Penyihir Aksara (Malaikat Salju)

Do'a Kalimat Pena By. Muhrodin "AM"

29
Oktober




Oleh: Muhrodin “AM”*

Langit mendung. Tak ada mentari yang menyinari pagi ini. Hawa dingin sedari shubuh tadi memelukku yang termangu dalam kamar sepi. Masih seperti hari minggu-minggu yang lalu, bahkan sama, seperti saat ayah masih ada. Saat cerita ini bukan tentang sepenggal kisah perjalanan tentang duka-lara –Nestapa-.
Setelah melaksanakan ibadah shalat shubuh, --sebelum membantu ibu menyiapkan sarapan pagi-- aku senang duduk-duduk di kursi dekat jendela. Menikmati kicau burung yang sesekali hinggap di ruang dengarku. Membaui sepucuk embun yang begitu menyejukkan. Atau, menikmati rintik hujan yang jatuh di pelataran, seperti pagi ini.
Dinda, adikku yang pertama, diminta ibu untuk menemani si kecil Rafi. Sedangkan  Dani, adikku lagi yang masih duduk di bangku kelas tiga SD, masih asik menekuri mimpi. Pada hari minggu seperti ini, ia akan terbangun jika ibu sudah sempurna menyiapkan sarapan pagi.
“Rani, bantu ibu memasak,” suara Ibu mengagetkanku. Dari luar jendela, terlihat hujan masih seperti serpihan salju yang jatuh satu-satu.
“Iya, Bu.” Jawabku, bergegas meninggalkan lamunan sepi menuju dapur.
Hari ini, ibu hanya memasak sayur kangkung dan beberapa potong mendoan yang dibelinya di warung Mbok Kaji. Sejak kepergian Ayah beberapa bulan lalu, kami seringkali makan seadanya. Tak seperti dulu, saat ayah masih tinggal bersama kami, seolah, apa pun yang kami maui selalu dituruti.
Beberapa bulan ini pula, ibu selalu berusaha terlihat tegar, meski kami –anaknya- tahu, betapa hati ibu bagaikan serpihan-serpihan daun kering yang diterbangkan sang angin. Ayah pergi meninggalkan kami semua, tanpa kabar. Setelah usaha yang dirintisnya bertahun-tahun bangkrut. Terakhir, ayah memukul ibu saat ibu hendak melarang ayah untuk pergi. Ayah tak menghiraukan rintihan ibu yang memohon agar ayah tetap tinggal di rumah, demi anak-anak. Pada saat itu, aku hanya bisa bungkam, menahan tangis, mendekap adik-adikku yang meringkuk di kamar ketakutan.
“Bu, kapan ayah pulang?” tiba-tiba, suara Dani yang barusaja bangun tidur, langsung menyentak jantungku. Bukan tentang aku, tapi tentang perasaan ibu yang selama ini berusaha tegar di depan anak-anak. Yang pada setiap pertanyaan, ibu selalu menjawab, “Pasti ayah akan pulang, Sayang.” Meski aku tahu, ibu tak benar-benar yakin dengan kata-katanya sendiri. “Bersabarlah… do’akan semoga ayah baik-baik saja, ya?” Selalu saja begitu, kata-kata ibu untuk menghibur hati Dani dan Dinda pada saat mereka tengah merindukan kasih-sayang seorang ayah.
Bukan aku tak merindukan ayah, hingga selama ini aku jarang, bahkan hampir tak pernah menanyakan kabar ayah kepada ibu. Setiap kali pertanyaan itu hendak meluncur, selalu saja kutahan, aku selalu membiarkan pertanyaan dan kerinduan ini menjadi do’a dan kenangan yang paling usang, seperti hati ibu yang betapa sedih dan perihnya saat harus menerima kenyataan; ditinggalkan, dengan menanggung segala beban yang tak seharusnya ia pikul sendirian.
“Dani, cuci muka dulu, ya? Setelah itu, Dani makan sama Mendoan.” Bujukku, mengalihkan pertanyaannya.
“Kak, ayah pergi ke mana, sih? Kok nggak pulang-pulang?” Tanya Dani, lagi. Aku menghentikan langkah, memegangi pipi Dani dengan berjongkok untuk mensejajari tubuh kecilnya.
“Ayah lagi ada pekerjaan, Dani. Ayah sedang sibuk. Sedang ada tugas dari kantor.” Jawabku, dengan senyum yang kubuat-buat, meski nyatanya, harus kuakui, yang ada di sebilik hati ini adalah rasa nyeri.
“Tugas dari kantor, kok, lama? Biasanya juga kalau ayah ada tugas, ayah selalu telepon Dani.” Katanya, lagi. Yang akhirnya kutanggapi dengan membawa Dani cepat-cepat ke kamar mandi untuk segera cuci muka dan setelah itu mengajaknya duduk di meja makan.
“Dani sekarang makan dulu, ya? Ada mendoan sama sayur kangkung masakan Kak Rani. Pasti enak sekali. Kakak panggil kak Dinda dulu sebentar.” Aku segera melesat menuju kamar ibu. Menyuruh Dinda untuk makan bersama Dani.
Adik kecilku Rafi menatapku, lucu. Binar matanya mengingatkanku pada mata ayah. Beningnya selaksa telaga teduh, jernih, seperti air hujan yang datangnya selalu kurindukan.
Aku mencium bau kenangan di tubuh mungilnya. Kenangan bersama ayah sewaktu kecil dulu, ayah selalu mengajakku berjalan-jalan melihat pelangi setelah hujan, menikmati pemandangan, daun-daun sepi, serta tetes hujan hingga senja membawanya pada pelukan malam.
‘Ayah, di manakah ayah sekarang?’ sebuah pertanyaan yang harus kutelan dengan pahitnya rasa kenyataan. Seperti kata ibu, saat beliau menumpahkan segala perihnya di hadapanku lewat ceritanya yang pilu.
“Ayahmu mustahil untuk kembali, Rani. Ayahmu pergi dengan perempuan lain. Keadaanlah yang menjadikannya buta. Setelah ayahmu bangkrut, perempuan itu mengajak ayahmu menikah dan meninggalkan keluarga kita.” Terang ibu, dengan mata yang berkaca-kaca.
Aku hanya diam tanpa kata, pun tak pernah bertanya masalah yang terjadi sebenarnya antara ibu dengan ayah. Aku cukup menjadi pendengar setia di setiap cerita yang ibu curahkan saat hati ibu benar-benar merasa nelangsa, merasa terluka tanpa pernah menemukan penawarnya.
Terlebih, akhir-akhir ini, Rafi sering menangis tanpa sebab. Dinda dan Dani juga sering marah-marah karena tidak ada makan siang yang biasanya –saat ayah masih ada—makan siang selalu terhidang di meja makan.
Ibu linglung. Dalam bingung yang buntung.
Aku pun terkadang menangis tanpa suara saat tiba-tiba sekelebat wajah ayah hadir di pelupuk mata. Saat pagi menyapa, saat hujan turun tiba-tiba, saat aku tengah duduk di kursi kamar yang menghadap ke pelataran. Kenangan semasa masih bersama ayah seketika menancapkan silsilah rindu yang begitu perih.
“Kamu harus menjadi perempuan yang kuat, Rani. Kamu harus sukses, demi adik-adik kamu. Demi masa depan kamu.” Kata ibu, saat kami tengah sama-sama menikmati ricik hujan yang berbisik.
“Iya, Bu. Rani janji akan menjadi perempuan hebat, yang sukses, demi keluarga kita. Demi ibu, demi Dinda, Dani, juga demi Rafi.” Aku tak tahu, dengan cara apa dan bagaimana akan mewujudkan semua impian itu. Aku hanya ingin, Tuhan memberikan jalan paling istimewa untukku menapaki jejak cinta dan cita-cita.
“Maafkan Ibu, Rani.” Ibu memelukku, tak seperti biasanya. Ibu selalu tegar sekalipun dalam keadaan hati paling cabar. Tapi kali ini? Aku terhanyut dalam suasana, perlahan, airmataku menitik membasahi baju ibu.
“Ibu, Rani mau siap-siap berangkat sekolah dulu.” Akhirnya, kusudahi kecamuk dalam hati ini. Aku ingin menjadi laut, yang mendamaikan. Yang memiliki hati setegar karang, saat gelombang ujian dan cobaan datang meluluhlantakkan kehidupan.
Ibu Nampak lebih murung, tak ada seutas senyum yang menghiasi bibirnya, pandangannya kosong. Kuambilkan ibu segelas air hangat, sebelum akhirnya kutinggalkan ia bersama kenangan yang berserak.
***
Hujan turun sejak beberapa menit lalu. Suasana tampak sepi. Tak ada suara Dani yang biasanya tengah bermain bersama Dinda. Pun tak ada tangisan Rafi yang jika tengah kelaparan, lengkingannya begitu menyayat hati.
Aku mulai melangkahkan kaki menuju pintu rumah yang hanya tinggal beberapa hasta. Di antara kepingan mimpi yang kubawa dari sekolah, ada yang tiba-tiba terasa belah, saat mata ini harus menyaksikan sesuatu yang tak pernah sedikit pun kubayangkan.
Dani dan Dinda tergelatak di meja makan. Tak ada lagi deru napas di antara dua anak yang tak berdosa. Pun saat aku mengetahui, adik kecilku Rafi sudah tak bernyawa lagi.
“Tidaaakkk!!!” Aku menjerit, perih! hatiku benar-benar limbung seperti rumah yang dihantam angin halimun.
“Ibu, ibu, ibu….” Aku mencoba berteriak mencari sosok ibu di setiap ruang sempit yang ada di rumah ini.
“Ibu?” seketika, persendianku beku. Aku tak dapat bergerak lagi saat kudapati ibu menggantungkan diri di kamar sepi; mulutnya terbuka, matanya, seperti  menyimpan dendam masa lalu yang teramat mengerikan. []

Al-Ihya ‘Ulumaddin, 08 Oktober 2016*



0 komentar:

Posting Komentar

X-Steel - Link Select

About this blog

Diberdayakan oleh Blogger.