Oleh:
Muhrodin “AM”*
Langit mendung. Tak ada mentari yang menyinari pagi ini. Hawa dingin
sedari shubuh tadi memelukku yang termangu dalam kamar sepi. Masih seperti hari
minggu-minggu yang lalu, bahkan sama, seperti saat ayah masih ada. Saat cerita
ini bukan tentang sepenggal kisah perjalanan tentang duka-lara –Nestapa-.

Dinda, adikku yang pertama, diminta ibu untuk menemani si kecil Rafi.
Sedangkan Dani, adikku lagi yang masih
duduk di bangku kelas tiga SD, masih asik menekuri mimpi. Pada hari minggu
seperti ini, ia akan terbangun jika ibu sudah sempurna menyiapkan sarapan pagi.
“Rani, bantu ibu memasak,” suara Ibu mengagetkanku. Dari luar jendela, terlihat
hujan masih seperti serpihan salju yang jatuh satu-satu.
“Iya, Bu.” Jawabku, bergegas meninggalkan lamunan sepi menuju dapur.
Hari ini, ibu hanya memasak sayur kangkung dan beberapa potong mendoan yang
dibelinya di warung Mbok Kaji. Sejak kepergian Ayah beberapa bulan lalu, kami
seringkali makan seadanya. Tak seperti dulu, saat ayah masih tinggal bersama
kami, seolah, apa pun yang kami maui selalu dituruti.
Beberapa bulan ini pula, ibu selalu berusaha terlihat tegar, meski kami
–anaknya- tahu, betapa hati ibu bagaikan serpihan-serpihan daun kering
yang diterbangkan sang angin. Ayah pergi meninggalkan kami semua, tanpa kabar.
Setelah usaha yang dirintisnya bertahun-tahun bangkrut. Terakhir, ayah memukul
ibu saat ibu hendak melarang ayah untuk pergi. Ayah tak menghiraukan rintihan
ibu yang memohon agar ayah tetap tinggal di rumah, demi anak-anak. Pada saat
itu, aku hanya bisa bungkam, menahan tangis, mendekap adik-adikku yang
meringkuk di kamar ketakutan.
“Bu, kapan ayah pulang?” tiba-tiba, suara Dani yang barusaja bangun
tidur, langsung menyentak jantungku. Bukan tentang aku, tapi tentang perasaan
ibu yang selama ini berusaha tegar di depan anak-anak. Yang pada setiap
pertanyaan, ibu selalu menjawab, “Pasti ayah akan pulang, Sayang.” Meski aku
tahu, ibu tak benar-benar yakin dengan kata-katanya sendiri. “Bersabarlah… do’akan
semoga ayah baik-baik saja, ya?” Selalu saja begitu, kata-kata ibu untuk
menghibur hati Dani dan Dinda pada saat mereka tengah merindukan kasih-sayang seorang
ayah.
Bukan aku tak merindukan ayah, hingga selama ini aku jarang, bahkan hampir
tak pernah menanyakan kabar ayah kepada ibu. Setiap kali pertanyaan itu hendak
meluncur, selalu saja kutahan, aku selalu membiarkan pertanyaan dan kerinduan
ini menjadi do’a dan kenangan yang paling usang, seperti hati ibu yang betapa
sedih dan perihnya saat harus menerima kenyataan; ditinggalkan, dengan
menanggung segala beban yang tak seharusnya ia pikul sendirian.
“Dani, cuci muka dulu, ya? Setelah itu, Dani makan sama Mendoan.”
Bujukku, mengalihkan pertanyaannya.
“Kak, ayah pergi ke mana, sih? Kok nggak pulang-pulang?” Tanya Dani,
lagi. Aku menghentikan langkah, memegangi pipi Dani dengan berjongkok untuk
mensejajari tubuh kecilnya.
“Ayah lagi ada pekerjaan, Dani. Ayah sedang sibuk. Sedang ada tugas dari
kantor.” Jawabku, dengan senyum yang kubuat-buat, meski nyatanya, harus kuakui,
yang ada di sebilik hati ini adalah rasa nyeri.
“Tugas dari kantor, kok, lama? Biasanya juga kalau ayah ada tugas, ayah
selalu telepon Dani.” Katanya, lagi. Yang akhirnya kutanggapi dengan membawa
Dani cepat-cepat ke kamar mandi untuk segera cuci muka dan setelah itu
mengajaknya duduk di meja makan.
“Dani sekarang makan dulu, ya? Ada mendoan sama sayur kangkung masakan
Kak Rani. Pasti enak sekali. Kakak panggil kak Dinda dulu sebentar.” Aku segera
melesat menuju kamar ibu. Menyuruh Dinda untuk makan bersama Dani.
Adik kecilku Rafi menatapku, lucu. Binar matanya mengingatkanku pada
mata ayah. Beningnya selaksa telaga teduh, jernih, seperti air hujan yang
datangnya selalu kurindukan.
Aku mencium bau kenangan di tubuh mungilnya. Kenangan bersama ayah
sewaktu kecil dulu, ayah selalu mengajakku berjalan-jalan melihat pelangi
setelah hujan, menikmati pemandangan, daun-daun sepi, serta tetes hujan hingga
senja membawanya pada pelukan malam.
‘Ayah, di manakah ayah sekarang?’
sebuah pertanyaan yang harus kutelan dengan pahitnya rasa kenyataan. Seperti
kata ibu, saat beliau menumpahkan segala perihnya di hadapanku lewat ceritanya
yang pilu.
“Ayahmu mustahil untuk kembali, Rani. Ayahmu pergi dengan perempuan
lain. Keadaanlah yang menjadikannya buta. Setelah ayahmu bangkrut, perempuan
itu mengajak ayahmu menikah dan meninggalkan keluarga kita.” Terang ibu, dengan
mata yang berkaca-kaca.
Aku hanya diam tanpa kata, pun tak pernah bertanya masalah yang terjadi
sebenarnya antara ibu dengan ayah. Aku cukup menjadi pendengar setia di setiap
cerita yang ibu curahkan saat hati ibu benar-benar merasa nelangsa, merasa
terluka tanpa pernah menemukan penawarnya.
Terlebih, akhir-akhir ini, Rafi sering menangis tanpa sebab. Dinda dan
Dani juga sering marah-marah karena tidak ada makan siang yang biasanya –saat
ayah masih ada—makan siang selalu terhidang di meja makan.
Ibu linglung. Dalam bingung yang buntung.
Aku pun terkadang menangis tanpa suara saat tiba-tiba sekelebat wajah
ayah hadir di pelupuk mata. Saat pagi menyapa, saat hujan turun tiba-tiba, saat
aku tengah duduk di kursi kamar yang menghadap ke pelataran. Kenangan semasa
masih bersama ayah seketika menancapkan silsilah rindu yang begitu perih.
“Kamu harus menjadi perempuan yang kuat, Rani. Kamu harus sukses, demi
adik-adik kamu. Demi masa depan kamu.” Kata ibu, saat kami tengah sama-sama
menikmati ricik hujan yang berbisik.
“Iya, Bu. Rani janji akan menjadi perempuan hebat, yang sukses, demi
keluarga kita. Demi ibu, demi Dinda, Dani, juga demi Rafi.” Aku tak tahu,
dengan cara apa dan bagaimana akan mewujudkan semua impian itu. Aku hanya
ingin, Tuhan memberikan jalan paling istimewa untukku menapaki jejak cinta dan
cita-cita.
“Maafkan Ibu, Rani.” Ibu memelukku, tak seperti biasanya. Ibu selalu
tegar sekalipun dalam keadaan hati paling cabar. Tapi kali ini? Aku terhanyut
dalam suasana, perlahan, airmataku menitik membasahi baju ibu.
“Ibu, Rani mau siap-siap berangkat sekolah dulu.” Akhirnya, kusudahi
kecamuk dalam hati ini. Aku ingin menjadi laut, yang mendamaikan. Yang memiliki
hati setegar karang, saat gelombang ujian dan cobaan datang meluluhlantakkan
kehidupan.
Ibu Nampak lebih murung, tak ada seutas senyum yang menghiasi bibirnya, pandangannya
kosong. Kuambilkan ibu segelas air hangat, sebelum akhirnya kutinggalkan ia
bersama kenangan yang berserak.
***
Hujan turun sejak beberapa menit lalu. Suasana tampak sepi. Tak ada
suara Dani yang biasanya tengah bermain bersama Dinda. Pun tak ada tangisan
Rafi yang jika tengah kelaparan, lengkingannya begitu menyayat hati.
Aku mulai melangkahkan kaki menuju pintu rumah yang hanya tinggal
beberapa hasta. Di antara kepingan mimpi yang kubawa dari sekolah, ada yang
tiba-tiba terasa belah, saat mata ini harus menyaksikan sesuatu yang tak pernah
sedikit pun kubayangkan.
Dani dan Dinda tergelatak di meja makan. Tak ada lagi deru napas di
antara dua anak yang tak berdosa. Pun saat aku mengetahui, adik kecilku Rafi
sudah tak bernyawa lagi.
“Tidaaakkk!!!” Aku menjerit, perih! hatiku benar-benar limbung seperti
rumah yang dihantam angin halimun.
“Ibu, ibu, ibu….” Aku mencoba berteriak mencari sosok ibu di setiap
ruang sempit yang ada di rumah ini.
“Ibu?” seketika, persendianku beku. Aku tak dapat bergerak lagi saat
kudapati ibu menggantungkan diri di kamar sepi; mulutnya terbuka, matanya,
seperti menyimpan dendam masa lalu yang
teramat mengerikan. []
Al-Ihya ‘Ulumaddin, 08 Oktober 2016*
0 komentar:
Posting Komentar