Penyihir Aksara (Malaikat Salju)

Do'a Kalimat Pena By. Muhrodin "AM"

Pembelian 10 buku gratis ongkir. (Alamat Indonesia)

Hujan pun Enggan Berbisik


Penulis: Muhrodin 'AM'Penyunting : Lavira Az-Zahra
Tata Letak : Lavira Az-Zahra
Desain Sampul : Lavira Az-Zahra dan Vindy Putri 

Redaksi Pena House:
Jalan KNPI Gg. Cendrawasih, Bangkle, Blora, Jawa Tengah 58200
Telepon : 0899-571-8264
Email : azzahra.house834@gmail.com
Facebook: CV. Pena House Agency
Website : penahouseagency.blogspot.com

Cetakan I, Agustus 2015
ISBN : 978-602-389-030-9

Hak Cipta dilindungi undang-undang
Dilarang keras memperbanyak atau memindahkan sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apapun secara elektronik maupun mekanik, termasuk memfotokopi, merekam atau dengan teknik perekam lainnya tanpa izin tertulis dari penulis.

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Hujan pun Enggan Berbisik, Editor: Lavira Az-Zahra -
Blora: Pena House, 2015
178 hlm, 13x19 cm.

I. Judul II. Hujan pun Enggan Berbisik

Harga:
35ribu. (umum)

Pemesanan:
HPEB_nama_alamat lengkap_jumlah buku yang dipesan.
Kirim ke 08995718264

Sinopsis:

Hujan adalah saat paling mengerti
Bila sebongkah hati tengah berkawan sepi

Mengeja hujan-Mu, aku…
Tiada yang paling syahdu 
di saat hati tengah diredam rindu
Kepada hujan yang kali ini bergemirincing
Kusapa kau dengan rinduku, 
“Adakah bebisik mesra agar hatiku tak lagi cemburu?”

Safira, sedang apakah dirimu? Tidakkah kau merasa, 
atau setidaknya Tuhan telah berkirim risalah rindu ini 
dengan lantaran jatuhnya bulu mata? 
Sebagai sinyal rinduku yang selalu kuperam untukmu, 
untuk gadisku yang senyumnya adalah kelopak mayang 
dan matanya adalah tsuroya di antara lukisan Tuhan.
Safira, jika berpisah adalah cara Tuhan 
untuk mempertemukan cinta kita, aku rela, 
sekalipun perpisahan itu ‘kan membuatku lebur 
bersama butir debu yang terempas angin hingga 
tak bersisa. 
Aku rela kau meninggalkanku dalam kesunyian, 
dalam kenisbian, dalam sembahyang lilin yang akan 
meluluhlantahkan diriku pada penghambaan. 
Namun mengertilah, adakah yang lebih tabah 
dari laki-laki yang menahan rindunya 
hingga mentari menjemput pagi?





Oleh: Muhrodin “AM”*

1
Kuawali surat ini dengan menyebut asma-Nya; yang jiwanya adalah cinta, dan setianya adalah bunga-bunga di taman seloka…
Demi sang penjaga cinta, kularungkan rasa ini lewat kidung arsua dari sang lelaki yang menjatuhkan airmatanya di atas bumantara.
Demi sang penyelamat segala, dan sang pemantik renjana, kupasrahkan segala luka. Meski sayap-sayapku telah patah, aku percaya, Tuhan masih menyematkan cinta selaksa api, hingga rasa di sebilik hati ini masih terus menyala… 
Layla, masih ingatkah saat pertama kita memadu cinta di bawah hujan bulan Juni? Tentu, bukan sekerat puisi Sapardi Djoko Damono yang akan kupersembahkan untukmu, tapi cinta, cinta yang sebenar nyata hingga bidadari-bidadari surga mencemburuinya.
Tiada yang lebih indah dari ketika aku melihatmu tersenyum, Layla. Karena senyummu sungguh merupa anggur yang memabukan, selaksa candu yang kapan saja dapat mematikan. Namun, kini mengapa engkau bermuram durja?
Layla, jika diammu adalah sebuah amarah yang memang tak pantas untuk kauungkapkan, maka, izinkanlah aku ‘tuk merasai sakit ini bersama rindu yang seringkali membuatku gugu di sepertiga malam yang sunyi.
Seperti seribu malam pada ruas kalender. Ketika rindu tak mampu kupikul sendiri, ingin kugantungkan rasaku pada bulan sabit di langit tertinggi, atau pada bintang-bintang, agar sinarnya mengilhami luka yang menghunjam. Lalu, akan kupersembahkan sekantung do’a agar engkau senantiasa dalam pelukan Tuhan.
Layla, meski tak kupungkiri ada sebait badai saat kau berpaling, namun aku berpasrah dengan segala kealpaan. Karena ketika saat engkau menjauh dan tak mampu kusentuh, bukan tanpa alasan aku ingin mengirimkan sehelai kertas ini sebagai risalah rinduku, atau sebagai jiwa yang mengharapkan putik kenangan.
Aku bukanlah Majnun yang begitu tabah menghadapi badai kerinduan pada Layla-nya tersebab cinta yang mereka tanam terlalu mulia, terlalu istimewa. Aku hanya sehelai daun kering yang patah, ketika terempas angin sekejap saja akan dirundung remuk dan menghilang. Jika sejatinya hidup adalah meninggalkan dan atau ditinggalkan, maka tak ada yang salah jika nyatanya cinta memang harus melepaskan dan atau dilepaskan.
Dan aku, melepaskanmu dengan seribu nyanyian kesetiaan… [*]

2
Jika tak berkebaratan, aku ingin melukis tentangmu; tentang wajah yang bagai kelopak krisan, tentang senyum yang membawaku terbang ke kahyangan, dan tentang semua yang membuat aku tak lagi mampu membedakan mana cinta dan mana kasih sayang… 
Putri Dea Agestasia…
Tepat satu tahun aku mengenalmu. Seorang putri yang cantik, tenang,  penuh misteri, dan tentu saja menarik bagi tiap para lelaki.
Dea, kurasa bukan kebetulan Tuhan telah mempertemukan kita. Karena diyakini atau tidak, dalam sebab-musabab semuanya telah digariskan. Maka, izinkanlah aku untuk menuliskan sepucuk surat untukmu. Setidaknya, karena engkau begitu istimewa di hatiku…
Sulit untuk dijabarkan pada sebongkah tanya mengapa aku begitu mengagumimu? Mungkin karena engkau berbeda, atau lebih tepatnya memesona, hingga rasa yang semakin menghunjam bermetamorfosa menjadi cinta.
Ah, Dea. Tidakkah kau mampu membaca pertanda dari tiap lelakuku yang seringkali salah-tingkah ketika bersitatap denganmu? Atau segurat senyum yang tak lagi dapat ternamai ketika mataku melihatmu dalam waktu yang sesingkat kelebat kilat sekalipun. Untuk hal itu, aku selalu berdo’a agar Tuhan berkenan mempertemukan kita pada kesempatan yang indah, tentunya...
Tak banyak yang ingin kusampaikan pada suratku ini, karena keluguan dan kepolosanmu itu aku ingin engkau tahu, Dea. Terkadang jemariku tak luput ingin mengacak rambut pekatmu yang adalah sebagai bukti kasih-sayang dan cintaku. Tapi akhir-akhir ini, kita tak memiliki cukup waktu untuk bersama, sekalipun terkadang kita bersua, tapi itu hanya sepersekian menit dari waktu yang ada.
Dea, jika boleh memilih, aku ingin bersamamu. Merajut kisah cinta paling indah dari kisah cinta yang pernah ada –Kitab cinta Yusuf Zulaikhah, Siti Nurbaya, Cleopatra, bahkan Laila-Majnun  sekalipun!– Betapa tidak? Engkau adalah wanita bermata do’a dengan wajah kilau cahaya. Laki-laki manapun akan bersetuju, bahwa engkau adalah wanita terbaik yang pantas menjadi pendamping juga ibu bagi anak-anaknya.
Tapi tidak, Dea. Rupanya, kedekatan kita telah menyakiti seseorang yang jauh lebih dulu mencitaimu. Kau tahu, betapa sakitnya melihat seseorang yang kita cintai seringkali berkencan dengan orang lain? Terlebih dia adalah sahabatnya sendiri!
Ya, dia sahabatku, Dea. Sabahat yang tak pernah kuanggap bahwa ia pun telah memiliki rasa yang sama; mencintaimu lebih dari yang aku kira. Dan itu sudah cukup membukakan perisai hatiku yang sempat kasat mata.
Sampai di sini, sepertinya aku (harus) cukup tahu diri. Kencan kita yang berbilang hari, bukanlah tolak-ukur kebersamaan yang abadi. Itu hanya mimpi bagi lelaki nisbi sepertiku; lelaki yang tak pantas mendapatkan cinta suci dari bidadari kirmizi sepertimu.
Dea, maafkan aku karena telah mencitaimu…
Terima kasih engkau pernah hadir mengisi lubuk hatiku dengan putik cintamu. Akan kukenang selalu dalam kidung do’a-doa, dalam bentangan kanvas dari surga yang berlukiskan wajahmu seindah purnama. Putri Dea Agestasia, dari sini aku percaya, bahwa berdo’a adalah cara terbaik untuk jatuh cinta… [*]

3
Aku berlindung dari para kekasih yang melukai…
Kekasih… maukah engkau menemaniku mencari sepotong senja yang hilang? Sejak senja itu meremang, semuanya tak lagi dapat merasakan keindahan senja di segelas cappuccino, atau di semangkuk sub buah di café temaram.
Aku ingin mencarinya dan akan kupersembahkan sepotong senja itu untukmu, Adellea. Agar kaupercaya, bahwa cahayanya yang teramat mengagumkan sempat menjadi perburuan banyak orang.
Dulu sekali, beratus purnama yang lalu, ketika sepotong senja itu masih menjadi milik seorang lelaki bermata sendu, senja itu akan dikirimkan kepada kekasihnya. Namun kautahu, Sayang? Petugas pos yang hendak mengantarkan sepotong senja itu tak pernah menemukan alamatnya. Hingga perlahan, kuning keemasan yang terbungkus di dalam sebuah amplop itu menghilang, dan sampai detik ini, tak ada seorang pun yang tahu di mana senja itu tengah berpulang.
Alina adalah gadisnya yang teramat dicintai, hingga ketika ia menginginkan sepotong senja di segelas cappuccino, Syukab, kekasihnya, dengan setia mengirimkannya. Tapi adalah cerita yang tak terlalu sedap untuk dikenang, Sayang. Karena sejak senja itu menghilang, Alina meninggalkan Syukab dengan tanpa perasaan. Dan aku, tak ingin kisah usang itu berulang. Aku tak ingin menjadi Syukab yang harus menerima kenyataan bahwa luka adalah harga yang setimpal untuk sebuah kenisbian.
Adellea, cerita itu mungkin tak akan sama dan tak akan pernah sama jika saja sepotong senja yang aku cari di segelas cappuccino dan semangkuk sub buah di café temaram dapat aku temukan. Karena seperti kebanyakan wanita, engkau pun menginginkan keindahan guratan merah saga dapat kembali memberikan warna  cinta, atau lebih dari itu, engkau akan merasa menjadi wanita paling istimewa karena mendapatkan sepotong senja yang selama ini dipuja-puja.
Tapi, jalan cerita yang kusangka bahagia harus berakhir sama; rupanya, engkau pun meninggalkanku dengan segenap lara.
Adallea, adakah engkau tak pernah mengerti. Betapa sakitnya dikhianati oleh seseorang yang dicintai? Andai engkau memahami bahwa ‘jatuh cinta adalah cara terbaik untuk bunuh diri’ seperti yang diyakini oleh Bernad Batubara, engkau pasti akan memilih setia, setidaknya tetap memilih bersamaku hingga saatnya kita dapat merasakan indahnya senja di segelas cappuccino dan semangkuk sub buah seperti yang sama-sama kita inginkan, sama-sama kita impikan.
Mengingatnya hatiku belah. Cinta terlalu indah untuk diakhiri dengan perpisahan, dan setia, terlalu sayang untuk dilewati dengan pengkhianatan.
Adellea, sejak kau meninggalkanku di sepotong senja yang muram. Serpihan kenangan itu tiba-tiba saja mengoyak jiwaku. Aku seperti halnya lelaki yang tak pantas untuk dicintai. Bahkan, oleh sepotong senja sekalipun!
Akhirnya, serpihan kenangan itu kini sempurna. Dari bisikan malam paling jelaga, aku mencoba meraba-raba. Bilakah setia harus dibuktikan dengan setangkup kejujuran, maka jujur kukatan, “Aku tak pernah menyesal telah mencintaimu, meski harus merengguk semangkuk darah kematian…” [*]

Al-Ihya ‘Ulumaddin, 20 - 25 Juni 2015*

Muhrodin “AM”*
Lahir di Lampung 23 Februari 1991. Sekarang masih nyantri di Pon-pes Al-Ihya ‘Ulumaddin, Kesugihan 1 Cilacap, Jawa Tengah. Aktif di Buletin INSPIRASI dan Ihya Magazine sejak 2010. Ia bisa diakrabi melalui fb. Muhammad Amirudin / Twitter: MuhrodinAM. J

Oleh: Muhrodin “AM”*

Adellea... 
Aku merindukan saat menyapamu di sepertiga malam yang sunyi. Entah bagaimana kisah itu bermula, aku bahagia ketika engkau selalu membalas chatt-ku di malam-malam punai; sebagai hantaran (sebelum) akhirnya kita sama-sama makan sahur dengan segelas kenangan dan sepiring kerinduan.
"Adellea..."
"?"
"Sedang apa?"
"Listening Music."
"Belum mengantuk, 'kah?"
"Belum."
----
Seringkali malam membuatku cemburu, karena engkau kerapkali mengatakan lebih memilih bercengkerama dengan malam --mungkin jua engkau tengah melafadzkan tadarus kerinduan-- daripada harus membalas sapaku yang (menurutmu) terkadang sangat membosankan. Tapi aku tak cukup mengerti, mengapa hingga kini engkau masih selalu saja memberikan seutas harapan. Sayang, adakah itu hanyalah semacam harapan semu?
Aku merindukanmu, Adellea...
Canda yang berbilang waktu, ternyata begitu mampu membuatku jatuh cinta kepadamu.
Adellea...
Apakah kau mengerti? jika basa-basiku di setiap malam yang sunyi, hanya berlaku untuk seseorang yang kurindui, yang kucintai?
Kusadari, kendati aku begitu ingin kita bisa meniti malam dengan kidung kemesraan, tapi engkau harus pergi sebelum ramadhan ini benar-benar dapat kukhatamkan. Karena setelah kuutarakan rindu yang menghunjam, engkau pergi begitu saja dan menghilang tanpa pesan.
Aku ingin engkau tahu, Adellea. Lewat elegi embun pagi; kukirimkan sekerat do'a dan semangkuk puisi paling diksi, agar engkau mengerti bahwa rinduku takkan pernah habis sekalipun telah berkali-kali ditelan hujan bulan pasi... []


Al-Ihya ‘Ulumaddin, 04 Juli 2015*

Muhrodin “AM” , Adalah aki-laki penyuka senja dan hujan. Saat ini masih nyantri di Pon-pes Al-ihya ‘Ulumaddin Kesugihan 1, Cilacap. Bisa diakrabi melalui: e-mail: Muhrodin.am@gmail.com/ Fb. Muhammad Amirudin.

By. Muhrodin “AM”*

Hidup terlalu indah untuk dilukai dengan permusuhan.
Dan Ramadhan, terlalu mulia untuk dinodai dengan pertikaian...

Aku merenungi segala apa yang disampaikan oleh dewan kyai sebelum hari benar-benar sepi dari hiruk-pikuk para santri. Dan suara ‘saur-saur’ dengan instrument gayung serta ember pecah mungkin jua tak akan terdengar lagi. Tapi, gemuruh di sebilik hati ini masih saja buncah tersebab api yang telah aku nyalakan dengan segelas wisky.
Sahabat, jika khilaf adalah harga paling setimpal untuk sebuah permusuhan, lalu di manakah letak rasa saling memaafkan untuk sebuah kedamaian? Mengingat itu hatiku belah. Ada sebait badai yang kerapkali menghantam jiwaku.
Ini sudah Ramadhan yang kelima belas, antara aku dengannya masih saja belum bertegur sapa. Andai waktu itu aku tak serta-merta membantah kata-katanya, mungkin jalan ceritanya akan sangat berbeda,
“Sini, iuran untuk bayar listrik.” Pintanya kala itu.
“Iya, komplek atas juga dimintai, jangan nggak dianggap.” Semburku.
“Siapa yang nggak dianggap? Hah?” kata-katanya merupa api.
Aku bungkam. Kusadari ada yang salah dengan lelakuku. Sejak kepulanganku tiga hari lalu, aku tak mengerti jika komplek atas telah membuat satir dengan komplek bawah.
Akhirnya kupahami, sejak dibangun komplek atas yang baru, Ashabul Kahfi benar-benar telah berbeda kubu.
Sahabat, ini sudah malam Muwada’ah, masihkah kita enggan untuk saling memaafkan? []



Al-Ihya ‘Ulumaddin, 03 Juli 2015*

By. Muhrodin “AM”*

Kelak, aku pasti akan merindukannya...
“Semoga selamat sampai tujuan, Mas.” Pesan singkat itu kubaca saat aku sedang dalam perjalanan Cilacap-Purbalingga.
Kau tahu, betapa bahagianya aku pada saat itu. Aku belum mengenalnya, hanya sebatas nama dan karena kita sering bersua aku menyukainya, dan akhirnya kunamai itu adalah c.i.n.t.a.
Senja tiba-tiba saja begitu indah di mataku. Meski kutahu jalanan tak ubahnya bising lebah bahkan lebih buruk dari itu.
Ya, ini adalah ramadan yang ke sekian kalinya aku tak berkumpul dengan keluarga di Sumatera. Banyak sekali alasan yang tak mampu kujabarkan. Hingga lagi-lagi, Purbalingga adalah tempat di mana aku harus berpulang.
Teramat sulit bagiku tuk sekadar melangkahkan kaki meninggalkan Al-Ihya[1], di mana seribu asa telah tercipta dan sejuta cerita dalam pinangan senja tak akan pernah terlupa. Jika bukan karena permintaan seorang karib, tentu saja aku tak akan meninggalkannya.
“Sekarang sudah juz berapa?” itu adalah pertanyaan yang selalu saja kuulang-ulang. Betapa tidak? Aku berharap banyak ia akan menjadi seseorang yang istmewa di mataku, jua di mata-Nya.
Senja sebentar lagi sirna, dan aku telah sampai di perempatan jalan yang akan mengantarkan pada pelukan rindu yang semakin menggurita. [*]

Al-Ihya ‘Ulumaddin, 14 Juni 2015*
#LMCR_UNSA



[1] Nama sebuah pesantren di Cilacap.

By. Muhrodin “AM”*

Tak ada yang salah dengan cinta, hanya manusianyalah yang terkadang salah menempatkannya...
Aku tak hendak bermain api, apalagi sampai api itu berkobar yang bisa jadi akan melukai. Jika kita (pernah) dipertemukan karena cinta, maka kuyakini kita berpisah pun karena cinta.
“Aku kira kita takkan pernah bertemu lagi, Fan. Setelah sekian lama engkau pergi tanpa kabar...” ia tergugu dalam pelukanku. Betapapun bahagianya ia pada saat itu, tapi kusadari ia amat terluka ketika satu tahun lalu aku meninggalkannya begitu saja.
“Maafkan aku, Am. Aku kira engkau akan berubah setelah aku pergi, tapi nyatanya aku salah...”
Di langit bulan pasi. Hanya beberapa bintang yang berpendar. Aku masih belum sepenuhnya sanggup mengatakan itu kepada Amri setelah kepergianku satu tahun lalu cukup membuatnya terguncang.
Aku mengerti ia masih mencintaiku, hingga ketika malam telah punai, ia masih saja membiarkan airmatanya berkelindan. Luruh membasahi bahuku yang sempat menjadi tempatnya untuk bersandar.
“Tidak kah kau ingin memperbaiki jalan cintamu, Am?” aku kembali membuka percakapan, berusaha mencairkan suasana yang sempat beku.
“Kau tahu, Fan? Aku bukanlah lelaki sepertimu yang dengan mudahnya melupakan masa lalu. Meski hati kecilku berontak dengan apa yang selama ini kuyakini, tapi aku tak cukup mampu ‘tuk menolak rasa yang seringkali menggangguku,
“Sejak kecil, aku tak pernah merasakan kasih-sayang orangtua. Setelah Ayah meninggalkan Ibu dan aku, Ibu pun mengakhiri hidupnya karena tak kuasa menahan derita. Waktu itu, aku masih sangat kecil, Fan. Masih sangat membutuhkan belaian kasih sayang. Jika nyatanya kini aku memiliki perasaan cinta yang menyimpang, masihkah engkau (jua) akan menyalahkanku untuk kemudian meninggalkanku, Fan?”
Aku terdiam. Ada yang terasa belah di hatiku.
“Maafkan aku, Am. Aku harus pergi bukan untuk kembali lagi menemuimu seperti saat ini, tapi aku akan meninggalkanmu untuk selamanya...” bisikku pada hatiku, karena setelah ini, aku benar-benar akan pergi; merajut cerita dengan seorang wanita yang akan mengantarkanku pada kebahagiaan yang hakiki. []

Al-Ihya ‘Ulumaddin, 01 Juli 2015*
#FF_Rabu_No_LBGT_Grup_Es Campur

Muhrodin “AM”*

Lahir di Lampung 23 Februari 1991. Sekarang masih nyantri di Pon-pes Al-Ihya ‘Ulumaddin, Kesugihan 1 Cilacap, Jawa Tengah. Aktif di Buletin INSPIRASI dan Ihya Magazine sejak 2010. Ia bisa diakrabi melalui fb. Muhammad Amirudin / Twitter: MuhrodinAM. J

Oleh: Muhrodin “AM”*

Langit senja berhiaskan merah saga. Tepat di tepian Serayu yang adalah tempat Rama memamah luka, ia bergeming, bisu tanpa kata. Suara gemericik air, atau bahkan desau angin yang sesekali menampar pipinya tak lagi mampu mengusik diamnya, karena bagi lelaki bermata tsuroya yang kini tengah dibebat luka, gemuruh hatinya lebih mampu membuatnya gundah, hingga ketika sampai temaram menggagahi semesta, lukanya kian menggurita, laiknya jantera bianglala yang  dilesapkan nestapa.
Di bawah remang rembulan setengah purnama, Rama mencoba mencari celah untuk sekadar meredam luka yang entah di mana akan bermuara. Ia berharap, lesat cahaya yang kini tengah menaungi alam raya akan menjadikannya sirna. Atau setidaknya, biasnya akan menyinari bilik hatinya yang menggulita.
Namun, lagi-lagi Rama hanya mampu merutuki bilik nisbinya. Baginya, berdo’a, adalah cara terbaik untuk jatuh cinta. Dan setia, adalah cara paling bijaksana untuk memerah luka.
“Maafkan aku, Rama. Sepertinya semesta tak merestui hubungan kita,” kilahnya, ketika Rama bersikeras agar Tania mau mempertahankan cinta yang jauh sebelumnya telah Rama tunggu kehadirannya.
“Mengertilah, Rama. Berpisah adalah cara Tuhan untuk mempertemukan cinta kita.” Dan lagi, kalimatnya yang teramat sulit dimengerti harus Rama telan mentah-mentah. Hingga senja di tepi Serayu yang menjadi saksinya, tiba-tiba mendadak bisu.
“Apa maksudmu, Tania?” Hanya kata itulah yang mampu keluar dari mulut Rama. Mulut yang terlanjur dibekap kepahitan tanpa ada penawarnya.
Dan akhirnya, Tania hanya tergugu dalam pilu.
Ini adalah malam kedua ratus empat puluh, Rama di tepi Serayu. Sejak Tania meninggalkannya, ia masih teramat setia meski lukanya kian menganga, dan cintanya, tak lagi mampu menemukan muaranya. []
Al-ihya ‘Ulumaddin,  27 Mei 2015*

#FF_Rabu_Grup_Es Campur


Muhrodin “AM” laki-laki penyuka senja dan hujan. Saat ini masih nyantri di Pon-pes Al-ihya ‘Ulumaddin Kesugihan 1, Cilacap. Bisa diakrabi melalui: e-mail: Muhrodin.am@gmail.com/ Fb. Muhammad Amirudin.


By. Muhrodin “AM”*
***
ADALAH cinta, yang tercipta dari serpihan bunga-bunga…
      Layla, gadis sendu bermata ungu, mencintai lelaki yang menjadi dambaan tiap wanita; lelaki paling dipuja, lelaki paling idola di seantero sekolah SMA 123 Sumatera. Adalah Rama yang telah banyak melukai hati para wanita.
Layla hanya mampu menatap Rama dengan mata nanar, ketika teman-teman di sekolahnya bahkan di kelasnya dicampakkan begitu saja.
Seperti mampu merasakan luka di ulu hatinya, sakit yang tiada terkira karena Rama begitu mudahnya memutuskan ikatan cinta. Rasa kekaguman itu mulai luruh, ketika Vira, teman sebangkunya menjadi korban akan kebengisan cinta Rama. Rasanya, sakit itu ikut merajai ke dalam lubuk hati yang sebelumnya pernah melukiskan pelangi untuk cinta.
Menurut sebagian siswa di sekolahnya, Rama adalah sosok laki-laki yang nyaris tanpa cela. Wajahnya yang tampan bagai Arjuna, jago pelajaran eksakta, dan juga penuh dengan sederet prestasi ekskul di Sekolahnya. Sayang, semua itu ternyata mampu mencipta sebongkah keangkuhan pada separuh hatinya.
Seperti sengaja, sesiapa wanita yang menurutnya seksi, akan menjadi korban atas keegoisanya. Ia akan bermain kata-kata dengan segala rayuan gombalnya, hingga mangsanya dengan sekelebat kilat akan terperangkap dalam jerat cintanya.
Sejak pertama Rama duduk di bangku kelas X hingga naik di kelas XII, terhitung sudah dua belas siswa yang hatinya tergores luka. Yeah, siapa pun pasti mengenalnya. Entah menyimpan cinta, atau bahkan karena memendam rasa kebencian terhadap cowok tampan namun berhati bajingan.
Saat itu, Layla hendak ke perpustakaan, sebelum akhirnya langkahnya terhenti, ketika tiba-tiba namanya dipanggil oleh seseorang yang suaranya sudah begitu familiar di telinganya; dialah Rama, sang idola berhati serigala.
“Layla…,” dari kejauhan, benar-benar suara itu terdengar bagaikan aliran air terjun yang menghanyutkan.
“Iya, ada apa?” Layla bertanya dengan hati kebat-kebit.
“Nggak, nggak ada apa-apa kok. Cuma ingin menemani kamu ke perpus.” Rama menjawab sambil garuk-garuk kepalanya yang tak gatal.
“Owh.” Hanya kata itulah yang keluar dari bibir manis Layla
“Boleh nggak?” Tanya Rama penuh pengharapan.
“Apa?” Layla malah balik bertanya dengan rasa tanpa dosa.
“Aku temani kamu ke perpus.” Rama menjawab polos, tentu saja dengan iringan senyuman mautnya.
“Oh, iya, silahkan.” Jawab Layla datar, hingga akhirnya mereka berjalan beriringan menuju perpustakaan
Layla tengah asik dengan novelnya, duduk manis di bangku baca yang tersedia di samping rak buku. Sedangkan Rama tak bisa menyembunyikan rasa ‘BT’-nya karena harus dikacangin sama cewek yang niatnya mau ditemenin. Setelah bunyi bel masuk, akhirnya mereka buru-buru bergegas kembali menuju kelasnya.
“Habis dari mana?” Tanya Icha setelah Layla duduk tepat di belakangnya.
“Dari perpus.” Jawabnya santai
“Sama Rama?” Icha penasaran
“Iya, kenapa? Nggak boleh?” Layla mulai pasang muka sewot
“Hmm… boleh, kok.” Akhirnya Icha hanya mendesah dan  tersenyum garing.
***
Keesokan harinya, sekolah dibuat gempar.
Syahdan, Rama kecelakaan dan sekarang dirawat di Rumah Sakit Permata. Seisi sekolah banyak yang mewartakan Rama yang kecelakaan dan sedang dalam keadan koma. Kelasnya Rama; Layla, Ira, Icha, dan kawan-kawannya, menjenguk untuk melihat keadaan Rama.
 “Gimana keadaan Rama, Tante.” Tanya Layla kepada ibu Rama ketika mereka telah sampai di ruang tunggu.
“Rama masih diopname, luka dikepalanya cukup serius, hingga dokter belum bisa memastikan kapan Rama akan siuman. Do’akan saja, semoga tidak terjadi apa-apa.” Dengan  derai airmata orangtua Rama menjawabnya, dan terlihat tak henti-hentinya mereka menguntai do’a untuk kesembuhan anak semata wayangnya.
“Tante yang sabar, ya. Kita semua juga mendo’akan untuk kesembuhan Rama.” Teman-temannya mengamini kata-kata Layla.
Berbilang waktu, detik-detik Ujian akan segera tiba, tapi Rama belum juga berangkat ke sekolahnya. Menurut berita yang beredar, Rama masih trauma, pikirannya belum dapat stabil, hingga terkadang Rama masih sering mengigau.
Baru ketika pelaksanaan UN, Rama berangkat ke sekolah. Sebagian kelas XII memandanginya dengan rasa iba, mereka mengkhawatirkan akan hasil ujian nasionalnya. Karena sudah terlalu lama ia tertinggal pelajaran.
Namun ada satu perubahan yang lebih menjadi perhatian siswa-siswi SMA 123,  Rama yang sekarang tidaklah seperti Rama yang dulu; sok jagoan, sok kecakepan, dan sok-sok lainnya yang membuat Rama -diam-diam- selain dipuja juga dibenci oleh teman-temannya.
Sekarang Rama menjadi sesosok yang sangat pendiam. Tidak akan menyapa jika tidak disapa sebelumnya. Ia benar-benar telah berubah 180 derajat. Hingga sebagian teman-temannya, yang dulu sempat muak dan ilfeel dengannya, kini mulai menaruh rasa simpati. Termasuk Layla, yang mengagumi sosok Rama dalam diam, sejak kejadian di perpustakaan itu, dan terlebih setelah kecelakaan Rama… rasa kagum itu (kembali) hadir mendera hati Layla, hingga saat ini rasa itu kian membuncah, ketika Rama benar-benar telah berubah.
Setelah Ujian Nasional, Layla dan Rama sering bersua; entah di kantin biru, di perpustakaan, atau di took buku tempat Layla berburu novel terbaru.
Layla begitu bahagia, bisa berbalas senyum setiap hari dan dekat dengan seseorang yang telah lama dikaguminya. Hari-hari sebelum mereka lulus dari sekolahnya, selalu saja mereka lalui dengan mencipta kenangan yang tak akan pernah terlupakan.
Seperti kala itu, ketika SMA 123 mengadakan perpisahan di sebuah pendakian di bukit barisan. Meski mulanya Rama tak diperbolehkan ikut oleh orangtuanya, namun setelah meyakinkan orangtuanya dengan kata-kata Rama yang menjanjikan kalau ia akan baik-baik saja, akhirnya orangtua Rama pun mengizinkannya.
***
Kini tibalah saat yang bahagia, karena seluruh siswa SMA 123 Sumatera lulus tak bersisa. Juga, saat yang menyedihkan bagi mereka, karena cepat atau lambat mereka akan berpisah demi cita-cita.
Usai acara perpisahan, Rama berjalan mendekati Layla.
“Layla, sebelum kita berpisah nanti, aku ingin bilang sesuatu sama kamu.” Kata Rama dengan nada sedikit gagu, hingga membuat Layla harus menahan detak jantungnya yang mulai memburu.
“Sejak lama, Aku mencintaimu, Layla. Namun aku terlalu malu untuk mengutarakannya, karena keegoisan dan keangkuhanku telah membuat diriku menjadi orang yang dipandang buruk oleh semua.”
Layla benar-benar salah tingkah demi mendengarkan pengkuan Rama, dan ia tidak tahu harus berkata apa? Bahagia yang tiada tara telah tercipta merasuki relung hatinya.
“Maukah kamu menjadi kekasihku?” Kata-kata Rama seperti mengalir begitu saja, membuat Layla harus terdiam tanpa kata.
“Layla, maukah kamu menjadi kekasihku?” Sekali lagi Rama mengutaran segenap perasaannya.
“Aku bahagia, Rama…” Ada binar kebahagiaan yang terselip di bola mata dan senyum indah Layla.
“Aku pun sudah sejak lama mengagumimu, Rama… hanya aku juga terlalu naif untuk mengakui akan hal itu, karena aku hanya mampu mengagumimu dalam diamku.” Kata-katanya begitu deras mengalir bak air terjun Niagara, dan binar itu, menciptakan sabit di lengkung bibir manisnya.
“Jadi kamu mau ‘kan, Layla?.” Rama tak sabar untuk mendengar jawabannya.
“Iya, aku mau menjadi kekasihmu, Rama.” Jawabnya dengan sedikit rona merah di putih pipinya.
Rama pun segera memeluk Layla, kebahagiaan itu menyeruak ke dalam telaga hatinya. Hingga dunia, seolah hanya milik mereka berdua.

Muhrodin “AM”*

Lahir di Lampung 23 Februari 1991. Sekarang masih nyantri di Pon-pes Al-Ihya ‘Ulumaddin, Kesugihan 1 Cilacap, Jawa Tengah. Aktif di Buletin INSPIRASI dan Ihya Magazine sejak 2010. Buku puisi terbarunya ‘Tadarus Kerinduan’ terbit pada April 2015. Ia bisa diakrabi melalui fb. Muhammad Amirudin / Twitter @MuhrodinAM.