Penyihir Aksara (Malaikat Salju)

Do'a Kalimat Pena By. Muhrodin "AM"

27
April


By. Muhrodin ‘AM’*
~**~

Hai, tahukah kau? Sudah kurang-lebih delapan tahun di sini ternyata baru kali ini aku datang menemuinya; Widara Payung Beach.
Teluk Penyu, Benteng Pendem, Nusa Kambangan, Bunton, Selok,  dan WP, adalah sekian dari banyaknya tempat wisata yang ada di daerah Cilacap. Iya, Cilacap, yang terkenal dengan penjara di tengah lautnya. ^_^.
Tepat ketika jam di layar handphoneku menunjukkan angka palindrom; 13.31 WIB, seorang teman yang sedang inbox-an di fb, said,
“Aku sedang bingung,” katanya.
“Bingung kenapa?”
“Mau check in lokasi ke Widara Payung tapi nggak ada temen and kendaraannya.”
“Kamu bisa naik motorcycle, nggak? Nanti aku temenin.” Tawarku, sok baik.
“Bisa. Emang kamu tahu tempatnya?”
“Tahu lah, WP, kan?” jawabku, yakin.
Akhirnya kami berangkat setelah sebelumnya meminjam motorcycle ke teman komplek Sabilul Hidayah.
“Nanti setelah dari WP langsung antarkan aku ke English Stars, ya? Tepat jam 15.00,” kataku sambil memberikan contak kepadanya.
lima belas menit lewat lima puluh satu detik kami sudah sampai di jalan Selok; lebih jauh sekitar tiga ratus tiga meter dari tikungan menuju ke Selok Mount.
“Kita mau ke WP, kan?” sergahku pada ia yang masih terus melaju.
“Iya, what happen?”
“Kamu tahu WP nggak, sih?”
“Nggak, lah tadi katanya kamu yang tau?”
“Eh, jalannya sudah kelewat, itu yang tikungan ke kanan.”
Sssttt, motor pun berhenti sejenak, kemudian balik arah menuju jalan yang semenit lalu kukatakan. Setelah akan menuju ke tikungan jalan, suddenly,
“Itu Selok Beach, Mr…” katanya, dan aku pun mulai berpikir keras.
“Oya, aku lupa! I am so sorry, Selok sama WP different, ya?” tanyaku, sambil menyunggingkan senyum paling culun yang kusimpan sebelumnya. “Ya udah, kita balik lagi.” Lanjutku, seenaknya.
Motor ‘pinjaman’ kami kembali melaju dengan kecepan sekencang badai. Di perempatan jalan lurus, ada tikungan ke kanan yang bertuliskan ‘Pantai Widara Payung’, kami pun memasukinya.
“Aku belum pernah ke sini.” Desisku pelan, dan suaranya terbawa angin; semisal tak terdengar.
Setelah sampai di pintu masuk kawasan wajib ‘membayar’, kami berhenti mendekati satpam; seorang bapak-bapak yang aku taksir umurnya sekitar 60-an.
“Maaf, pak, mau tanya. Rumahnya bapak kepala desa di mana, ya? Kami mau minta izin, because, kami berencana mau mengadakan acara DIKLATSAR di sini.” Tanyaku, sok ramah.
“Oh, rumahnya pak kepala desa ada di sana,” sambil mengacungkan jari telunjuknya. “Dari perempatan belok kanan, lurus, sampai di mushala yang ke-3 kanan jalan.”
“Jadi mushala yang ke tiga ya, pak?” *mungkin saya mulai kepo :v
“Iya, yang rumahnya ada mushalanya itu rumahnya pak kepala desa.”
“Oh iya pak, thank you. Kalau kami mau masuk sebentar, boleh nggak, pak? Survey lokasi.” Alasanku, mupeng and modus. :D
“Iya boleh, please, enter saja.”
Yeeyyy, kami pun langsung masuk tanpa harus membayar karcis alias free.
Setelah sampai di pinggir pantai, kami turun dan langsung melangkah cepat-cepat menuju ombak yang bergelombang.
“Indah juga ya pantainya, banyak tempat untuk berjemur, like di pantai Kuta, pulau Bali. Hehe…”
Kawanku terus melangkah hingga sempurna air laut menggagahi kulit kakinya.
Ten minutes later, kami memutuskan untuk mencari lokasi yang tepat untuk acara DIKLATSAR esok; untuk stay awal, acara bersih-bersih, break, etc. Ya, tak jauh dari pantainya, kami menemukan lokasi yang pas buat stay dan penyampaian materi.
And then, kami melanjutkan misinya berkunjung ke persinggahan pak kepala desa. Kembali melewati palang pintu itu, kami menyunggingkan senyum terimakasih kepada bapak satpam yang telah memberikan izinnya untuk sekadar muter-muter di sekian panjang jalan pantai Widara Payung.
Tok, tok, tok, Excuse me…
Assalamu’alaikum…” sampai dua kali, kami pun terduduk-berharap-ada yang membukakan pintu dari dalam. Sepi, senyap, sepertinya memang bapak kepala desa sedang ada meeting. #Eh, tapi ‘kan sekarang imlek? XD.
“Besok kamu ke sini lagi aja, sambil membawa surat permohonan izin,” kataku pada ia yang masih duduk di depan mushala.
“Sambil dipersiapkan apa-apa yang sekiranya perlu ditanyakan kepada beliau.” Lanjutku, sok perhatian. *padahal sih, sudah pingin pulang. :v
Satu menit, dua menit, kami pun memutuskan untuk come back. Namun sebelumnya sempat singgah di warung desa untuk memberi sedikit minum motorcycle-nya yang mulai sekarat karena kehausan.
Di seperempat jalan pulang,
“Contak motornya mana, Sir?” aku menanyakannya karena tak kupegang seperti tadi kala waktu kami berangkat dan berhenti.
“Nggak sama kamu, sih?” ia malah balik bertanya.
“Nggak, terakhir kamu ngasih ke aku waktu di depan rumah pak kepala desa, after that kita beli minum dan kemudian go.”
Kami memutuskan untuk kembali mencari contak yang sempat lari dari tempatnya bersemedi. Sudah balik dan balik lagi, tapi tetap tak kami temukan rimbanya. Aku hubungi seorang teman yang ada di komplek untuk menyambungkan suaraku yang karena bukan kebetulan aku tak memilik nomor handphone teman yang kami pinjami motornya.
Hello, contak motornya jatuh nggak tahu di mana, Sir. kamu ada duplikatnya nggak? Tadi lupa nggak diambil, waktu udah di jalan baru ingat dan ternyata udah nggak ada.” Panjang kali lebar aku menjelaskan.
“Nggak ada, kan tadi udah bilang, jangan lupa contaknya diambil, ‘cause bisa jatuh sendiri. Dan ternyata kamu lupa, ya udah, dicari dulu aja.” Begitulah kira-kira jawabannya, yang akhirnya mau tak mau kami harus balik lagi untuk mencari sebutir contak itu.
Zoonk! Itulah yang kami terima, setelah terhitung empat kali kami bolak-balik memicingkan mata tajam-tajam menyusuri setiap rerumputan dan semak-semak yang ada di sepanjang perjalanan.
“Gimana ini? Ada ide nggak?” tanyaku, mulai khawatir.
“Aku juga nggak tahu, padahal kita sudah bolak-balik empat kali tapi kok nggak ketemu juga, ya?”
“Ya udah, kita cari tukang duplikat kunci aja.” Usulku
“Di mana?”
“Di Adipala, semoga saja ada.”
Terang saja, before perempatan Adipala memang ada tukang duplikat kunci motor. Dan kami pun berhenti menghampiri.
“Bisa bikin kunci, Mas. Tapi nggak ada duplikatnya, tadi contaknya jatuh di jalan.”
“Bisa, bisa.” Jawabnya, antusias. “Tapi sedikit mahal.”
“Berapa, Mas?” tanyaku kemudian.
“Rp. 20.000,00,-“
“Oh, cuma Rp. 20.000,00,- nggak apa-apa, Mas.” #Eh, sombongnya aku. :D. Di pikiranku, kukira nyampe ratusan ribu. Hehehe *experience…
Kurang dari sepuluh menit, contak sudah ready, kami pun go dengan sebelumnya mengucapkan terimakasih.
Mendung menggantung di seluas langit Kesugihan, mungkin hujan akan segera turun. Gelap lebih cepat membekap sunyiku yang menemani senja ini.
“Mampir di café #Leksu, ya? Kita minum sebentar.” kataku memecah keheningan.
Kami memesan Cappuccino dan Pisang Bakar Cokelat, baru beranjak pulang ketika hujan benar-benar telah mengguyur bumi Kesugihan. Hujan di sepotong senja ini sempurna mencipta gigil di sekujur tubuhku. Tiba-tiba, mindsetku melayang mengingat seseorang yang kepada ia darah cintaku pernah kuteteskan.
“Layla, where are you?” []
Di Bawah Langit Al-ihya, 19 February 2015*


0 komentar:

Posting Komentar

X-Steel - Link Select

About this blog

Diberdayakan oleh Blogger.