By. Muhrodin “AM”*
***
“Kami
perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya,
ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula).
mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia
telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: "Ya Tuhanku,
tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau berikan kepadaku
dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau
ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku.
Sesungguhnya aku bertaubat kepada-Mu dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang
yang berserah diri."[1]
Tak seharusnya aku mengecewakan mereka lagi, lagi dan lagi. Sudah
cukuplah bagiku tak mengindahkan kata-kata beliau yang sedari satu tahun lalu
menginginkanku untuk menjadi seorang sarjana! Juga waktu SMA, yang tanpa
sepengetahuan mereka aku telah mendzalimi uang sekolahku untuk keperluan
yang entah. Hingga surat pemberitahaun dari pihak sekolah telah membuat Bapak
dan Ibu menelan ‘Pil pahit’ demi sakit yang diderita karena ulah anakmu ini.
Oh, Ibu, Ibu, Ibu, Bapak, maafkan anakmu...
Sungguh berdosa sekali bila
aku tak lagi mampu membuktikan baktiku kepada mereka, kutahu sedari dulu Bapak
dan Ibu tak pernah menuntutku untuk menjadi seperti ini, seperti itu. Kini, di
usianya yang kian senja, mereka hanya menginginkan anaknya agar cepat wisuda,
kembali bersama mereka menghirup udara dalam satu atap penuh kidung renjana.
Lihatlah, Ibu, kini anakmu tengah berusaha dan berdo’a untuk
setangkup harap itu. Meski tak kupungkiri, ada sedikit rasa ragu karena melihat
jadwal wisuda yang kian mencekik tekadku. Tanggal 04 Oktober nanti adalah
terakhir jadwal munaqosah, dan tanggal 07 adalah terakhir pendaftaran wisuda.
Tapi, untuk seminar proposalku pun aku belum tahu. Meski kini aku sudah selesai
dalam penulisan skripsinya, tetapi rasa takut itu selalu menjadi hantu di
setiap mimpi-mimpiku.
Sekiranya waktu itu Dosen Pembimbing tak sedikit berbaik hati
memberikan acc-nya, mungkin saat ini aku lebih ‘galau’ lagi. Aku telah
meyakinkan Bapak dan Ibu jauh-jauh hari dengan mengatakan bahwa aku telah
menyelesaikan semuanya, tapi sungguh, itu hanya kata-kata untuk mengelabuhi
agar mereka tak terus bertanya, ‘Sudah selesai belum skripsinya?’, dengan
pertanyaan yang seperti itu-itu saja! Dan betapa durhakanya aku sebagai anak
yang berani-beraninya membohongi orang tua.
Kini, dengan sepenuh peluh,
anakmu berusaha mengejar-ngejar mimpi yang sedikit lagi akan dipeluknya. Meski
jadwal mengaji terkadang harus terabaikan, kegiatan-kegiatan lain harus
ditangguhkan, dan bahkan untuk hampir tiga malam terakhir selalu tidur empat
atau bahkan hanya tiga jam saja, semua ini demi menebus dosa yang terlanjur
kulakukan, juga demi 19 Oktober yang semoga akan menjadi saksi satu baktiku untuk
merengkuh ridha Bapak dan Ibu.
Sabtu lalu karena kelalaianku, aku tak dapat menemui Dosen
Pembimbing karena alasan yang klise; datang terlambat, aku bertingkah
seolah semuanya akan baik-baik saja. Hingga mau tak mau waktu bimbingan harus
diundur beberapa hari ke depan, harapanku sekali bimbingan langsung acc lagi,
seperti kala bimbingan proposal skripsi, yang karena entah alasan apa?
Beliau langsung membubuhkan tanda
tangannya di lembar pertama proposal skripsinya. Harapan yang ‘konyol’
memang, tetapi di dunia ini apa sih, yang nggak mungkin? Sekali saja Tuhan
berkehendak, maka jadilah!
Aku lelah, ya kuakui aku amat lelah untuk hari-hari ini. Setelah
bimbingan esok, jika pun sudah di acc, masih ada proses ‘review-seminar-perbaikan
nilai-daftar munaqosah-melunasi semua administrasi plus semeter
tunggu-yudisium, dll.’ Dan, apakah aku bisa melewati batu-batu terjal itu
untuk menuju altar keagungan? Tuhan, aku tak pernah lupa akan kewajibanku
sebagai seorang hamba; berusaha dan merapal sulur do’a. Selebihnya, aku pasrah.
Aku berserah.
Kutahu Engkau tak akan menguji seseorang di luar batas sanggupnya,
tapi sekiranya dalam sujudku Engkau tak menghendaki hamba untuk mengikuti
wisuda tahun ini, kuyakin QudrahMu adalah yang terbaik untukku. Meski
kuharus rela melepas statusku sebagai mahasiswa ‘gagal’, terlebih harus kembali
ke kampung halaman dengan menanggalkan status santriku, juga pesantren yang
darinya telah banyak kucecap pahit asin manisnya kehidupan, aku rela jika nantinya
harus kembali tanpa gelar sarjana.
Jikalau nanti aku tak mampu memberikan yang ‘istimewa’ kepada Bapak
dan Ibu, cukuplah perkenankan do’a tulus anakmu sebagai persembahan.
“Ya Allah, ampunilah dosaku dan dosa kedua Bapak Ibuku,[2]
serta kasihilah mereka berdua, sebagaimana mereka mengasihiku di waktu kecil".[3]
Terkadang aku berpikir bahwa waktuku di sini tak akan lama lagi,
entah aku pulang dengan membawa gelar sarjana, atau bahkan mungkin hanya
sebagai pecundang. Diakui atau tidak, aku terlalu takut untuk berpisah dengan
Al-ihya’[4]. Tak
ada alasan yang paling rasional untuk ditafsirkan, karena memang terkadang rasa
takut tidaklah membutuhkan sebuah alasan. Meski jua tak kudustakan, waktu dengan
tangan-tangan takdirnya akan tetap memisahkan raga, membawaku ke pusara cinta
di mana mimpiku harus bermuara.
Dan muaranya kini sudah jelas, hanya ridha dan untaian maaf dari
Bapak Ibu tercinta, yang tiap katanya adalah do’a, dan ridhanya adalah jalan
menuju surga-Nya.
***
PPAI, 22 September 2014*
Muhrodin
“AM”
Santri
di Pon-pes Al-ihya ‘Ulumaddin, Kesugihan 1, Cilacap, Jawa Tengah. J
Hp.
082322523513
0 komentar:
Posting Komentar