By. Muhrodin ‘AM’*
~**~
Hai, tahukah kau? Sudah kurang-lebih delapan tahun di sini
ternyata baru kali ini aku datang menemuinya; Widara Payung Beach.

Tepat ketika
jam di layar handphoneku menunjukkan angka palindrom; 13.31 WIB, seorang teman
yang sedang inbox-an di fb, said,
“Aku sedang
bingung,” katanya.
“Bingung
kenapa?”
“Mau check in lokasi ke
Widara Payung tapi nggak ada temen and kendaraannya.”
“Kamu bisa
naik motorcycle, nggak? Nanti aku temenin.” Tawarku, sok baik.
“Bisa. Emang
kamu tahu tempatnya?”
“Tahu lah,
WP, kan?” jawabku, yakin.
Akhirnya kami berangkat setelah sebelumnya meminjam motorcycle ke teman komplek
Sabilul Hidayah.
“Nanti
setelah dari WP langsung antarkan aku ke English Stars, ya? Tepat jam 15.00,”
kataku sambil memberikan contak kepadanya.
lima belas
menit lewat lima puluh satu detik kami sudah sampai di jalan Selok; lebih jauh sekitar tiga ratus tiga meter dari tikungan menuju ke Selok
Mount.
“Kita mau ke
WP, kan?” sergahku pada ia yang masih terus melaju.
“Iya, what
happen?”
“Kamu tahu
WP nggak, sih?”
“Nggak, lah
tadi katanya kamu yang tau?”
“Eh,
jalannya sudah kelewat, itu yang tikungan ke kanan.”
Sssttt, motor pun
berhenti sejenak, kemudian balik arah menuju jalan yang semenit lalu kukatakan.
Setelah akan menuju ke tikungan jalan, suddenly,
“Itu Selok
Beach, Mr…” katanya, dan aku pun mulai berpikir keras.
“Oya, aku
lupa! I am so sorry, Selok sama
WP different, ya?” tanyaku, sambil menyunggingkan senyum paling culun
yang kusimpan sebelumnya. “Ya udah, kita balik lagi.” Lanjutku, seenaknya.
Motor
‘pinjaman’ kami kembali melaju dengan kecepan sekencang badai. Di perempatan
jalan lurus, ada tikungan ke kanan yang bertuliskan ‘Pantai Widara Payung’,
kami pun memasukinya.
“Aku belum
pernah ke sini.” Desisku pelan, dan suaranya terbawa angin; semisal tak
terdengar.
Setelah
sampai di pintu masuk kawasan wajib ‘membayar’, kami berhenti mendekati satpam;
seorang bapak-bapak yang aku taksir umurnya sekitar 60-an.
“Maaf, pak,
mau tanya. Rumahnya bapak kepala desa di mana, ya? Kami mau minta izin, because,
kami berencana mau mengadakan acara DIKLATSAR di sini.” Tanyaku, sok ramah.
“Oh,
rumahnya pak kepala desa ada di sana,” sambil mengacungkan jari telunjuknya.
“Dari perempatan belok kanan, lurus, sampai di mushala yang ke-3 kanan jalan.”
“Jadi
mushala yang ke tiga ya, pak?” *mungkin saya mulai kepo :v
“Iya, yang
rumahnya ada mushalanya itu rumahnya pak kepala desa.”
“Oh iya pak,
thank you. Kalau kami mau masuk sebentar, boleh nggak, pak? Survey
lokasi.” Alasanku, mupeng and modus. :D
“Iya boleh, please,
enter saja.”
Yeeyyy, kami pun
langsung masuk tanpa harus membayar karcis alias free.
Setelah
sampai di pinggir pantai, kami turun dan langsung melangkah cepat-cepat menuju
ombak yang bergelombang.
“Indah juga
ya pantainya, banyak tempat untuk berjemur, like
di pantai Kuta, pulau Bali. Hehe…”
Kawanku
terus melangkah hingga sempurna air laut menggagahi kulit kakinya.
Ten minutes
later, kami memutuskan untuk mencari lokasi yang tepat untuk acara
DIKLATSAR esok; untuk stay awal, acara
bersih-bersih, break, etc. Ya, tak jauh dari pantainya, kami menemukan lokasi yang pas buat stay
dan penyampaian materi.
And then, kami
melanjutkan misinya berkunjung ke persinggahan pak kepala desa. Kembali
melewati palang pintu itu, kami menyunggingkan senyum terimakasih kepada bapak satpam yang telah memberikan izinnya untuk sekadar
muter-muter di sekian panjang jalan pantai Widara Payung.
“Tok,
tok, tok, Excuse me…
Assalamu’alaikum…” sampai dua
kali, kami pun terduduk-berharap-ada yang membukakan pintu dari dalam. Sepi,
senyap, sepertinya memang bapak kepala desa sedang ada meeting. #Eh,
tapi ‘kan sekarang imlek? XD.
“Besok kamu
ke sini lagi aja, sambil membawa surat
permohonan izin,” kataku pada ia yang masih duduk di depan mushala.
“Sambil
dipersiapkan apa-apa yang sekiranya perlu ditanyakan kepada beliau.” Lanjutku, sok perhatian. *padahal sih, sudah pingin pulang. :v
Satu menit,
dua menit, kami pun memutuskan untuk come back. Namun sebelumnya sempat
singgah di warung desa untuk memberi sedikit minum motorcycle-nya yang
mulai sekarat karena kehausan.
Di
seperempat jalan pulang,
“Contak
motornya mana, Sir?” aku menanyakannya karena tak
kupegang seperti tadi kala waktu kami berangkat dan berhenti.
“Nggak sama
kamu, sih?” ia malah balik bertanya.
“Nggak,
terakhir kamu ngasih ke aku waktu di depan rumah pak kepala desa, after that
kita beli minum dan kemudian go.”
Kami
memutuskan untuk kembali mencari contak yang sempat lari dari tempatnya
bersemedi. Sudah balik dan balik lagi, tapi tetap tak kami temukan rimbanya.
Aku hubungi seorang teman yang ada di komplek untuk menyambungkan suaraku yang
karena bukan kebetulan aku tak memilik nomor handphone teman yang kami pinjami
motornya.
“Hello,
contak motornya jatuh nggak tahu
di mana, Sir. kamu ada duplikatnya nggak? Tadi lupa nggak diambil, waktu udah di
jalan baru ingat dan ternyata udah nggak ada.” Panjang kali lebar aku
menjelaskan.
“Nggak ada,
kan tadi udah bilang, jangan lupa contaknya diambil, ‘cause bisa jatuh
sendiri. Dan ternyata kamu lupa, ya udah, dicari dulu aja.” Begitulah kira-kira
jawabannya, yang akhirnya mau tak mau kami harus balik lagi untuk mencari
sebutir contak itu.
Zoonk! Itulah yang
kami terima, setelah terhitung empat kali kami bolak-balik memicingkan mata
tajam-tajam menyusuri setiap rerumputan dan semak-semak yang ada di sepanjang
perjalanan.
“Gimana ini?
Ada ide nggak?” tanyaku, mulai khawatir.
“Aku juga
nggak tahu, padahal kita sudah bolak-balik empat kali tapi kok nggak ketemu
juga, ya?”
“Ya udah,
kita cari tukang duplikat kunci aja.” Usulku
“Di mana?”
“Di Adipala,
semoga saja ada.”
Terang saja,
before perempatan Adipala memang ada tukang duplikat kunci motor. Dan
kami pun berhenti menghampiri.
“Bisa bikin
kunci, Mas. Tapi nggak ada duplikatnya, tadi contaknya jatuh di jalan.”
“Bisa,
bisa.” Jawabnya, antusias. “Tapi sedikit mahal.”
“Berapa,
Mas?” tanyaku kemudian.
“Rp. 20.000,00,-“
“Oh, cuma
Rp. 20.000,00,- nggak apa-apa, Mas.” #Eh, sombongnya
aku. :D. Di pikiranku, kukira nyampe ratusan ribu. Hehehe *experience…
Kurang dari
sepuluh menit, contak sudah ready, kami pun go dengan sebelumnya
mengucapkan terimakasih.
Mendung
menggantung di seluas langit Kesugihan, mungkin hujan akan segera turun. Gelap
lebih cepat membekap sunyiku yang menemani senja ini.
“Mampir di
café #Leksu, ya? Kita minum
sebentar.” kataku memecah keheningan.
Kami memesan Cappuccino dan Pisang Bakar Cokelat, baru beranjak pulang ketika hujan benar-benar telah mengguyur bumi
Kesugihan. Hujan di sepotong senja ini sempurna mencipta gigil di
sekujur tubuhku. Tiba-tiba, mindsetku melayang mengingat seseorang yang
kepada ia darah cintaku pernah kuteteskan.
“Layla, where are you?” []
Di Bawah
Langit Al-ihya, 19 February 2015*
0 komentar:
Posting Komentar