Penyihir Aksara (Malaikat Salju)

Do'a Kalimat Pena By. Muhrodin "AM"

Oleh: Muhrodin “AM”*

Jika ada hal terindah di dunia ini setelah cinta, itu adalah senja. Betapa ia dengan begitu bijaksana telah mengajarkan arti kesetiaan setelah sebelumnya ia sempat mempertemukan dua hati di sepotong senja yang syahdu. Sepotong senja yang menjadikan awal ihwal cinta itu bermula...
Zahara, aku tak pernah menyesali perpisahan kita, meski jika Tuhan mengizinkan, atau bahkan bila aku boleh memilih, ‘aku akan memilih kita tak pernah bertemu’, apatah kau tahu, betapa sakitnya menuai rasa kehilangan? Zahara, kehilanganmu seperti sepotong senja yang muram, meski nyatanya perihal senja adalah makna kesetiaan.
Seperti senja ini, saat sebelum engkau benar-benar telah pergi hingga menjadikannya hati ini giris.
“Apa jika aku pulang, akankah ada yang kehilangan?” itu pertanyaan yang teramat sulit untuk kujawab, Zahara. Kau tahu, sedikit banyak teman-temanmu telah mengharapkanmu, atau lebih dari itu, mereka telah menjadikanmu laksana jauhara di antara lukisan semu. Meski kutahu, itu sama sekali tak akan mempengaruhi keberadaanmu untuk tetap di sini. Jika kau akan pergi, setidaknya pikirkanlah sekali lagi, “Sebab dan untuk apakah kau ke sini, Zahara?” itu pertanyaanku yang kuharap akan kau jawab dengan sepenuh perenungan.
Mungkin, penjara suci tempat kita menuntut ilmu tak sesuai dengan harapanmu, atau bahkan tak membuatmu nyaman? Mengertilah, Zahara, bukankah di mana tempat ber-tholabul ilmi adalah sama? Kitalah yang harus pandai menggunakan kesempatan yang telah Tuhan berikan, setidaknya dengan belajar itulah bukti rasa syukur kita kepada sang pencipta segala kebaikan, pun kedamaian.
“Kerapkali aku kesulitan mengatur waktu, Ziz. Hingga aku merasa begitu tertekan.” Dan lagi, itu ceritamu yang kau sampaikan lewat semilir angin, tepat di sepertiga malam yang hening.
“Benarkah kau akan pergi, Zahara?” akhirnya, kuberanikan menuangkan tanya demi beroleh jawab yang sebenar terang, sebelum malam benar-benar telah punai bersama sayap-sayap keangkuhan.
“Entahlah, aku butuh waktu…” kau pun masih menggantungkan jawabanmu.
“Hanya masalah waktu, Zahara… setelah kau mampu merasai betapa indahnya arti kebersamaan, jua perjuangan tuk menggapai kesuksesan, kau bahkan bisa jadi tak akan lagi mau berpisah dengan tempat ini. Tempat yang menjadikanmu mengerti, betapa kenangan adalah harga yang teramat mahal dan setimpal untuk sebuah kesedihan.  Percayalah, Zahara… aku memang hanya sebatas karibmu, tapi jujur, aku ingin engkau tetap di sini meraih mimpi, menggantungkan cinta dan cita-citamu di atas arasy, di atas langit tempat kita meretas ridha Ilahirabbi.”
Zahara, lagi-lagi kau menanam resah di hatiku. Aku menunggu di batas senja, sebelum temaram dengan jubahnya benar-benar telah menelikung keberadaanmu. Aku mafhum dengan keadaanmu yang ababil, meski jujur, aku pun jauh lebih ababil, tapi haruskah hingga malam tengah meraja engkau rela menancapkan silsilah rindu ini hingga mentari menjemput pagi?
“Kemanakah engkau, Zahara…” gumamku dalam gugu. Bisu. Mungkin beginilah cara Tuhan mencemburui hambanya yang teramat merindukanmu. Meski ini bukan kali pertama kau menghilang tanpa kabar, tapi hatiku teramat belah, Zahara; tangis batinku tak kuasa menahan gejolak luka karena percaya atau tidak, engkaulah muara do’a…
Saat malam lindap, engkau mengirimkan aroma serupa zaqum di bilik nisbiku. Dengan kata yang patah-patah, kauutarakan niat teguhmu bila kau akan meninggalkanku, meninggalkan penjara suci yang telah berbilang waktu menjadikanmu bidadari yang senantiasa aku tunggu. Aku rindu.
“Maaf, Ziz…” kata itulah yang pertama terucap dari bibirmu, yang meski bila tersenyum teramat manis hingga mampu membuat setengah kesadaranku terbang jauh ke awan, tapi kali ini… kekatamu membuat aku patah, limbung bak diterpa angin halimun.
“Aziz, telah kupikirkan dengan segenap perenungan, bahwa tekadku kali ini sudah bulat, aku akan pindah dari sini, Ziz. Maafkan aku…” aku tak mampu melihat wajahmu saat itu, saat kau katakan permohonan maafmu karena akan meninggalkanku. Tapi tahukah kamu, Zahara… saat itulah, airmata tak cukup tuk menebus luka yang ceruknya teramat dalam. Teramat hunjam.
Apa yang bisa  dilakukan oleh seorang lelaki lemah sepertiku, Zahara… aku semakin makbul dalam kenisbian. Tapi engkau telah banyak mengajarkan arti menyayangi, mencintai, bahkan lewat senja yang telah mempertemukan kita, kau ajarkan aku makna setia. Saat kau memutuskan untuk pergi, -sekali lagi- meski aku hanyalah sebatas karibmu, jujur dari lubuk hati terdalam, aku menyayangimu, Zahara… tuntaskah waktu kebersamaan kita? Apakah hanya sampai di sini rajutan cerita sepotong senja dan makna setia yang teramat dipuja-puja? Jika boleh kumeminta, aku ingin waktu berhenti tepat saat kita tengah bersama, Zahara… agar tak akan ada kata berpisah meski hanya satu detik saja.
“Jangan terlalu dipikirkan,” itulah kekatamu saat aku mengeluhkan bahwa aku tak cukup kuasa menahan gejolak rindu ketika jarak dan waktu menjadi musuh yang tak pernah mengenal damai.
“Maukah kau mengirimkan sepotong senja untukku, Zahara? sebagai tanda bahwa meski nanti kita ‘kan berpisah jauh, kita masih sama-sama saling mengingat, bersulam do’a lewat angin kembara yang tiap senja ‘kan kukirimkan untukmu.”
Senja mendadak bisu; halus kekatamu pun tak cukup mampu tuk mengusiknya dari rasa resahku. Saat itulah, aku benar-benar ingin lesap ke dalam bumi...
“Setelah aku pergi, do’akanlah aku mampu mengarungi samudera yang baru dengan bahtera cita-cita dan layar pengharapan, Ziz. Begitu pun engkau, gapailah bintang di awan-gemawan, agar pendarnya mampu kau persembahkan untuk orang-orang yang kau sayangi…”
Harapanku, sebelum senja tengah berpulang; izinkanlah setiaku sebagai hantaran cahaya pelebur remang, meski hingga akhirnya kita akan sama-sama lesap ditelan kegelapan malam. Zahara, sekalipun kini engkau tak lagi bersamaku, namun mengertilah duhai bidadari kirmiziku, rindu dan setiaku tetaplah milikmu… [*]

Secretariat PPAI, 30 Oktober 2015
22:20 am
Muhrodin “AM”
Adalah laki-laki penyuka senja dan hujan. Saat ini ia masih nyantri di Pon-pes Al-Ihya ‘Ulumaddin, Kesugihan 1, Cilacap, Jawa Tengah. Ia bisa diakrabi melalui Fb. Muhammad Amirudin / Twitter: @MuhrodinAM. Buku terbarunya, kitab Puisi dan Cerpen “Hujan pun Enggan Berbisik” terbit di Pena House, 2015. 

Oleh: Muhrodin “AM”*
~**~
“Dan Janganlah kalian menjerumuskan diri kalian dengan tangan kalian sendiri     ke dalam jurang kerusakan.” (QS. Al Baqarah (2): 195)[1]

Banyak sekali alasan mengapa kita harus berpikir ulang untuk menghisap rokok yang hanya ada asap tak ber-api itu. Mengapa harus api? Bukankah sudah cukup asap dan bara sebagai pelepas ‘sakaw’ atau pun lelah yang tak cukup hanya dibayar dengan istirahat? Karena api setidaknya bisa kita ambil manfaat jika kita gunakan sebagaimana mestinya.
Kita semua mafhum, sekalipun mungkin tak pernah mau memahami dari apa dan bagaimana rokok itu dibuat? Di sini cobalah kita telisik sekali lagi. Rata-rata satu batang rokok memiliki kandungan hingga 3.000 lebih bahan kimia berbahaya. Ini adalah beberapa bahan kimia yang terkandung dalam rokok yang harus kita ketahui:
1. Nikotin
Rokok mengandung nikotin yang sangat tinggi. Zat nikotin dalam rokok berasal dari tembakau. Nikotin dapat mengakibatkan kanker serta merusak struktur DNA.
2. Benzene
Benzene merupakan petrokimia yang diipakai untuk men-dry clean pakaian. Bahkan kandungan benzene adalah karsinogen yang dapat mengakibatkan kanker darah.
3. Arsenik
Arsenik adalah logam yang bisa meracuni darah dengan mudah. Terlebih sudah banyak pekerja pabrik yang meninggal karena keracunan arsenik. Kemampuan sel untuk memperbarui diri dapat tergganggu karena akumulasi arsenik.
4. Tar
Tar yang sifatnya karsinogenik timbul ketika rokok dibakar. Tar bisa menyebabkan beraneka ragam penyakit seperti kanker, impotensi, penyakit jantung, penyakit darah, bronkitis kronik, enfisema serta gangguan kehamilan dan janin.[2]

Jika kita pernah mengatakan bahwa rokok adalah obat paling mujarab untuk menghilangkan rasa stress, dan teman paling setia yang selalu memahami kegelisahan kita. Adakah kita pernah berpikir, obat macam apakah yang ditawarkan sebatang rokok di saat kita tengah mengalami stress? Dan, teman paling setia yang seperti apakah yang kita maksudkan dari sebatang cigarette jika nyatanya... perlahan teman paling setia kita justru meruntuhkan kita secara perlahan-lahan. Menikam kita --bukan lagi dari belakang-- tapi secara terang-terangan dengan racun yang teramat mematikan. Jika nyatanya, kita masih menganggap cigarette adalah teman yang paling setia, betapa bijaksananya kita (rela) menggadaikan kesehatan demi dia yang sebenarnya adalah musuh yang benar-benar nyata.
‘Rokok Membunuhmu’; itu adalah slogan yang tertera pada bungkus rokok yang saban hari tiap batangnya kita jadikan pergantungan. Dengan rokok, segala urusan akan beres. Segala masalah akan teratasi, segala lelah akan terbayar lunas. Hanya dengan sebatang rokok. Ya, sebatang rokok yang menyimpan seribu candu hingga kita tak mampu menolaknya untuk tetap menghisapnya meski hanya dalam hitungan waktu.
Pada zona nyaman ini, apakah kita tak pernah melihat betapa sekeliling kita begitu indah. Adalah sayang jika harus terkontaminasi oleh kegetiran dan rasa frustasi orang-orang ‘sakaw’ yang akhirnya menyerah hanya dengan gulungan asap dan sebatang cigarette. Hanya karena merasa kurang PD atau belum menjadi laki-laki jika tidak merokok. Begitukah? Betapa sempit dan ababilnya kita jika ke-Pd-an dan Ke-Lelaki-an kita hanya diukur dengan sebatang rokok.
Kita hanya mengekor dari isu yang tidak ada bukti kebenarannya. Jika kita bertanya pada angin, atau pada tumbuhan dan bahkan pada udara yang begitu segar, begitu suci. Adakah bukti ilmiahnya jika rokok mampu membuat kita menjadi laki-laki seutuhnya? Atau dengan rokok kita menjadi satu tingkat lebih PD menghadapi badai apa pun daripada laki-laki perokok pasif. Tentu jawabnya adalah NOT RESPONDING. :v  :D *Tentu saja, karena mereka enggan untuk sekadar berbisik, apalagi menjawabnya. ;)
Malah bisa jadi, perokok pasif itulah yang sudah memiliki confident yang tinggi, hingga tak perlu lagi sebatang rokok untuk menjadikannya lebih lelaki. Atau bagi perokok pasif, healthy is expensive, dan sebagai bentuk rasa syukur kepada sang pemberi kesahatan, sudah sepantasnya kita menjaga karena itu jauh lebih baik daripada mengobati.
Terlepas dari perokok aktif atau pun perokok pasif, kita sama-sama memiliki persepsi untuk berspekulasi tentang bahaya dan manfaat cigarette itu sendiri, tentu dengan bukti ilmiah yang bisa kita pertanggungjawabkan keabsahannya.
Telah kita ketahui bersama, bahwa rokok adalah candu. Kerap terjadi perseteruan, meski (mungkin) hati kecil ini mengatakan merokok tidak baik untuk kesehatan, atau bahkan percaya sepenuhnya dengan slogan bahwa ‘Rokok Membunuhmu’. Tapi karena candu yang telah memperbudak, akhirnya kita abai atau bahkan pura-pura abai hingga pada tingkat itulah, hanya penyakit yang sudah terlalu akut atau bahkan hanya kematianlah yang mampu menghentikan aktivitas yang katanya adalah ritual untuk menuju Tuhan.
Berikanlah satu alasan, kawan. Mengapa kita masih tetap bertahan? Apa yang sebenarnya kita dapatkan dari sebatang cigarette yang hanya berupa asap dan bara? Hargailah orang-orang di sekeliling kita yang begitu bijaksana mensyukuri nikmat-Nya. Dengan tidak merokok, kita menjauhkan orang-orang yang kita cintai dari sang penyebab segala luka. Setidaknya berpikirlah sekali lagi, demi orang tua, demi mereka yang menyayangi kita, dan demi seseorang yang kita tak akan rela jika ia harus menanggung getahnya karena rokok telah menyakitinya... []
PPAI, 11 November 2015*
Muhrodin “AM”*
Adalah santri Pon-pes Al-Ihya ‘Ulumaddin, Kesugihan 1, Cilacap. J