Oleh: Muhrodin “AM”*
Telah kita ketahui bersama, bahwa Pesantren adalah lembaga
pendidikan Islam tertua di Indonesia. Dari Pesantren, para ulama, kyai, dan para
asatidz di berbagai tingkatan lembaga formal maupun non formal telah menjadi
bukti riil bahwa keberdaan pesantren amatlah berjasa, khususnya di
Negara yang bernama Indonesia.
Begitu pula visi dan
misi di Pondok pesantren Al-Ihya ‘Ulumaddin, Kesugihan 1, Cilacap, Pondok
pesantren yang diasuh oleh KH. Suhud Muchson, Lc, M.H, KH. Imdadurrohman
al-Ubudi, KH. Charir Mucharir, S.H, M.Pd.I, yang tak lain adalah untuk mencetak
generasi berakhlakul karimah, menciptakan masyarakat Islami, menyediakan bekal
keterampilan serta pengetahuan umum yang memadai.
Pondok pesantren
Al-Ihya ‘Ulumaddin selain mengajarkan ketauhidan, ilmu fiqih, kitab kuning (Nahwu-Shorof)
dan ilmu-ilmu yang lain, juga telah menyediakan berbagai keterampilan bagi
santrinya sebagai wahana belajar
mandiri, dalam hal ini, di bidang ekonomi.
Bank Sampah, misalnya.
Meski baru empat tahun berdiri, dengan berbagai macam kendala dalam
perjalanannnya telah memiliki aset cukup banyak dari kreasi para santri, selain
sampah plastik yang disulam menjadi karangan bunga, baru-baru ini juga telah dicetak
paving blok dari limbah plastik yang dipanaskan dengan dicampur oli. Bahkan di
bulan November ini, Bank Sampah Al-Ihya akan mengikutsertakan karya seninya
berupa Vas Bunga yang terbuat dari kain perca di acara pameran yang akan
digelar di Kabupaten Cilacap. Jika pihak Bank Sampah lebih tekun dalam
mengelola setiap limbah yang ada di pesantren, bukan tidak mungkin akan
tercipta karya-karya lain, yang barangkali belum pernah terpikirkan sebelumnya.
Dewasa ini, Bank
Sampah memang sudah marak di berbagai kalangan masyarakat yang memang peduli
dengan kebersihan lingkungan juga manfaat limbah yang kadang masih sering
terabaikan. Padahal, jika kita mau bergerak sedikit saja (khusunya di
pesantren-pesantren) peduli akan limbah di sekitar, kita bisa menabung untuk menunjang
keperluan Pesantren, juga keperluan yang lainnya.
Di tahun ajaran
ini, Pondok pesantren Al-Ihya memang sedang gencar-gencarnya pemilahan sampah
demi kebersihan dan keindahan pesantren. Terinspirasi dari Pondok Pesantren
Darul Muttaqin, Bogor, yang berhasil mendapat penghargaan sebagai pesantren
terbersih se-Indonesia, Pengasuh dan Dewan Kyai bersama-sama menghimbau kepada
para pengurus serta seluruh santri untuk mensukseskan program tersebut lewat
Bank Sampah.
Al-Ihya
‘Ulumaddin, di atas tanah kurang lebih 4 Hektar, dan santri yang berjumlah 1200
lebih (Putra dan Putri) sangat tepat jika program pengembangan lebih
ditingkatkan. Kita lihat, perkebunan Al-Ihya yang sangat luas, akan sayang
sekali jika hanya teronggok tak terurus lagi. Jika dulu sempat ada ternak
unggas dan sapi yang gagal, juga perkebunan sayur-sayuran yang hanya seumuran
jagung, kita kelola lagi dengan sebaik-baiknya. Mulai dari pengolahan tanah
sampai dengan sayur-sayuran serta umbi-umbian yang bisa dikonsumsi Pesantren
tanpa harus belanja setiap hari untuk keperluan makan santri.
Ambil contoh saja,
jika perkebunan yang sangat luas itu digunakan untuk bercocok tanam
sayur-sayuran, misal, terong, buncis, kacang-kacangan, gambas, kangkung, pare,
cabe, dan lain sebagainya, betapa melimpahnya hasil kebun yang bisa dipanen
setiap minggu atau bahkan setiap harinya. Jadi, Al-Ihya tidak perlu lagi
belanja sayur-sayuran, karena kebutuhan santri sudah tersedia di kebun milik
sendiri. Pengeluaran pesantren akan lebih terminimalisir dengan adanya perkebunan
yang subur dan berkembang.
Kenapa sampai
sekarang belum bisa mencapai perekonomian yang maksimal? Khususnya di bagian
pertanian, bahkan stagnan, berhenti di tempat tanpa adanya kemajuan sedikit
pun? Barangkali inilah yang menjadi PR kita bersama. Bahwa di Pesantren Al-Ihya
‘Ulumaddin, dengan fasilitas yang cukup memadai bahkan bisa dibilang melimpah,
namun masih jauh dari pencapaian perekonomian yang baik.
Jika pengurus
pertanian dengan didukung para santri, bukan tidak mungkin perkebunan milik
pesantren akan subur dan dapat memberikan kontribusi lebih di bagian makanan
pokok santri. Lalu, pesantren pun bisa menyisihkan hasil kebunnya setiap panen
untuk tabungan masa depan, lebih dari itu, hasilnya bisa digunakan sebagai
pembangunan pesantren.
Ternak Unggas
dan Budidaya Ikan Lele
Selain perkebunan,
di belahan bumi Al-Ihya yang lain, memiliki kawasan strategis untuk ternak
unggas dan budidaya ikan lele. Dahulu, pengurus bagian pertanian merangkap
mengelola ternak ayam dan sapi, barangkali karena tenaga kerjanya yang hanya
sedikit sehingga mengakibatkan yang sudah dirancang dan dikelola menjadi
terhambat bahkan berhenti sama sekali. Bagaimana penanganan selanjutnya agar
ternak unggas dan budidaya ikan lele bisa dikembangkan? Yang pertama, harus ada
pengurus yang benar-benar berkompeten di bagiannya, setidaknya sedikit banyak
tahu bagaimana cara beternak unggas, dan budidaya ikan lele yang bisa
menghasilkan serta meningkatkan perekonomian pesantren.
Langkah
selanjutnya, yang mengurus ternak dan ikan lele harus memiliki jiwa peduli yang
tinggi, dan teori-teori pembudidayaan unggas dan ikan lele yang telah
dipelajari atau didapatkan dari berbagai sumber bisa diterapkan dan
dikembangkan di pesantren ini. Alangkah akan lebih baik untuk ke depannya jika
pelan-pelan tapi pasti semua itu bisa terealisasi.
Jika sudah begitu,
lantas apakah perekonomian pesantren khususnya di Al-Ihya sudah bisa dikatakan
sukses sehingga bisa mandiri seperti yang dicita-citakan para masyayikh dan
dewan kyai? Inilah salah satu fungsi pengurus pesantren, menyeleksi dan menggerakkan
sebagian santrinya yang memang ingin terjun di dunia yang menjadi passionnya.
Bicara tentang
passion, sebenarnya banyak sekali santri yang memiliki bakat terpendam namun
kurang mendapatkan perhatian dan dukungan dari pengurus sehingga bakat yang
dimilikinya harus terkubur lebih dalam dan tidak dapat tersalurkan. Sayang
sekali, bukan? Jika santri yang berkompeten di bidang desain, misal, diberikan
keluasan untuk mengembangkan bakatnya, niscaya, kaos santri, dan lain-lain yang
berhubungan dengan dunia desain grafis akan selesai di ranah santri atau
pesantren itu sendiri. Bukankah di Indonesia ada banyak sekali Pesantren yang
bisa diajak kerjasama untuk memasarkan produk santri? Jika kita mampu membuat
desain yang bagus dan menarik, tiap kalangan santri pasti ingin mengenakannya
sebagai lambang ‘kesantrian’ yang bisa dikenal atau dipublish dari desain ‘kaos
santri’ tersebut. Juga pelatihan santri membatik atau batik santri, hal ini
pernah disinggung oleh dewan pengasuh, KH. Suhud Muchson, Lc, MH, suatu masa
ingin ada seragam batik yang desainernya adalah santri-santri Al-Ihya. Semoga
harapan itu akan segera terwujud. Aamiin.
Penulis pikir itu
tidak berlebihan, hanya tinggal menghadirkan ahlinya, kemudian santri yang
ingin terjun di dunia batik bisa mendalami sehingga benar-benar mampu menghasilkan
karya luar biasa yang bisa mengharumkan serta mengudarakan nama Al-Ihya agar
lebih mengangkasa, meski penulis amat tahu, tanpa menafikan Pesantren Al-Ihya
yang memang sudah mendunia, dalam hal ini, kembali menilik sebuah harapan
tentang penguatan perekonomian di pesantren.
Pesantren Al-Ihya
‘Ulumaddin pernah memiliki BLK (Balai Latihan Kerja), sebuah tempat untuk
memfasilitasi santri kursus menjahit, yang kemudian beralih fungsi sebagai gor
atau tempat olahraga sebelum tempat itu benar-benar digunakan sebagaimana
mestinya. Berawal dari situ, seharusnya, sebagian santri sudah mahir menjahit,
dan jika mau dipertahankan serta dikembangkan akan menghasilkan sesuatu yang
bisa didistribusikan di khalayak umum.
Jasko (Jas
Koko) dan Baju Koko
Yang sedang marak
saat ini di kalangan santri adalah Jasko atau Jas Koko dengan bordir, ada pula
bordir kombinasi yang membuat penampilan semakin terlihat modis dan berwibawa.
Ada pula Koko dengan berbagai model, seperti yang sedang booming di
kalangan para pecinta shalawat di seantero Nusantara. Hal itu menegaskan bahwa
dari keahlian santri menjahit adalah sebagai salah satu bentuk penguat
kemandirian ekonomi di pondok pesantren. Jika di Al-Ihya diadakan Balai Latihan
Kerja (BLK) kembali, dan digunakan seperti yang seharusnya, serta komitmen
bahwasanya dengan adanya pelatihan menjahit tersebut, para santri dapat
mengembangkan keahliannya di masa yang akan datang, adalah suatu kebahagiaan bagi
para santri karena telah dibekali ilmu pengetahuan yang tidak hanya agama dan
umum, tapi juga ilmu keterampilan.
Memang santri sejak
zaman dulu hingga zaman modern, dituntut menguasai segala hal. Tidak hanya bisa
memimpin tahlil, membaca kitab kuning, berkoordinasi dengan rekan kerja
(pengurus) atau dewan kyai serta pengasuh, tapi juga harus cepat tanggap dengan
hal-hal yang sifatnya lain daripada yang disebutkan di atas. Dari situ, santri
lewat pesantren dengan dunianya yang serba menawarkan berbagai ilmu pengetahuan
harus kuasa mengikuti perkembangan zaman, atau mampu melawan arus sehingga
dengan ‘kesantriannya’ tidak mudah terpengaruh oleh segala sesuatu yang muncul
mewarnai dinamika kehidupan. Sehingga pesantren masih tetap menjadi yang
terdepan dalam mencetak generasi-generasi terbaik sepanjang zaman... []
Al-Ihya ‘Ulumaddin, 13 November 2017*
Muhrodin “AM”,
laki-laki pecinta hujan dan kita. Lahir di Lampung, 23 Februari 1991. Saat ini
masih tercatat sebagai santri di Pon-pes Al-Ihya ‘Ulumaddin, Kesugihan 1,
Cilacap. Hobbynya, selain merangkai puisi adalah mendengarkan shalawat rindu
hingga mimpi akan membangunkannya di sepertiga malam yang syahdu. (*)
2 komentar:
Sangat menginspirasi sekali...
Hehee matursuwun sudah mampir... :)
Posting Komentar