Penyihir Aksara (Malaikat Salju)

Do'a Kalimat Pena By. Muhrodin "AM"

15
Agustus


By. Muhrodin “AM”*
***
ADALAH cinta, yang tercipta dari serpihan bunga-bunga…
      Layla, gadis sendu bermata ungu, mencintai lelaki yang menjadi dambaan tiap wanita; lelaki paling dipuja, lelaki paling idola di seantero sekolah SMA 123 Sumatera. Adalah Rama yang telah banyak melukai hati para wanita.
Layla hanya mampu menatap Rama dengan mata nanar, ketika teman-teman di sekolahnya bahkan di kelasnya dicampakkan begitu saja.
Seperti mampu merasakan luka di ulu hatinya, sakit yang tiada terkira karena Rama begitu mudahnya memutuskan ikatan cinta. Rasa kekaguman itu mulai luruh, ketika Vira, teman sebangkunya menjadi korban akan kebengisan cinta Rama. Rasanya, sakit itu ikut merajai ke dalam lubuk hati yang sebelumnya pernah melukiskan pelangi untuk cinta.
Menurut sebagian siswa di sekolahnya, Rama adalah sosok laki-laki yang nyaris tanpa cela. Wajahnya yang tampan bagai Arjuna, jago pelajaran eksakta, dan juga penuh dengan sederet prestasi ekskul di Sekolahnya. Sayang, semua itu ternyata mampu mencipta sebongkah keangkuhan pada separuh hatinya.
Seperti sengaja, sesiapa wanita yang menurutnya seksi, akan menjadi korban atas keegoisanya. Ia akan bermain kata-kata dengan segala rayuan gombalnya, hingga mangsanya dengan sekelebat kilat akan terperangkap dalam jerat cintanya.
Sejak pertama Rama duduk di bangku kelas X hingga naik di kelas XII, terhitung sudah dua belas siswa yang hatinya tergores luka. Yeah, siapa pun pasti mengenalnya. Entah menyimpan cinta, atau bahkan karena memendam rasa kebencian terhadap cowok tampan namun berhati bajingan.
Saat itu, Layla hendak ke perpustakaan, sebelum akhirnya langkahnya terhenti, ketika tiba-tiba namanya dipanggil oleh seseorang yang suaranya sudah begitu familiar di telinganya; dialah Rama, sang idola berhati serigala.
“Layla…,” dari kejauhan, benar-benar suara itu terdengar bagaikan aliran air terjun yang menghanyutkan.
“Iya, ada apa?” Layla bertanya dengan hati kebat-kebit.
“Nggak, nggak ada apa-apa kok. Cuma ingin menemani kamu ke perpus.” Rama menjawab sambil garuk-garuk kepalanya yang tak gatal.
“Owh.” Hanya kata itulah yang keluar dari bibir manis Layla
“Boleh nggak?” Tanya Rama penuh pengharapan.
“Apa?” Layla malah balik bertanya dengan rasa tanpa dosa.
“Aku temani kamu ke perpus.” Rama menjawab polos, tentu saja dengan iringan senyuman mautnya.
“Oh, iya, silahkan.” Jawab Layla datar, hingga akhirnya mereka berjalan beriringan menuju perpustakaan
Layla tengah asik dengan novelnya, duduk manis di bangku baca yang tersedia di samping rak buku. Sedangkan Rama tak bisa menyembunyikan rasa ‘BT’-nya karena harus dikacangin sama cewek yang niatnya mau ditemenin. Setelah bunyi bel masuk, akhirnya mereka buru-buru bergegas kembali menuju kelasnya.
“Habis dari mana?” Tanya Icha setelah Layla duduk tepat di belakangnya.
“Dari perpus.” Jawabnya santai
“Sama Rama?” Icha penasaran
“Iya, kenapa? Nggak boleh?” Layla mulai pasang muka sewot
“Hmm… boleh, kok.” Akhirnya Icha hanya mendesah dan  tersenyum garing.
***
Keesokan harinya, sekolah dibuat gempar.
Syahdan, Rama kecelakaan dan sekarang dirawat di Rumah Sakit Permata. Seisi sekolah banyak yang mewartakan Rama yang kecelakaan dan sedang dalam keadan koma. Kelasnya Rama; Layla, Ira, Icha, dan kawan-kawannya, menjenguk untuk melihat keadaan Rama.
 “Gimana keadaan Rama, Tante.” Tanya Layla kepada ibu Rama ketika mereka telah sampai di ruang tunggu.
“Rama masih diopname, luka dikepalanya cukup serius, hingga dokter belum bisa memastikan kapan Rama akan siuman. Do’akan saja, semoga tidak terjadi apa-apa.” Dengan  derai airmata orangtua Rama menjawabnya, dan terlihat tak henti-hentinya mereka menguntai do’a untuk kesembuhan anak semata wayangnya.
“Tante yang sabar, ya. Kita semua juga mendo’akan untuk kesembuhan Rama.” Teman-temannya mengamini kata-kata Layla.
Berbilang waktu, detik-detik Ujian akan segera tiba, tapi Rama belum juga berangkat ke sekolahnya. Menurut berita yang beredar, Rama masih trauma, pikirannya belum dapat stabil, hingga terkadang Rama masih sering mengigau.
Baru ketika pelaksanaan UN, Rama berangkat ke sekolah. Sebagian kelas XII memandanginya dengan rasa iba, mereka mengkhawatirkan akan hasil ujian nasionalnya. Karena sudah terlalu lama ia tertinggal pelajaran.
Namun ada satu perubahan yang lebih menjadi perhatian siswa-siswi SMA 123,  Rama yang sekarang tidaklah seperti Rama yang dulu; sok jagoan, sok kecakepan, dan sok-sok lainnya yang membuat Rama -diam-diam- selain dipuja juga dibenci oleh teman-temannya.
Sekarang Rama menjadi sesosok yang sangat pendiam. Tidak akan menyapa jika tidak disapa sebelumnya. Ia benar-benar telah berubah 180 derajat. Hingga sebagian teman-temannya, yang dulu sempat muak dan ilfeel dengannya, kini mulai menaruh rasa simpati. Termasuk Layla, yang mengagumi sosok Rama dalam diam, sejak kejadian di perpustakaan itu, dan terlebih setelah kecelakaan Rama… rasa kagum itu (kembali) hadir mendera hati Layla, hingga saat ini rasa itu kian membuncah, ketika Rama benar-benar telah berubah.
Setelah Ujian Nasional, Layla dan Rama sering bersua; entah di kantin biru, di perpustakaan, atau di took buku tempat Layla berburu novel terbaru.
Layla begitu bahagia, bisa berbalas senyum setiap hari dan dekat dengan seseorang yang telah lama dikaguminya. Hari-hari sebelum mereka lulus dari sekolahnya, selalu saja mereka lalui dengan mencipta kenangan yang tak akan pernah terlupakan.
Seperti kala itu, ketika SMA 123 mengadakan perpisahan di sebuah pendakian di bukit barisan. Meski mulanya Rama tak diperbolehkan ikut oleh orangtuanya, namun setelah meyakinkan orangtuanya dengan kata-kata Rama yang menjanjikan kalau ia akan baik-baik saja, akhirnya orangtua Rama pun mengizinkannya.
***
Kini tibalah saat yang bahagia, karena seluruh siswa SMA 123 Sumatera lulus tak bersisa. Juga, saat yang menyedihkan bagi mereka, karena cepat atau lambat mereka akan berpisah demi cita-cita.
Usai acara perpisahan, Rama berjalan mendekati Layla.
“Layla, sebelum kita berpisah nanti, aku ingin bilang sesuatu sama kamu.” Kata Rama dengan nada sedikit gagu, hingga membuat Layla harus menahan detak jantungnya yang mulai memburu.
“Sejak lama, Aku mencintaimu, Layla. Namun aku terlalu malu untuk mengutarakannya, karena keegoisan dan keangkuhanku telah membuat diriku menjadi orang yang dipandang buruk oleh semua.”
Layla benar-benar salah tingkah demi mendengarkan pengkuan Rama, dan ia tidak tahu harus berkata apa? Bahagia yang tiada tara telah tercipta merasuki relung hatinya.
“Maukah kamu menjadi kekasihku?” Kata-kata Rama seperti mengalir begitu saja, membuat Layla harus terdiam tanpa kata.
“Layla, maukah kamu menjadi kekasihku?” Sekali lagi Rama mengutaran segenap perasaannya.
“Aku bahagia, Rama…” Ada binar kebahagiaan yang terselip di bola mata dan senyum indah Layla.
“Aku pun sudah sejak lama mengagumimu, Rama… hanya aku juga terlalu naif untuk mengakui akan hal itu, karena aku hanya mampu mengagumimu dalam diamku.” Kata-katanya begitu deras mengalir bak air terjun Niagara, dan binar itu, menciptakan sabit di lengkung bibir manisnya.
“Jadi kamu mau ‘kan, Layla?.” Rama tak sabar untuk mendengar jawabannya.
“Iya, aku mau menjadi kekasihmu, Rama.” Jawabnya dengan sedikit rona merah di putih pipinya.
Rama pun segera memeluk Layla, kebahagiaan itu menyeruak ke dalam telaga hatinya. Hingga dunia, seolah hanya milik mereka berdua.

Muhrodin “AM”*

Lahir di Lampung 23 Februari 1991. Sekarang masih nyantri di Pon-pes Al-Ihya ‘Ulumaddin, Kesugihan 1 Cilacap, Jawa Tengah. Aktif di Buletin INSPIRASI dan Ihya Magazine sejak 2010. Buku puisi terbarunya ‘Tadarus Kerinduan’ terbit pada April 2015. Ia bisa diakrabi melalui fb. Muhammad Amirudin / Twitter @MuhrodinAM.

0 komentar:

Posting Komentar

X-Steel - Link Select

About this blog

Diberdayakan oleh Blogger.