surga yang berlukiskan
wajahmu seindah purnama. Putri Dea Agestasia, dari sini aku percaya, bahwa berdo’a
adalah cara terbaik untuk jatuh cinta… [*]
3
Aku berlindung dari para
kekasih yang melukai…
Kekasih… maukah engkau
menemaniku mencari sepotong senja yang hilang? Sejak senja itu meremang,
semuanya tak lagi dapat merasakan keindahan senja di segelas cappuccino, atau
di semangkuk sub buah di café temaram.
Aku ingin mencarinya dan
akan kupersembahkan sepotong senja itu untukmu, Adellea. Agar kaupercaya, bahwa
cahayanya yang teramat mengagumkan sempat menjadi perburuan banyak orang.
Dulu sekali, beratus
purnama yang lalu, ketika sepotong senja itu masih menjadi milik seorang lelaki
bermata sendu, senja itu akan dikirimkan kepada kekasihnya. Namun kautahu, Sayang?
Petugas pos yang hendak mengantarkan sepotong senja itu tak pernah menemukan
alamatnya. Hingga perlahan, kuning keemasan yang terbungkus di dalam sebuah
amplop itu menghilang, dan sampai detik ini, tak ada seorang pun yang tahu di
mana senja itu tengah berpulang.
Alina adalah gadisnya
yang teramat dicintai, hingga ketika ia menginginkan sepotong senja di segelas
cappuccino, Syukab, kekasihnya, dengan setia mengirimkannya. Tapi adalah cerita
yang tak terlalu sedap untuk dikenang, Sayang. Karena sejak senja itu
menghilang, Alina meninggalkan Syukab dengan tanpa perasaan. Dan aku, tak ingin
kisah usang itu berulang. Aku tak ingin menjadi Syukab yang harus menerima
kenyataan bahwa luka adalah harga yang setimpal untuk sebuah kenisbian.
Adellea, cerita itu
mungkin tak akan sama dan tak akan pernah sama jika saja sepotong senja yang
aku cari di segelas cappuccino dan semangkuk sub buah di café temaram dapat aku
temukan. Karena seperti kebanyakan wanita, engkau pun menginginkan keindahan
guratan merah saga dapat kembali memberikan warna cinta, atau lebih dari itu, engkau akan
merasa menjadi wanita paling istimewa karena mendapatkan sepotong senja yang
selama ini dipuja-puja.
Tapi, jalan cerita yang
kusangka bahagia harus berakhir sama; rupanya, engkau pun meninggalkanku dengan
segenap lara.
Adallea, adakah engkau
tak pernah mengerti. Betapa sakitnya dikhianati oleh seseorang yang dicintai?
Andai engkau memahami bahwa ‘jatuh cinta adalah cara terbaik untuk bunuh diri’
seperti yang diyakini oleh Bernad Batubara, engkau pasti akan memilih setia,
setidaknya tetap memilih bersamaku hingga saatnya kita dapat merasakan indahnya
senja di segelas cappuccino dan semangkuk sub buah seperti yang sama-sama kita
inginkan, sama-sama kita impikan.
Mengingatnya hatiku
belah. Cinta terlalu indah untuk diakhiri dengan perpisahan, dan setia, terlalu
sayang untuk dilewati dengan pengkhianatan.
Adellea, sejak kau
meninggalkanku di sepotong senja yang muram. Serpihan kenangan itu tiba-tiba
saja mengoyak jiwaku. Aku seperti halnya lelaki yang tak pantas untuk dicintai.
Bahkan, oleh sepotong senja sekalipun!
Akhirnya, serpihan
kenangan itu kini sempurna. Dari bisikan malam paling jelaga, aku mencoba
meraba-raba. Bilakah setia harus dibuktikan dengan setangkup kejujuran, maka
jujur kukatan, “Aku tak pernah menyesal telah mencintaimu, meski harus merengguk
semangkuk darah kematian…” [*]
Al-Ihya
‘Ulumaddin, 20 - 25 Juni 2015*
Muhrodin “AM”*
Lahir di Lampung 23 Februari 1991. Sekarang masih nyantri di
Pon-pes Al-Ihya ‘Ulumaddin, Kesugihan 1 Cilacap, Jawa Tengah. Aktif di Buletin
INSPIRASI dan Ihya Magazine sejak 2010. Ia bisa
diakrabi melalui fb. Muhammad Amirudin / Twitter: MuhrodinAM. J
0 komentar:
Posting Komentar