Penyihir Aksara (Malaikat Salju)

Do'a Kalimat Pena By. Muhrodin "AM"

22
November



Oleh: Muhrodin “AM”*


Telah kita ketahui bersama, bahwa Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Dari Pesantren, para ulama, kyai, dan para asatidz di berbagai tingkatan lembaga formal maupun non formal telah menjadi bukti riil bahwa keberdaan pesantren amatlah berjasa, khususnya di Negara yang bernama Indonesia.
            Begitu pula visi dan misi di Pondok pesantren Al-Ihya ‘Ulumaddin, Kesugihan 1, Cilacap, Pondok pesantren yang diasuh oleh KH. Suhud Muchson, Lc, M.H, KH. Imdadurrohman al-Ubudi, KH. Charir Mucharir, S.H, M.Pd.I, yang tak lain adalah untuk mencetak generasi berakhlakul karimah, menciptakan masyarakat Islami, menyediakan bekal keterampilan serta pengetahuan umum yang memadai.
            Pondok pesantren Al-Ihya ‘Ulumaddin selain mengajarkan ketauhidan, ilmu fiqih, kitab kuning (Nahwu-Shorof) dan ilmu-ilmu yang lain, juga telah menyediakan berbagai keterampilan bagi santrinya sebagai wahana  belajar mandiri, dalam hal ini, di bidang ekonomi.
            Bank Sampah, misalnya. Meski baru empat tahun berdiri, dengan berbagai macam kendala dalam perjalanannnya telah memiliki aset cukup banyak dari kreasi para santri, selain sampah plastik yang disulam menjadi karangan bunga, baru-baru ini juga telah dicetak paving blok dari limbah plastik yang dipanaskan dengan dicampur oli. Bahkan di bulan November ini, Bank Sampah Al-Ihya akan mengikutsertakan karya seninya berupa Vas Bunga yang terbuat dari kain perca di acara pameran yang akan digelar di Kabupaten Cilacap. Jika pihak Bank Sampah lebih tekun dalam mengelola setiap limbah yang ada di pesantren, bukan tidak mungkin akan tercipta karya-karya lain, yang barangkali belum pernah terpikirkan sebelumnya.
            Dewasa ini, Bank Sampah memang sudah marak di berbagai kalangan masyarakat yang memang peduli dengan kebersihan lingkungan juga manfaat limbah yang kadang masih sering terabaikan. Padahal, jika kita mau bergerak sedikit saja (khusunya di pesantren-pesantren) peduli akan limbah di sekitar, kita bisa menabung untuk menunjang keperluan Pesantren, juga keperluan yang lainnya.
            Di tahun ajaran ini, Pondok pesantren Al-Ihya memang sedang gencar-gencarnya pemilahan sampah demi kebersihan dan keindahan pesantren. Terinspirasi dari Pondok Pesantren Darul Muttaqin, Bogor, yang berhasil mendapat penghargaan sebagai pesantren terbersih se-Indonesia, Pengasuh dan Dewan Kyai bersama-sama menghimbau kepada para pengurus serta seluruh santri untuk mensukseskan program tersebut lewat Bank Sampah.
            Al-Ihya ‘Ulumaddin, di atas tanah kurang lebih 4 Hektar, dan santri yang berjumlah 1200 lebih (Putra dan Putri) sangat tepat jika program pengembangan lebih ditingkatkan. Kita lihat, perkebunan Al-Ihya yang sangat luas, akan sayang sekali jika hanya teronggok tak terurus lagi. Jika dulu sempat ada ternak unggas dan sapi yang gagal, juga perkebunan sayur-sayuran yang hanya seumuran jagung, kita kelola lagi dengan sebaik-baiknya. Mulai dari pengolahan tanah sampai dengan sayur-sayuran serta umbi-umbian yang bisa dikonsumsi Pesantren tanpa harus belanja setiap hari untuk keperluan makan santri.
            Ambil contoh saja, jika perkebunan yang sangat luas itu digunakan untuk bercocok tanam sayur-sayuran, misal, terong, buncis, kacang-kacangan, gambas, kangkung, pare, cabe, dan lain sebagainya, betapa melimpahnya hasil kebun yang bisa dipanen setiap minggu atau bahkan setiap harinya. Jadi, Al-Ihya tidak perlu lagi belanja sayur-sayuran, karena kebutuhan santri sudah tersedia di kebun milik sendiri. Pengeluaran pesantren akan lebih terminimalisir dengan adanya perkebunan yang subur dan berkembang.
            Kenapa sampai sekarang belum bisa mencapai perekonomian yang maksimal? Khususnya di bagian pertanian, bahkan stagnan, berhenti di tempat tanpa adanya kemajuan sedikit pun? Barangkali inilah yang menjadi PR kita bersama. Bahwa di Pesantren Al-Ihya ‘Ulumaddin, dengan fasilitas yang cukup memadai bahkan bisa dibilang melimpah, namun masih jauh dari pencapaian perekonomian yang baik.
            Jika pengurus pertanian dengan didukung para santri, bukan tidak mungkin perkebunan milik pesantren akan subur dan dapat memberikan kontribusi lebih di bagian makanan pokok santri. Lalu, pesantren pun bisa menyisihkan hasil kebunnya setiap panen untuk tabungan masa depan, lebih dari itu, hasilnya bisa digunakan sebagai pembangunan pesantren.        
            Ternak Unggas dan Budidaya Ikan Lele
            Selain perkebunan, di belahan bumi Al-Ihya yang lain, memiliki kawasan strategis untuk ternak unggas dan budidaya ikan lele. Dahulu, pengurus bagian pertanian merangkap mengelola ternak ayam dan sapi, barangkali karena tenaga kerjanya yang hanya sedikit sehingga mengakibatkan yang sudah dirancang dan dikelola menjadi terhambat bahkan berhenti sama sekali. Bagaimana penanganan selanjutnya agar ternak unggas dan budidaya ikan lele bisa dikembangkan? Yang pertama, harus ada pengurus yang benar-benar berkompeten di bagiannya, setidaknya sedikit banyak tahu bagaimana cara beternak unggas, dan budidaya ikan lele yang bisa menghasilkan serta meningkatkan perekonomian pesantren.
            Langkah selanjutnya, yang mengurus ternak dan ikan lele harus memiliki jiwa peduli yang tinggi, dan teori-teori pembudidayaan unggas dan ikan lele yang telah dipelajari atau didapatkan dari berbagai sumber bisa diterapkan dan dikembangkan di pesantren ini. Alangkah akan lebih baik untuk ke depannya jika pelan-pelan tapi pasti semua itu bisa terealisasi.
            Jika sudah begitu, lantas apakah perekonomian pesantren khususnya di Al-Ihya sudah bisa dikatakan sukses sehingga bisa mandiri seperti yang dicita-citakan para masyayikh dan dewan kyai? Inilah salah satu fungsi pengurus pesantren, menyeleksi dan menggerakkan sebagian santrinya yang memang ingin terjun di dunia yang menjadi passionnya.
            Bicara tentang passion, sebenarnya banyak sekali santri yang memiliki bakat terpendam namun kurang mendapatkan perhatian dan dukungan dari pengurus sehingga bakat yang dimilikinya harus terkubur lebih dalam dan tidak dapat tersalurkan. Sayang sekali, bukan? Jika santri yang berkompeten di bidang desain, misal, diberikan keluasan untuk mengembangkan bakatnya, niscaya, kaos santri, dan lain-lain yang berhubungan dengan dunia desain grafis akan selesai di ranah santri atau pesantren itu sendiri. Bukankah di Indonesia ada banyak sekali Pesantren yang bisa diajak kerjasama untuk memasarkan produk santri? Jika kita mampu membuat desain yang bagus dan menarik, tiap kalangan santri pasti ingin mengenakannya sebagai lambang ‘kesantrian’ yang bisa dikenal atau dipublish dari desain ‘kaos santri’ tersebut. Juga pelatihan santri membatik atau batik santri, hal ini pernah disinggung oleh dewan pengasuh, KH. Suhud Muchson, Lc, MH, suatu masa ingin ada seragam batik yang desainernya adalah santri-santri Al-Ihya. Semoga harapan itu akan segera terwujud. Aamiin.
            Penulis pikir itu tidak berlebihan, hanya tinggal menghadirkan ahlinya, kemudian santri yang ingin terjun di dunia batik bisa mendalami sehingga benar-benar mampu menghasilkan karya luar biasa yang bisa mengharumkan serta mengudarakan nama Al-Ihya agar lebih mengangkasa, meski penulis amat tahu, tanpa menafikan Pesantren Al-Ihya yang memang sudah mendunia, dalam hal ini, kembali menilik sebuah harapan tentang penguatan perekonomian di pesantren.
            Pesantren Al-Ihya ‘Ulumaddin pernah memiliki BLK (Balai Latihan Kerja), sebuah tempat untuk memfasilitasi santri kursus menjahit, yang kemudian beralih fungsi sebagai gor atau tempat olahraga sebelum tempat itu benar-benar digunakan sebagaimana mestinya. Berawal dari situ, seharusnya, sebagian santri sudah mahir menjahit, dan jika mau dipertahankan serta dikembangkan akan menghasilkan sesuatu yang bisa didistribusikan di khalayak umum.
            Jasko (Jas Koko) dan Baju Koko
            Yang sedang marak saat ini di kalangan santri adalah Jasko atau Jas Koko dengan bordir, ada pula bordir kombinasi yang membuat penampilan semakin terlihat modis dan berwibawa. Ada pula Koko dengan berbagai model, seperti yang sedang booming di kalangan para pecinta shalawat di seantero Nusantara. Hal itu menegaskan bahwa dari keahlian santri menjahit adalah sebagai salah satu bentuk penguat kemandirian ekonomi di pondok pesantren. Jika di Al-Ihya diadakan Balai Latihan Kerja (BLK) kembali, dan digunakan seperti yang seharusnya, serta komitmen bahwasanya dengan adanya pelatihan menjahit tersebut, para santri dapat mengembangkan keahliannya di masa yang akan datang, adalah suatu kebahagiaan bagi para santri karena telah dibekali ilmu pengetahuan yang tidak hanya agama dan umum, tapi juga ilmu keterampilan.
            Memang santri sejak zaman dulu hingga zaman modern, dituntut menguasai segala hal. Tidak hanya bisa memimpin tahlil, membaca kitab kuning, berkoordinasi dengan rekan kerja (pengurus) atau dewan kyai serta pengasuh, tapi juga harus cepat tanggap dengan hal-hal yang sifatnya lain daripada yang disebutkan di atas. Dari situ, santri lewat pesantren dengan dunianya yang serba menawarkan berbagai ilmu pengetahuan harus kuasa mengikuti perkembangan zaman, atau mampu melawan arus sehingga dengan ‘kesantriannya’ tidak mudah terpengaruh oleh segala sesuatu yang muncul mewarnai dinamika kehidupan. Sehingga pesantren masih tetap menjadi yang terdepan dalam mencetak generasi-generasi terbaik sepanjang zaman... []

Al-Ihya ‘Ulumaddin, 13 November 2017*
           
        
            Muhrodin “AM”, laki-laki pecinta hujan dan kita. Lahir di Lampung, 23 Februari 1991. Saat ini masih tercatat sebagai santri di Pon-pes Al-Ihya ‘Ulumaddin, Kesugihan 1, Cilacap. Hobbynya, selain merangkai puisi adalah mendengarkan shalawat rindu hingga mimpi akan membangunkannya di sepertiga malam yang syahdu. (*)

2 komentar:

Sangat menginspirasi sekali...

Hehee matursuwun sudah mampir... :)

Posting Komentar

X-Steel - Link Select

About this blog

Diberdayakan oleh Blogger.