Penyihir Aksara (Malaikat Salju)

Do'a Kalimat Pena By. Muhrodin "AM"

16
Desember

Oleh: Muhrodin “AM”*

Aku tersenyum, saat kulihat diriku begitu cantik. Setiap lapisanku adalah warna-warni pelangi seusai gerimis. Ada lilitan membentuk spiral yang mengelilingi kotak tubuhku. Dan pada tiap sisinya, bunga-bunga lili tersemat begitu manis, semanis senyum seseorang yang tengah memegangi kotak tempatku menyimpan aroma kismis. Sebelum aku akan diantarkan kepada seseorang yang (mungkin) spesial, kepalaku dihiasi dengan sebuah nama yang hari esok akan merayakan ulang tahunnya, “Lavira Az-Zahra”
Hujan turun senja ini. Aku tahu, seseorang yang membawaku sedari tadi hatinya teramat gundah. Gelisah. Pesan singkat yang dikirimnya empat kali tak ada balasan, panggilan telepon genggamnya pun tak ada jawaban. Mungkin seseorang yang akan ditemuinya tengah sibuk. Mungkin tak tahu kalau ada getaran pada telepon genggamnya. Mungkin...
Hujan masih setia menemani kegundahannya. Sesekali telepon genggamnya ia bolak-balik hingga tak terhitung lagi berapa kali ia mengulanginya. Saat terlihat banyak anak laki-laki keluar dari ruang kelas dengan bepakaian ala santri; bersarung dan berpeci, hatinya menggumamkan sebuah asa; berharap seseorang yang akan ditemuinya hadir di depan mata. Tapi kau tahu? Bahkan ia pun belum pernah bertemu dengan seseorang yang ingin ditemuinya, hanya lewat dunia maya ia mengetahui kalau seseorang itu kini tengah berada di penjara suci. Tempat orang-orang mengeja cinta ilahirabbi...
“Mas AM, saya mau silaturrahim ke PPAI; saya sudah menunggu di gerbang.” Bunyi pesan singkat yang dikirimkannya  kepada seseorang yang disapanya dengan sebutan AM.  Aku ikut gelisah. Hujan enggan berbisik. Sebentar lagi senja akan sirna, maghrib akan menggantikannya dengan gelap malam beraroma gerimis bulan Desember. Di tengah kegelisahan yang hampir memburaikan hatinya, ia dapati telepon genggamnya berkedip-kedip. Ada pesan masuk dari seseorang yang sedari tadi ditunggu-tunggu kehadirannya. “Maaf, tadi sedang ada Madin.” Hanya kata itu saja. Ya, hanya kata itu yang ia terima dari seseorang yang (mungkin) bukan siapa-siapanya , yang telah membuatnya menahan segenap luapan emosi serta kesabarannya.
“Mas,  ada SMS atau telepon, nggak? Tadi ada yang bilang, sore ini ada seseorang yang akan mengantarkan kue ke pondok.” Seseorang yang lain pun telah menelan gundah. Bahkan ia mengirimkan bunyi pesan singkat itu berkali-kali berharap signal kali ini benar-benar tak mencemburuinya.
“Iya, sudah dibalas, tapi belum ada jawaban.” Balasan dari yang jauh di pelupuk mata telah melegakan hatinya.
“Coba Mas lihat, katanya dia sudah menunggu di gerbang.”
Seseorang terlihat berjalan dengan terburu-buru menuju gerbang pesantren. Hujan masih teramat setia untuk waktu yang entah ke berapa menjatuhkan tetes-tetes beningnya.
“Maaf, apa Anda yang SMS tadi?”
“Iya.” Sedikit ada gigil kala ia menjawab sebuah tanya yang dijangkarkan di antara rintik hujan.
“ Saya mau memeberikan ini,” lanjutnya. Setelah aku dibiarkan beberapa waktu di atas meja, akhirnya ada seseorang yang memeluk tubuhku, memeluk erat kotak tempatku meredam rindu.
“Terima kasih, dengan apa tadi Anda datang?” kudengar seseorang yang tengah memegangiku bertanya dengan sopan.
“Saya, saya naik Bus.” Jawabnya dengan suara yang ditingkahi hujan dari langit.
“Bagaimana nanti Anda pulang?”
“Nanti masih ada Bus.” Kuperhatikan dari lorong-lorong sunyi yang menyembunyikan tubuhku, ada segurat rasa khawatir yang menyelimuti wajahnya.
“Oh, ya sudah. Terima kasih banyak.”
“Iya.”
“Assalamu’alaikum...”
“Wa’alikum salam...”
Seseorang lain telah membawaku menerabas gerimis. Aku berharap, setelah membuka kotaknya, ia akan tersenyum, senyum yang manis, senyum yang ritmis.
Pelan ia membuka kotak yang menaungiku. Aku tersenyum, baju berwarna ungu yang kukenakan semoga mampu menciptakan rekahan senyum di hatinya. Apalagi kau tahu, bukan? Ada sebuah nama yang tersemat di kepalaku, nama seseorang yang tadi sempat mengabarkan kalau senja ini akan ada orang yang akan menemuinya.
“Lavira Az-Zahra” nama seorang wanita yang ia kenal kurang lebih dua tahun lalu. Lewat bedah karya di sebuah grup kepenulisan yang kebetulan dalam cerita itu ia memakai namanya sebagai tokoh utama.
Ia meletakanku di atas almari pada sebuah kamar remang-remang. Cahaya lampu philips terhalang oleh sebuah kertas yang sengaja dipasang oleh tuannya untuk menyamarkan  cahaya lampu yang menyala.
“Sampaikan salam maafnya, ya. Sepertinya dia kesorean.” Sebuah pesan singkat ia kirimkan kepada wanitanya.
Telepon genggam berkedip dua kali, “Iya. Mungkin ia juga tidak tahu kalau mas ada kegiatan. Maghrib dulu, ya...,” ia meletakan telepon genggamnya, setelah membaca pesan singkat yang baru diterima.
Aku masih khidmat menyimak suara adzan yang begitu merdu. Sesekali, suara orang-orang yang entah siapa memancingku ingin segera keluar dari tempat perlindungan. Tapi aku harus sabar, aku yakin seseorang yang kini menjadi tuanku tengah berpikir akan diapakan aku ini? Diletakan begitu saja di atas almari hingga esok pagi, atau malam nanti aku akan diekskusi? Aku tak mampu menangkap imajinasinya sekadar dari caranya tersenyum. Mungkin ia akan membagi-bagikanku kepada rekan-rekan kompleknya, mungkin kepada rekan-rekan kamar yang dibinanya, atau mungkin kepada rekan-rekannya yang lain? Entahlah... itu tak begitu penting untukku, yang terpenting adalah setiap orang yang melihatku akan bahagia, akan jatuh cinta dengan pesona bunga-bunga yang melekat di antara tubuh dan mahkotaku.
Kulihat tuanku mengulum senyum, senyum keceriaan. Ya, tak salah lagi, meski aku masih dibiarkan teronggok begitu saja di atas perapian, tapi aku cukup sabar menunggu datangnya waktu seseorang yang akan menelanjangiku, kemudian membelah seluruh tubuhku. Masih ada waktu sekitar empat jam lagi menuju moment itu. moment yang semoga akan membuatnya bahagia dengan untaian do’a-do’a yang dilangitkan pada Tuhan di bawah naungan malam.
Tik tik tik tik...
Malam menunjukkan pukul 21.22 WIB. Tuanku sibuk di depan komputer, entah apa yang dituliskannya. Mungkin ia tengah merangkai kata-kata sebagai ucapan ‘selamat ulang tahun’ buat wanitanya yang jauh di batas kota, atau mungkin hatinya mulai didera kerinduan kepada seseorang yang entah siapa, aku tak tahu. Nyatanya hingga malam larut, aku masih dibiarkannya begitu saja. Malah kulihat ada seseorang yang mengajaknya untuk segera ke kantor pesantren. Mungkin dia sibuk. Mungkin ada rapat rutin.
Happy Birth Day, harusnya kata itu telah diucapkannya sejak satu jam yang lalu, setidaknya lewat pesan singkat atau BBM. Dan tubuhku seharusnya sudah terbelah. Ya, seharusnya...
Aku menunggu moment itu, di mana kepalaku dihiasi dengan mahkota lilin angka 22, kemudian nyala api akan meneduhkanku, mendamaikanku, melibas semua khayalan yang seharusnya tak perlu kupikirkan. Tapi hingga fajar terbit, aku masih kedinginan...
Tuanku kembali sibuk di depan komputer. Sesekali ia melirik telepon genggamnya yang berkali-kali menyala. Aku pikir tuanku cukup sabar untuk hal itu, seperti diriku yang sedari senja lalu harus menunggu datangnya waktu dipertemukan dengan orang-orang sabar di penjara suci ini.
Tik tak tik tak...
Bukan lagi suara hujan semalam yang terdengar, tapi bunyi keyboard komputer murahan yang kini tengah dipandangi dengan khusyu’ layar monitornya.
“Jangan lupa sarapan, Mas. Aku mandi dulu.” Itu pesan singkat terakhir yang dibacanya.
Aku masih diam dengan penuh kesestiaan. Di kamar biru ini, ia tak tahu harus berbuat apa, yang ia inginkan mungkin menyelesaikan tulisannya. Tulisan yang ingin ia persembahkan kepada wanitanya sebagai hadiah ulang tahun yang ke-22.
Kulihat tuanku mulai mendekatiku, membuka kanopi yang menutupi tubuhku. Aku tersenyum untuk ke sekian kalinya. Saat ini kuyakini pasti ia akan melarungkan do’a-do’a setelah menyalakan mahkota lilin di kepalaku.
Dan, lilin di atas angka 22 pun menyala... Segala doa telah ia pinta kepada Tuhannya. Begitupun setangkup do’a kulangitkan pada sang pencipta cinta dan senja yang membawaku pada makna setia. Sebelum tubuhku lebur, aku ingin menyampaikan risalah hujan yang dibawakan langit kepadamu, tuan...
Tapi bagaimana caranya? Apakah tuan cukup peka dengan segala bahasa yang kuisyaratkan sejak semalam? Tentang kerinduan yang tak berbatas waktu, tentang kesabaran yang tak terukur kedalaman laut dan ketinggian langit biru.
Aku memendam perih, tuan, saat acapkali kau abaikan. Aku memendam sakit, tuan, saat kutahu engkau lebih mementingkan orang lain dan membiarkan diriku dalam kesepian. Aku memendam luka, tuan, saat terkadang kau memercikan api cemburu di tungku hatiku yang kian abu.
Gerimis tiba-tiba saja jatuh ke pangkuan bumi...
Tuan, aku hanya menyampaikan risalah hati tentang wanita yang ingin dimengerti. Tentang wanita yang hatinya teramat rapuh. Di hari istimewanya ini, kuharap tuan tak menorehkan sepi, menghunjamkan belati yang akan membuat hatinya kian terlukai... []

PPAI, 15 Desember 2015*
*Sebuah kado persembahkan untuk Lavira Azh-Zahra; Happy Birth Day...:)


Muhrodin “AM” adalah laki-laki penyuka senja dan hujan. Saat ini masih menjadi santri di Pon-pes Al-Ihya ‘Ulumaddin. Kesugihan 1, Cilacap.

2 komentar:

Subhaanallaah. Hmmm... kisan nan apik dan penuh wangi bunga2 jiwa. Barokalloh.

Subhaanallaah. Hmmm... KISAH nan apik dan penuh wangi bunga2 jiwa. Barokalloh.

Posting Komentar

X-Steel - Link Select

About this blog

Diberdayakan oleh Blogger.