Penyihir Aksara (Malaikat Salju)

Do'a Kalimat Pena By. Muhrodin "AM"

15
Agustus

By. Muhrodin “AM”*

Hidup terlalu indah untuk dilukai dengan permusuhan.
Dan Ramadhan, terlalu mulia untuk dinodai dengan pertikaian...

Aku merenungi segala apa yang disampaikan oleh dewan kyai sebelum hari benar-benar sepi dari hiruk-pikuk para santri. Dan suara ‘saur-saur’ dengan instrument gayung serta ember pecah mungkin jua tak akan terdengar lagi. Tapi, gemuruh di sebilik hati ini masih saja buncah tersebab api yang telah aku nyalakan dengan segelas wisky.
Sahabat, jika khilaf adalah harga paling setimpal untuk sebuah permusuhan, lalu di manakah letak rasa saling memaafkan untuk sebuah kedamaian? Mengingat itu hatiku belah. Ada sebait badai yang kerapkali menghantam jiwaku.
Ini sudah Ramadhan yang kelima belas, antara aku dengannya masih saja belum bertegur sapa. Andai waktu itu aku tak serta-merta membantah kata-katanya, mungkin jalan ceritanya akan sangat berbeda,
“Sini, iuran untuk bayar listrik.” Pintanya kala itu.
“Iya, komplek atas juga dimintai, jangan nggak dianggap.” Semburku.
“Siapa yang nggak dianggap? Hah?” kata-katanya merupa api.
Aku bungkam. Kusadari ada yang salah dengan lelakuku. Sejak kepulanganku tiga hari lalu, aku tak mengerti jika komplek atas telah membuat satir dengan komplek bawah.
Akhirnya kupahami, sejak dibangun komplek atas yang baru, Ashabul Kahfi benar-benar telah berbeda kubu.
Sahabat, ini sudah malam Muwada’ah, masihkah kita enggan untuk saling memaafkan? []



Al-Ihya ‘Ulumaddin, 03 Juli 2015*

0 komentar:

Posting Komentar

X-Steel - Link Select

About this blog

Diberdayakan oleh Blogger.