By. Muhrodin
“AM”*
Hidup
terlalu indah untuk dilukai dengan permusuhan.
Dan
Ramadhan, terlalu mulia untuk dinodai dengan pertikaian...
Aku
merenungi segala apa yang disampaikan oleh dewan kyai sebelum hari benar-benar sepi
dari hiruk-pikuk para santri. Dan suara ‘saur-saur’ dengan instrument gayung serta
ember pecah mungkin jua tak akan terdengar lagi. Tapi, gemuruh di sebilik hati
ini masih saja buncah tersebab api yang telah aku nyalakan dengan segelas wisky.
Sahabat,
jika khilaf adalah harga paling setimpal untuk sebuah permusuhan, lalu di
manakah letak rasa saling memaafkan untuk sebuah kedamaian? Mengingat itu
hatiku belah. Ada sebait badai yang kerapkali menghantam jiwaku.
Ini sudah
Ramadhan yang kelima belas, antara aku dengannya masih saja belum bertegur
sapa. Andai waktu itu aku tak serta-merta membantah kata-katanya, mungkin jalan
ceritanya akan sangat berbeda,
“Sini, iuran
untuk bayar listrik.” Pintanya kala itu.
“Iya, komplek
atas juga dimintai, jangan nggak dianggap.” Semburku.
“Siapa yang
nggak dianggap? Hah?” kata-katanya merupa api.
Aku bungkam.
Kusadari ada yang salah dengan lelakuku. Sejak kepulanganku tiga hari lalu, aku
tak mengerti jika komplek atas telah membuat satir dengan komplek bawah.
Akhirnya
kupahami, sejak dibangun komplek atas yang baru, Ashabul Kahfi benar-benar telah
berbeda kubu.
Sahabat, ini
sudah malam Muwada’ah, masihkah kita enggan untuk saling memaafkan? []
Al-Ihya
‘Ulumaddin, 03 Juli 2015*
0 komentar:
Posting Komentar