Penyihir Aksara (Malaikat Salju)

Do'a Kalimat Pena By. Muhrodin "AM"

16
November

Oleh: Muhrodin “AM”*

Jika ada hal terindah di dunia ini setelah cinta, itu adalah senja. Betapa ia dengan begitu bijaksana telah mengajarkan arti kesetiaan setelah sebelumnya ia sempat mempertemukan dua hati di sepotong senja yang syahdu. Sepotong senja yang menjadikan awal ihwal cinta itu bermula...
Zahara, aku tak pernah menyesali perpisahan kita, meski jika Tuhan mengizinkan, atau bahkan bila aku boleh memilih, ‘aku akan memilih kita tak pernah bertemu’, apatah kau tahu, betapa sakitnya menuai rasa kehilangan? Zahara, kehilanganmu seperti sepotong senja yang muram, meski nyatanya perihal senja adalah makna kesetiaan.
Seperti senja ini, saat sebelum engkau benar-benar telah pergi hingga menjadikannya hati ini giris.
“Apa jika aku pulang, akankah ada yang kehilangan?” itu pertanyaan yang teramat sulit untuk kujawab, Zahara. Kau tahu, sedikit banyak teman-temanmu telah mengharapkanmu, atau lebih dari itu, mereka telah menjadikanmu laksana jauhara di antara lukisan semu. Meski kutahu, itu sama sekali tak akan mempengaruhi keberadaanmu untuk tetap di sini. Jika kau akan pergi, setidaknya pikirkanlah sekali lagi, “Sebab dan untuk apakah kau ke sini, Zahara?” itu pertanyaanku yang kuharap akan kau jawab dengan sepenuh perenungan.
Mungkin, penjara suci tempat kita menuntut ilmu tak sesuai dengan harapanmu, atau bahkan tak membuatmu nyaman? Mengertilah, Zahara, bukankah di mana tempat ber-tholabul ilmi adalah sama? Kitalah yang harus pandai menggunakan kesempatan yang telah Tuhan berikan, setidaknya dengan belajar itulah bukti rasa syukur kita kepada sang pencipta segala kebaikan, pun kedamaian.
“Kerapkali aku kesulitan mengatur waktu, Ziz. Hingga aku merasa begitu tertekan.” Dan lagi, itu ceritamu yang kau sampaikan lewat semilir angin, tepat di sepertiga malam yang hening.
“Benarkah kau akan pergi, Zahara?” akhirnya, kuberanikan menuangkan tanya demi beroleh jawab yang sebenar terang, sebelum malam benar-benar telah punai bersama sayap-sayap keangkuhan.
“Entahlah, aku butuh waktu…” kau pun masih menggantungkan jawabanmu.
“Hanya masalah waktu, Zahara… setelah kau mampu merasai betapa indahnya arti kebersamaan, jua perjuangan tuk menggapai kesuksesan, kau bahkan bisa jadi tak akan lagi mau berpisah dengan tempat ini. Tempat yang menjadikanmu mengerti, betapa kenangan adalah harga yang teramat mahal dan setimpal untuk sebuah kesedihan.  Percayalah, Zahara… aku memang hanya sebatas karibmu, tapi jujur, aku ingin engkau tetap di sini meraih mimpi, menggantungkan cinta dan cita-citamu di atas arasy, di atas langit tempat kita meretas ridha Ilahirabbi.”
Zahara, lagi-lagi kau menanam resah di hatiku. Aku menunggu di batas senja, sebelum temaram dengan jubahnya benar-benar telah menelikung keberadaanmu. Aku mafhum dengan keadaanmu yang ababil, meski jujur, aku pun jauh lebih ababil, tapi haruskah hingga malam tengah meraja engkau rela menancapkan silsilah rindu ini hingga mentari menjemput pagi?
“Kemanakah engkau, Zahara…” gumamku dalam gugu. Bisu. Mungkin beginilah cara Tuhan mencemburui hambanya yang teramat merindukanmu. Meski ini bukan kali pertama kau menghilang tanpa kabar, tapi hatiku teramat belah, Zahara; tangis batinku tak kuasa menahan gejolak luka karena percaya atau tidak, engkaulah muara do’a…
Saat malam lindap, engkau mengirimkan aroma serupa zaqum di bilik nisbiku. Dengan kata yang patah-patah, kauutarakan niat teguhmu bila kau akan meninggalkanku, meninggalkan penjara suci yang telah berbilang waktu menjadikanmu bidadari yang senantiasa aku tunggu. Aku rindu.
“Maaf, Ziz…” kata itulah yang pertama terucap dari bibirmu, yang meski bila tersenyum teramat manis hingga mampu membuat setengah kesadaranku terbang jauh ke awan, tapi kali ini… kekatamu membuat aku patah, limbung bak diterpa angin halimun.
“Aziz, telah kupikirkan dengan segenap perenungan, bahwa tekadku kali ini sudah bulat, aku akan pindah dari sini, Ziz. Maafkan aku…” aku tak mampu melihat wajahmu saat itu, saat kau katakan permohonan maafmu karena akan meninggalkanku. Tapi tahukah kamu, Zahara… saat itulah, airmata tak cukup tuk menebus luka yang ceruknya teramat dalam. Teramat hunjam.
Apa yang bisa  dilakukan oleh seorang lelaki lemah sepertiku, Zahara… aku semakin makbul dalam kenisbian. Tapi engkau telah banyak mengajarkan arti menyayangi, mencintai, bahkan lewat senja yang telah mempertemukan kita, kau ajarkan aku makna setia. Saat kau memutuskan untuk pergi, -sekali lagi- meski aku hanyalah sebatas karibmu, jujur dari lubuk hati terdalam, aku menyayangimu, Zahara… tuntaskah waktu kebersamaan kita? Apakah hanya sampai di sini rajutan cerita sepotong senja dan makna setia yang teramat dipuja-puja? Jika boleh kumeminta, aku ingin waktu berhenti tepat saat kita tengah bersama, Zahara… agar tak akan ada kata berpisah meski hanya satu detik saja.
“Jangan terlalu dipikirkan,” itulah kekatamu saat aku mengeluhkan bahwa aku tak cukup kuasa menahan gejolak rindu ketika jarak dan waktu menjadi musuh yang tak pernah mengenal damai.
“Maukah kau mengirimkan sepotong senja untukku, Zahara? sebagai tanda bahwa meski nanti kita ‘kan berpisah jauh, kita masih sama-sama saling mengingat, bersulam do’a lewat angin kembara yang tiap senja ‘kan kukirimkan untukmu.”
Senja mendadak bisu; halus kekatamu pun tak cukup mampu tuk mengusiknya dari rasa resahku. Saat itulah, aku benar-benar ingin lesap ke dalam bumi...
“Setelah aku pergi, do’akanlah aku mampu mengarungi samudera yang baru dengan bahtera cita-cita dan layar pengharapan, Ziz. Begitu pun engkau, gapailah bintang di awan-gemawan, agar pendarnya mampu kau persembahkan untuk orang-orang yang kau sayangi…”
Harapanku, sebelum senja tengah berpulang; izinkanlah setiaku sebagai hantaran cahaya pelebur remang, meski hingga akhirnya kita akan sama-sama lesap ditelan kegelapan malam. Zahara, sekalipun kini engkau tak lagi bersamaku, namun mengertilah duhai bidadari kirmiziku, rindu dan setiaku tetaplah milikmu… [*]

Secretariat PPAI, 30 Oktober 2015
22:20 am
Muhrodin “AM”
Adalah laki-laki penyuka senja dan hujan. Saat ini ia masih nyantri di Pon-pes Al-Ihya ‘Ulumaddin, Kesugihan 1, Cilacap, Jawa Tengah. Ia bisa diakrabi melalui Fb. Muhammad Amirudin / Twitter: @MuhrodinAM. Buku terbarunya, kitab Puisi dan Cerpen “Hujan pun Enggan Berbisik” terbit di Pena House, 2015. 

0 komentar:

Posting Komentar

X-Steel - Link Select

About this blog

Diberdayakan oleh Blogger.