By. Muhrodin “AM”*
***
ADALAH cinta, yang tercipta dari serpihan bunga-bunga…
Layla, gadis sendu
bermata ungu, mencintai lelaki yang menjadi dambaan tiap wanita; lelaki paling
dipuja, lelaki paling idola di seantero sekolah SMA 123 Sumatera. Adalah Rama
yang telah banyak melukai hati para wanita.
Layla hanya mampu menatap
Rama dengan mata nanar, ketika teman-teman di sekolahnya bahkan di kelasnya
dicampakkan begitu saja.
Seperti mampu merasakan
luka di ulu hatinya, sakit yang tiada terkira karena Rama begitu mudahnya
memutuskan ikatan cinta. Rasa kekaguman itu mulai luruh, ketika Vira, teman
sebangkunya menjadi korban akan kebengisan cinta Rama. Rasanya, sakit itu ikut
merajai ke dalam lubuk hati yang sebelumnya pernah melukiskan pelangi untuk
cinta.
Menurut sebagian siswa di
sekolahnya, Rama adalah sosok laki-laki yang nyaris tanpa cela. Wajahnya yang
tampan bagai Arjuna, jago pelajaran eksakta, dan juga penuh dengan sederet
prestasi ekskul di Sekolahnya. Sayang, semua itu ternyata mampu mencipta
sebongkah keangkuhan pada separuh hatinya.
Seperti sengaja, sesiapa
wanita yang menurutnya seksi, akan menjadi korban atas keegoisanya. Ia akan bermain
kata-kata dengan segala rayuan gombalnya, hingga mangsanya dengan sekelebat
kilat akan terperangkap dalam jerat cintanya.
Sejak pertama Rama duduk
di bangku kelas X hingga naik di kelas XII, terhitung sudah dua belas siswa
yang hatinya tergores luka. Yeah, siapa pun pasti mengenalnya. Entah menyimpan
cinta, atau bahkan karena memendam rasa kebencian terhadap cowok tampan namun
berhati bajingan.
Saat itu, Layla hendak ke
perpustakaan, sebelum akhirnya langkahnya terhenti, ketika tiba-tiba namanya
dipanggil oleh seseorang yang suaranya sudah begitu familiar di telinganya; dialah
Rama, sang idola berhati serigala.
“Layla…,” dari kejauhan, benar-benar
suara itu terdengar bagaikan aliran air terjun yang menghanyutkan.
“Iya, ada apa?” Layla
bertanya dengan hati kebat-kebit.
“Nggak, nggak ada apa-apa
kok. Cuma ingin menemani kamu ke perpus.” Rama menjawab sambil garuk-garuk
kepalanya yang tak gatal.
“Owh.” Hanya kata itulah
yang keluar dari bibir manis Layla
“Boleh nggak?” Tanya Rama
penuh pengharapan.
“Apa?” Layla malah balik
bertanya dengan rasa tanpa dosa.
“Aku temani kamu ke perpus.”
Rama menjawab polos, tentu saja dengan iringan senyuman mautnya.
“Oh, iya, silahkan.” Jawab
Layla datar, hingga akhirnya mereka berjalan beriringan menuju perpustakaan
Layla tengah asik dengan
novelnya, duduk manis di bangku baca yang tersedia di samping rak buku.
Sedangkan Rama tak bisa menyembunyikan rasa ‘BT’-nya karena harus dikacangin sama
cewek yang niatnya mau ditemenin. Setelah bunyi bel masuk, akhirnya mereka
buru-buru bergegas kembali menuju kelasnya.
“Habis dari mana?” Tanya
Icha setelah Layla duduk tepat di belakangnya.
“Dari perpus.” Jawabnya
santai
“Sama Rama?” Icha
penasaran
“Iya, kenapa? Nggak
boleh?” Layla mulai pasang muka sewot
“Hmm… boleh, kok.”
Akhirnya Icha hanya mendesah dan
tersenyum garing.
***
Keesokan harinya, sekolah
dibuat gempar.
Syahdan, Rama kecelakaan
dan sekarang dirawat di Rumah Sakit Permata. Seisi sekolah banyak yang
mewartakan Rama yang kecelakaan dan sedang dalam keadan koma. Kelasnya Rama; Layla,
Ira, Icha, dan kawan-kawannya, menjenguk untuk melihat keadaan Rama.
“Gimana keadaan Rama, Tante.” Tanya Layla kepada
ibu Rama ketika mereka telah sampai di ruang tunggu.
“Rama masih diopname,
luka dikepalanya cukup serius, hingga dokter belum bisa memastikan kapan Rama
akan siuman. Do’akan saja, semoga tidak terjadi apa-apa.” Dengan derai airmata orangtua Rama menjawabnya, dan
terlihat tak henti-hentinya mereka menguntai do’a untuk kesembuhan anak semata
wayangnya.
“Tante yang sabar, ya.
Kita semua juga mendo’akan untuk kesembuhan Rama.” Teman-temannya mengamini
kata-kata Layla.
Berbilang waktu, detik-detik
Ujian akan segera tiba, tapi Rama belum juga berangkat ke sekolahnya. Menurut
berita yang beredar, Rama masih trauma, pikirannya belum dapat stabil, hingga
terkadang Rama masih sering mengigau.
Baru ketika pelaksanaan
UN, Rama berangkat ke sekolah. Sebagian kelas XII memandanginya dengan rasa
iba, mereka mengkhawatirkan akan hasil ujian nasionalnya. Karena sudah terlalu
lama ia tertinggal pelajaran.
Namun ada satu perubahan
yang lebih menjadi perhatian siswa-siswi SMA 123, Rama yang sekarang tidaklah seperti Rama yang
dulu; sok jagoan, sok kecakepan, dan sok-sok lainnya yang membuat Rama -diam-diam-
selain dipuja juga dibenci oleh teman-temannya.
Sekarang Rama menjadi
sesosok yang sangat pendiam. Tidak akan menyapa jika tidak disapa sebelumnya.
Ia benar-benar telah berubah 180 derajat. Hingga sebagian teman-temannya, yang
dulu sempat muak dan ilfeel dengannya, kini mulai menaruh rasa simpati. Termasuk
Layla, yang mengagumi sosok Rama dalam diam, sejak kejadian di perpustakaan
itu, dan terlebih setelah kecelakaan Rama… rasa kagum itu (kembali) hadir
mendera hati Layla, hingga saat ini rasa itu kian membuncah, ketika Rama
benar-benar telah berubah.
Setelah Ujian Nasional,
Layla dan Rama sering bersua; entah di kantin biru, di perpustakaan, atau di
took buku tempat Layla berburu novel terbaru.
Layla begitu bahagia,
bisa berbalas senyum setiap hari dan dekat dengan seseorang yang telah lama
dikaguminya. Hari-hari sebelum mereka lulus dari sekolahnya, selalu saja mereka
lalui dengan mencipta kenangan yang tak akan pernah terlupakan.
Seperti kala itu, ketika
SMA 123 mengadakan perpisahan di sebuah pendakian di bukit barisan. Meski
mulanya Rama tak diperbolehkan ikut oleh orangtuanya, namun setelah meyakinkan
orangtuanya dengan kata-kata Rama yang menjanjikan kalau ia akan baik-baik
saja, akhirnya orangtua Rama pun mengizinkannya.
***
Kini tibalah saat yang bahagia,
karena seluruh siswa SMA 123 Sumatera lulus tak bersisa. Juga, saat yang
menyedihkan bagi mereka, karena cepat atau lambat mereka akan berpisah demi cita-cita.
Usai acara perpisahan,
Rama berjalan mendekati Layla.
“Layla, sebelum kita
berpisah nanti, aku ingin bilang sesuatu sama kamu.” Kata Rama dengan nada
sedikit gagu, hingga membuat Layla harus menahan detak jantungnya yang mulai
memburu.
“Sejak lama, Aku
mencintaimu, Layla. Namun aku terlalu malu untuk mengutarakannya, karena
keegoisan dan keangkuhanku telah membuat diriku menjadi orang yang dipandang
buruk oleh semua.”
Layla benar-benar salah
tingkah demi mendengarkan pengkuan Rama, dan ia tidak tahu harus berkata apa?
Bahagia yang tiada tara telah tercipta merasuki relung hatinya.
“Maukah kamu menjadi
kekasihku?” Kata-kata Rama seperti mengalir begitu saja, membuat Layla harus
terdiam tanpa kata.
“Layla, maukah kamu
menjadi kekasihku?” Sekali lagi Rama mengutaran segenap perasaannya.
“Aku bahagia, Rama…” Ada
binar kebahagiaan yang terselip di bola mata dan senyum indah Layla.
“Aku pun sudah sejak lama
mengagumimu, Rama… hanya aku juga terlalu naif untuk mengakui akan hal itu,
karena aku hanya mampu mengagumimu dalam diamku.” Kata-katanya begitu deras
mengalir bak air terjun Niagara, dan binar itu, menciptakan sabit di lengkung
bibir manisnya.
“Jadi kamu mau ‘kan,
Layla?.” Rama tak sabar untuk mendengar jawabannya.
“Iya, aku mau menjadi kekasihmu,
Rama.” Jawabnya dengan sedikit rona merah di putih pipinya.
Rama pun segera memeluk Layla,
kebahagiaan itu menyeruak ke dalam telaga hatinya. Hingga dunia, seolah hanya
milik mereka berdua.
Muhrodin “AM”*
Lahir di Lampung 23 Februari 1991. Sekarang masih nyantri di
Pon-pes Al-Ihya ‘Ulumaddin, Kesugihan 1 Cilacap, Jawa Tengah. Aktif di Buletin
INSPIRASI dan Ihya Magazine sejak 2010. Buku puisi terbarunya ‘Tadarus Kerinduan’
terbit pada April 2015. Ia bisa diakrabi melalui fb. Muhammad Amirudin /
Twitter @MuhrodinAM.
0 komentar:
Posting Komentar