Oleh: Muhrodin “AM”*

Hujan turun senja ini. Aku tahu, seseorang yang membawaku sedari
tadi hatinya teramat gundah. Gelisah. Pesan singkat yang dikirimnya empat kali
tak ada balasan, panggilan telepon genggamnya pun tak ada jawaban. Mungkin
seseorang yang akan ditemuinya tengah sibuk. Mungkin tak tahu kalau ada getaran
pada telepon genggamnya. Mungkin...
Hujan masih setia menemani kegundahannya. Sesekali telepon
genggamnya ia bolak-balik hingga tak terhitung lagi berapa kali ia
mengulanginya. Saat terlihat banyak anak laki-laki keluar dari ruang kelas
dengan bepakaian ala santri; bersarung dan berpeci, hatinya menggumamkan sebuah
asa; berharap seseorang yang akan ditemuinya hadir di depan mata. Tapi kau
tahu? Bahkan ia pun belum pernah bertemu dengan seseorang yang ingin
ditemuinya, hanya lewat dunia maya ia mengetahui kalau seseorang itu kini
tengah berada di penjara suci. Tempat orang-orang mengeja cinta ilahirabbi...
“Mas AM, saya mau silaturrahim ke PPAI; saya sudah menunggu di
gerbang.” Bunyi pesan singkat yang dikirimkannya kepada seseorang yang disapanya dengan
sebutan AM. Aku ikut gelisah. Hujan
enggan berbisik. Sebentar lagi senja akan sirna, maghrib akan menggantikannya
dengan gelap malam beraroma gerimis bulan Desember. Di tengah kegelisahan yang
hampir memburaikan hatinya, ia dapati telepon genggamnya berkedip-kedip. Ada
pesan masuk dari seseorang yang sedari tadi ditunggu-tunggu kehadirannya.
“Maaf, tadi sedang ada Madin.” Hanya kata itu saja. Ya, hanya kata itu yang ia
terima dari seseorang yang (mungkin) bukan siapa-siapanya , yang telah
membuatnya menahan segenap luapan emosi serta kesabarannya.
“Mas, ada SMS atau
telepon, nggak? Tadi ada yang bilang, sore ini ada seseorang yang akan
mengantarkan kue ke pondok.” Seseorang yang lain pun telah menelan gundah.
Bahkan ia mengirimkan bunyi pesan singkat itu berkali-kali berharap signal kali
ini benar-benar tak mencemburuinya.
“Iya, sudah dibalas, tapi belum ada jawaban.” Balasan dari yang
jauh di pelupuk mata telah melegakan hatinya.
“Coba Mas lihat, katanya dia sudah menunggu di gerbang.”
Seseorang terlihat berjalan dengan terburu-buru menuju gerbang
pesantren. Hujan masih teramat setia untuk waktu yang entah ke berapa
menjatuhkan tetes-tetes beningnya.
“Maaf, apa Anda yang SMS tadi?”
“Iya.” Sedikit ada gigil kala ia menjawab sebuah tanya yang
dijangkarkan di antara rintik hujan.
“ Saya mau memeberikan ini,” lanjutnya. Setelah aku dibiarkan
beberapa waktu di atas meja, akhirnya ada seseorang yang memeluk tubuhku,
memeluk erat kotak tempatku meredam rindu.
“Terima kasih, dengan apa tadi Anda datang?” kudengar seseorang
yang tengah memegangiku bertanya dengan sopan.
“Saya, saya naik Bus.” Jawabnya dengan suara yang ditingkahi
hujan dari langit.
“Bagaimana nanti Anda pulang?”
“Nanti masih ada Bus.” Kuperhatikan dari lorong-lorong sunyi
yang menyembunyikan tubuhku, ada segurat rasa khawatir yang menyelimuti
wajahnya.
“Oh, ya sudah. Terima kasih banyak.”
“Iya.”
“Assalamu’alaikum...”
“Wa’alikum salam...”
Seseorang lain telah membawaku menerabas gerimis. Aku berharap,
setelah membuka kotaknya, ia akan tersenyum, senyum yang manis, senyum yang ritmis.
Pelan ia membuka kotak yang menaungiku. Aku tersenyum, baju
berwarna ungu yang kukenakan semoga mampu menciptakan rekahan senyum di
hatinya. Apalagi kau tahu, bukan? Ada sebuah nama yang tersemat di kepalaku, nama
seseorang yang tadi sempat mengabarkan kalau senja ini akan ada orang yang akan
menemuinya.
“Lavira Az-Zahra” nama seorang wanita yang ia kenal kurang lebih
dua tahun lalu. Lewat bedah karya di sebuah grup kepenulisan yang kebetulan
dalam cerita itu ia memakai namanya sebagai tokoh utama.
Ia meletakanku di atas almari pada sebuah kamar remang-remang.
Cahaya lampu philips terhalang oleh sebuah kertas yang sengaja dipasang
oleh tuannya untuk menyamarkan cahaya
lampu yang menyala.
“Sampaikan salam maafnya, ya. Sepertinya dia kesorean.” Sebuah
pesan singkat ia kirimkan kepada wanitanya.
Telepon genggam berkedip dua kali, “Iya. Mungkin ia juga tidak
tahu kalau mas ada kegiatan. Maghrib dulu, ya...,” ia meletakan telepon
genggamnya, setelah membaca pesan singkat yang baru diterima.
Aku masih khidmat menyimak suara adzan yang begitu merdu.
Sesekali, suara orang-orang yang entah siapa memancingku ingin segera keluar
dari tempat perlindungan. Tapi aku harus sabar, aku yakin seseorang yang kini
menjadi tuanku tengah berpikir akan diapakan aku ini? Diletakan begitu saja di
atas almari hingga esok pagi, atau malam nanti aku akan diekskusi? Aku tak
mampu menangkap imajinasinya sekadar dari caranya tersenyum. Mungkin ia akan
membagi-bagikanku kepada rekan-rekan kompleknya, mungkin kepada rekan-rekan
kamar yang dibinanya, atau mungkin kepada rekan-rekannya yang lain? Entahlah...
itu tak begitu penting untukku, yang terpenting adalah setiap orang yang
melihatku akan bahagia, akan jatuh cinta dengan pesona bunga-bunga yang melekat
di antara tubuh dan mahkotaku.
Kulihat tuanku mengulum senyum, senyum keceriaan. Ya, tak salah
lagi, meski aku masih dibiarkan teronggok begitu saja di atas perapian, tapi
aku cukup sabar menunggu datangnya waktu seseorang yang akan menelanjangiku,
kemudian membelah seluruh tubuhku. Masih ada waktu sekitar empat jam lagi
menuju moment itu. moment yang semoga akan membuatnya bahagia dengan untaian
do’a-do’a yang dilangitkan pada Tuhan di bawah naungan malam.
Tik tik tik tik...
Malam menunjukkan pukul 21.22 WIB. Tuanku sibuk di depan komputer,
entah apa yang dituliskannya. Mungkin ia tengah merangkai kata-kata sebagai
ucapan ‘selamat ulang tahun’ buat wanitanya yang jauh di batas kota, atau
mungkin hatinya mulai didera kerinduan kepada seseorang yang entah siapa, aku tak
tahu. Nyatanya hingga malam larut, aku masih dibiarkannya begitu saja. Malah
kulihat ada seseorang yang mengajaknya untuk segera ke kantor pesantren. Mungkin
dia sibuk. Mungkin ada rapat rutin.
Happy Birth Day, harusnya kata itu telah diucapkannya sejak satu jam yang lalu,
setidaknya lewat pesan singkat atau BBM. Dan tubuhku seharusnya sudah terbelah.
Ya, seharusnya...
Aku menunggu moment itu, di mana kepalaku dihiasi dengan mahkota
lilin angka 22, kemudian nyala api akan meneduhkanku, mendamaikanku, melibas
semua khayalan yang seharusnya tak perlu kupikirkan. Tapi hingga fajar terbit,
aku masih kedinginan...
Tuanku kembali sibuk di depan komputer. Sesekali ia melirik
telepon genggamnya yang berkali-kali menyala. Aku pikir tuanku cukup sabar
untuk hal itu, seperti diriku yang sedari senja lalu harus menunggu datangnya
waktu dipertemukan dengan orang-orang sabar di penjara suci ini.
Tik tak tik tak...
Bukan lagi suara hujan semalam yang terdengar, tapi bunyi keyboard
komputer murahan yang kini tengah dipandangi dengan khusyu’ layar monitornya.
“Jangan lupa sarapan, Mas. Aku mandi dulu.” Itu pesan singkat
terakhir yang dibacanya.
Aku masih diam dengan penuh kesestiaan. Di kamar biru ini, ia
tak tahu harus berbuat apa, yang ia inginkan mungkin menyelesaikan tulisannya.
Tulisan yang ingin ia persembahkan kepada wanitanya sebagai hadiah ulang tahun
yang ke-22.
Kulihat tuanku mulai mendekatiku, membuka kanopi yang menutupi
tubuhku. Aku tersenyum untuk ke sekian kalinya. Saat ini kuyakini pasti ia akan
melarungkan do’a-do’a setelah menyalakan mahkota lilin di kepalaku.
Dan, lilin di atas angka 22 pun menyala... Segala doa telah ia
pinta kepada Tuhannya. Begitupun setangkup do’a kulangitkan pada sang pencipta
cinta dan senja yang membawaku pada makna setia. Sebelum tubuhku lebur, aku
ingin menyampaikan risalah hujan yang dibawakan langit kepadamu, tuan...
Tapi bagaimana caranya? Apakah tuan cukup peka dengan segala bahasa
yang kuisyaratkan sejak semalam? Tentang kerinduan yang tak berbatas waktu, tentang
kesabaran yang tak terukur kedalaman laut dan ketinggian langit biru.
Aku memendam perih, tuan, saat acapkali kau abaikan. Aku
memendam sakit, tuan, saat kutahu engkau lebih mementingkan orang lain dan
membiarkan diriku dalam kesepian. Aku memendam luka, tuan, saat terkadang kau
memercikan api cemburu di tungku hatiku yang kian abu.
Gerimis tiba-tiba saja jatuh ke pangkuan bumi...
Tuan, aku hanya menyampaikan risalah hati tentang wanita yang ingin
dimengerti. Tentang wanita yang hatinya teramat rapuh. Di hari istimewanya ini,
kuharap tuan tak menorehkan sepi, menghunjamkan belati yang akan membuat
hatinya kian terlukai... []
PPAI, 15 Desember 2015*
*Sebuah
kado persembahkan untuk Lavira Azh-Zahra; Happy Birth Day...:)
Muhrodin
“AM”
adalah laki-laki penyuka senja dan hujan. Saat ini masih menjadi santri di
Pon-pes Al-Ihya ‘Ulumaddin. Kesugihan 1, Cilacap.
2 komentar:
Subhaanallaah. Hmmm... kisan nan apik dan penuh wangi bunga2 jiwa. Barokalloh.
Subhaanallaah. Hmmm... KISAH nan apik dan penuh wangi bunga2 jiwa. Barokalloh.
Posting Komentar