Penyihir Aksara (Malaikat Salju)

Do'a Kalimat Pena By. Muhrodin "AM"

02
November

By. Muhrodin “AM”*
***

 “Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada-Mu dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri."[1]
Tak seharusnya aku mengecewakan mereka lagi, lagi dan lagi. Sudah cukuplah bagiku tak mengindahkan kata-kata beliau yang sedari satu tahun lalu menginginkanku untuk menjadi seorang sarjana! Juga waktu SMA, yang tanpa sepengetahuan mereka aku telah mendzalimi uang sekolahku untuk keperluan yang entah. Hingga surat pemberitahaun dari pihak sekolah telah membuat Bapak dan Ibu menelan ‘Pil pahit’ demi sakit yang diderita karena ulah anakmu ini. Oh, Ibu, Ibu, Ibu, Bapak, maafkan anakmu...
Sungguh  berdosa sekali bila aku tak lagi mampu membuktikan baktiku kepada mereka, kutahu sedari dulu Bapak dan Ibu tak pernah menuntutku untuk menjadi seperti ini, seperti itu. Kini, di usianya yang kian senja, mereka hanya menginginkan anaknya agar cepat wisuda, kembali bersama mereka menghirup udara dalam satu atap penuh kidung renjana.
Lihatlah, Ibu, kini anakmu tengah berusaha dan berdo’a untuk setangkup harap itu. Meski tak kupungkiri, ada sedikit rasa ragu karena melihat jadwal wisuda yang kian mencekik tekadku. Tanggal 04 Oktober nanti adalah terakhir jadwal munaqosah, dan tanggal 07 adalah terakhir pendaftaran wisuda. Tapi, untuk seminar proposalku pun aku belum tahu. Meski kini aku sudah selesai dalam penulisan skripsinya, tetapi rasa takut itu selalu menjadi hantu di setiap mimpi-mimpiku.
Sekiranya waktu itu Dosen Pembimbing tak sedikit berbaik hati memberikan acc-nya, mungkin saat ini aku lebih ‘galau’ lagi. Aku telah meyakinkan Bapak dan Ibu jauh-jauh hari dengan mengatakan bahwa aku telah menyelesaikan semuanya, tapi sungguh, itu hanya kata-kata untuk mengelabuhi agar mereka tak terus bertanya, ‘Sudah selesai belum skripsinya?’, dengan pertanyaan yang seperti itu-itu saja! Dan betapa durhakanya aku sebagai anak yang berani-beraninya membohongi orang tua.
 Kini, dengan sepenuh peluh, anakmu berusaha mengejar-ngejar mimpi yang sedikit lagi akan dipeluknya. Meski jadwal mengaji terkadang harus terabaikan, kegiatan-kegiatan lain harus ditangguhkan, dan bahkan untuk hampir tiga malam terakhir selalu tidur empat atau bahkan hanya tiga jam saja, semua ini demi menebus dosa yang terlanjur kulakukan, juga demi 19 Oktober yang semoga akan menjadi saksi satu baktiku untuk merengkuh ridha Bapak dan Ibu.
Sabtu lalu karena kelalaianku, aku tak dapat menemui Dosen Pembimbing karena alasan yang klise; datang terlambat, aku bertingkah seolah semuanya akan baik-baik saja. Hingga mau tak mau waktu bimbingan harus diundur beberapa hari ke depan, harapanku sekali bimbingan langsung acc lagi, seperti kala bimbingan proposal skripsi, yang karena entah alasan apa? Beliau  langsung membubuhkan tanda tangannya di lembar pertama proposal skripsinya. Harapan yang ‘konyol’ memang, tetapi di dunia ini apa sih, yang nggak mungkin? Sekali saja Tuhan berkehendak, maka jadilah!
Aku lelah, ya kuakui aku amat lelah untuk hari-hari ini. Setelah bimbingan esok, jika pun sudah di acc, masih ada proses ‘review-seminar-perbaikan nilai-daftar munaqosah-melunasi semua administrasi plus semeter tunggu-yudisium, dll.’ Dan, apakah aku bisa melewati batu-batu terjal itu untuk menuju altar keagungan? Tuhan, aku tak pernah lupa akan kewajibanku sebagai seorang hamba; berusaha dan merapal sulur do’a. Selebihnya, aku pasrah. Aku berserah.
Kutahu Engkau tak akan menguji seseorang di luar batas sanggupnya, tapi sekiranya dalam sujudku Engkau tak menghendaki hamba untuk mengikuti wisuda tahun ini, kuyakin QudrahMu adalah yang terbaik untukku. Meski kuharus rela melepas statusku sebagai mahasiswa ‘gagal’, terlebih harus kembali ke kampung halaman dengan menanggalkan status santriku, juga pesantren yang darinya telah banyak kucecap pahit asin manisnya kehidupan, aku rela jika nantinya harus kembali tanpa gelar sarjana.
Jikalau nanti aku tak mampu memberikan yang ‘istimewa’ kepada Bapak dan Ibu, cukuplah perkenankan do’a tulus anakmu sebagai persembahan.
“Ya Allah, ampunilah dosaku dan dosa kedua Bapak Ibuku,[2] serta kasihilah mereka berdua, sebagaimana mereka mengasihiku di waktu kecil".[3]
Terkadang aku berpikir bahwa waktuku di sini tak akan lama lagi, entah aku pulang dengan membawa gelar sarjana, atau bahkan mungkin hanya sebagai pecundang. Diakui atau tidak, aku terlalu takut untuk berpisah dengan Al-ihya’[4]. Tak ada alasan yang paling rasional untuk ditafsirkan, karena memang terkadang rasa takut tidaklah membutuhkan sebuah alasan. Meski jua tak kudustakan, waktu dengan tangan-tangan takdirnya akan tetap memisahkan raga, membawaku ke pusara cinta di mana mimpiku harus bermuara.
Dan muaranya kini sudah jelas, hanya ridha dan untaian maaf dari Bapak Ibu tercinta, yang tiap katanya adalah do’a, dan ridhanya adalah jalan menuju surga-Nya.
***
PPAI, 22 September 2014*
Muhrodin “AM”
Santri di Pon-pes Al-ihya ‘Ulumaddin, Kesugihan 1, Cilacap, Jawa Tengah. J
Hp. 082322523513




[1] Q.S. Al-Ahqaaf: 15
[2] Q. S. Nuh: 28
[3] Q. S. Al-Israa’: 24
[4] Pon-pes Al-ihya ‘Ulumaddin, Kesugihan 1, Cilacap.

0 komentar:

Posting Komentar

X-Steel - Link Select

About this blog

Diberdayakan oleh Blogger.