Penyihir Aksara (Malaikat Salju)

Do'a Kalimat Pena By. Muhrodin "AM"

Oleh: Muhrodin “AM”*

Aku tersenyum, saat kulihat diriku begitu cantik. Setiap lapisanku adalah warna-warni pelangi seusai gerimis. Ada lilitan membentuk spiral yang mengelilingi kotak tubuhku. Dan pada tiap sisinya, bunga-bunga lili tersemat begitu manis, semanis senyum seseorang yang tengah memegangi kotak tempatku menyimpan aroma kismis. Sebelum aku akan diantarkan kepada seseorang yang (mungkin) spesial, kepalaku dihiasi dengan sebuah nama yang hari esok akan merayakan ulang tahunnya, “Lavira Az-Zahra”
Hujan turun senja ini. Aku tahu, seseorang yang membawaku sedari tadi hatinya teramat gundah. Gelisah. Pesan singkat yang dikirimnya empat kali tak ada balasan, panggilan telepon genggamnya pun tak ada jawaban. Mungkin seseorang yang akan ditemuinya tengah sibuk. Mungkin tak tahu kalau ada getaran pada telepon genggamnya. Mungkin...
Hujan masih setia menemani kegundahannya. Sesekali telepon genggamnya ia bolak-balik hingga tak terhitung lagi berapa kali ia mengulanginya. Saat terlihat banyak anak laki-laki keluar dari ruang kelas dengan bepakaian ala santri; bersarung dan berpeci, hatinya menggumamkan sebuah asa; berharap seseorang yang akan ditemuinya hadir di depan mata. Tapi kau tahu? Bahkan ia pun belum pernah bertemu dengan seseorang yang ingin ditemuinya, hanya lewat dunia maya ia mengetahui kalau seseorang itu kini tengah berada di penjara suci. Tempat orang-orang mengeja cinta ilahirabbi...
“Mas AM, saya mau silaturrahim ke PPAI; saya sudah menunggu di gerbang.” Bunyi pesan singkat yang dikirimkannya  kepada seseorang yang disapanya dengan sebutan AM.  Aku ikut gelisah. Hujan enggan berbisik. Sebentar lagi senja akan sirna, maghrib akan menggantikannya dengan gelap malam beraroma gerimis bulan Desember. Di tengah kegelisahan yang hampir memburaikan hatinya, ia dapati telepon genggamnya berkedip-kedip. Ada pesan masuk dari seseorang yang sedari tadi ditunggu-tunggu kehadirannya. “Maaf, tadi sedang ada Madin.” Hanya kata itu saja. Ya, hanya kata itu yang ia terima dari seseorang yang (mungkin) bukan siapa-siapanya , yang telah membuatnya menahan segenap luapan emosi serta kesabarannya.
“Mas,  ada SMS atau telepon, nggak? Tadi ada yang bilang, sore ini ada seseorang yang akan mengantarkan kue ke pondok.” Seseorang yang lain pun telah menelan gundah. Bahkan ia mengirimkan bunyi pesan singkat itu berkali-kali berharap signal kali ini benar-benar tak mencemburuinya.
“Iya, sudah dibalas, tapi belum ada jawaban.” Balasan dari yang jauh di pelupuk mata telah melegakan hatinya.
“Coba Mas lihat, katanya dia sudah menunggu di gerbang.”
Seseorang terlihat berjalan dengan terburu-buru menuju gerbang pesantren. Hujan masih teramat setia untuk waktu yang entah ke berapa menjatuhkan tetes-tetes beningnya.
“Maaf, apa Anda yang SMS tadi?”
“Iya.” Sedikit ada gigil kala ia menjawab sebuah tanya yang dijangkarkan di antara rintik hujan.
“ Saya mau memeberikan ini,” lanjutnya. Setelah aku dibiarkan beberapa waktu di atas meja, akhirnya ada seseorang yang memeluk tubuhku, memeluk erat kotak tempatku meredam rindu.
“Terima kasih, dengan apa tadi Anda datang?” kudengar seseorang yang tengah memegangiku bertanya dengan sopan.
“Saya, saya naik Bus.” Jawabnya dengan suara yang ditingkahi hujan dari langit.
“Bagaimana nanti Anda pulang?”
“Nanti masih ada Bus.” Kuperhatikan dari lorong-lorong sunyi yang menyembunyikan tubuhku, ada segurat rasa khawatir yang menyelimuti wajahnya.
“Oh, ya sudah. Terima kasih banyak.”
“Iya.”
“Assalamu’alaikum...”
“Wa’alikum salam...”
Seseorang lain telah membawaku menerabas gerimis. Aku berharap, setelah membuka kotaknya, ia akan tersenyum, senyum yang manis, senyum yang ritmis.
Pelan ia membuka kotak yang menaungiku. Aku tersenyum, baju berwarna ungu yang kukenakan semoga mampu menciptakan rekahan senyum di hatinya. Apalagi kau tahu, bukan? Ada sebuah nama yang tersemat di kepalaku, nama seseorang yang tadi sempat mengabarkan kalau senja ini akan ada orang yang akan menemuinya.
“Lavira Az-Zahra” nama seorang wanita yang ia kenal kurang lebih dua tahun lalu. Lewat bedah karya di sebuah grup kepenulisan yang kebetulan dalam cerita itu ia memakai namanya sebagai tokoh utama.
Ia meletakanku di atas almari pada sebuah kamar remang-remang. Cahaya lampu philips terhalang oleh sebuah kertas yang sengaja dipasang oleh tuannya untuk menyamarkan  cahaya lampu yang menyala.
“Sampaikan salam maafnya, ya. Sepertinya dia kesorean.” Sebuah pesan singkat ia kirimkan kepada wanitanya.
Telepon genggam berkedip dua kali, “Iya. Mungkin ia juga tidak tahu kalau mas ada kegiatan. Maghrib dulu, ya...,” ia meletakan telepon genggamnya, setelah membaca pesan singkat yang baru diterima.
Aku masih khidmat menyimak suara adzan yang begitu merdu. Sesekali, suara orang-orang yang entah siapa memancingku ingin segera keluar dari tempat perlindungan. Tapi aku harus sabar, aku yakin seseorang yang kini menjadi tuanku tengah berpikir akan diapakan aku ini? Diletakan begitu saja di atas almari hingga esok pagi, atau malam nanti aku akan diekskusi? Aku tak mampu menangkap imajinasinya sekadar dari caranya tersenyum. Mungkin ia akan membagi-bagikanku kepada rekan-rekan kompleknya, mungkin kepada rekan-rekan kamar yang dibinanya, atau mungkin kepada rekan-rekannya yang lain? Entahlah... itu tak begitu penting untukku, yang terpenting adalah setiap orang yang melihatku akan bahagia, akan jatuh cinta dengan pesona bunga-bunga yang melekat di antara tubuh dan mahkotaku.
Kulihat tuanku mengulum senyum, senyum keceriaan. Ya, tak salah lagi, meski aku masih dibiarkan teronggok begitu saja di atas perapian, tapi aku cukup sabar menunggu datangnya waktu seseorang yang akan menelanjangiku, kemudian membelah seluruh tubuhku. Masih ada waktu sekitar empat jam lagi menuju moment itu. moment yang semoga akan membuatnya bahagia dengan untaian do’a-do’a yang dilangitkan pada Tuhan di bawah naungan malam.
Tik tik tik tik...
Malam menunjukkan pukul 21.22 WIB. Tuanku sibuk di depan komputer, entah apa yang dituliskannya. Mungkin ia tengah merangkai kata-kata sebagai ucapan ‘selamat ulang tahun’ buat wanitanya yang jauh di batas kota, atau mungkin hatinya mulai didera kerinduan kepada seseorang yang entah siapa, aku tak tahu. Nyatanya hingga malam larut, aku masih dibiarkannya begitu saja. Malah kulihat ada seseorang yang mengajaknya untuk segera ke kantor pesantren. Mungkin dia sibuk. Mungkin ada rapat rutin.
Happy Birth Day, harusnya kata itu telah diucapkannya sejak satu jam yang lalu, setidaknya lewat pesan singkat atau BBM. Dan tubuhku seharusnya sudah terbelah. Ya, seharusnya...
Aku menunggu moment itu, di mana kepalaku dihiasi dengan mahkota lilin angka 22, kemudian nyala api akan meneduhkanku, mendamaikanku, melibas semua khayalan yang seharusnya tak perlu kupikirkan. Tapi hingga fajar terbit, aku masih kedinginan...
Tuanku kembali sibuk di depan komputer. Sesekali ia melirik telepon genggamnya yang berkali-kali menyala. Aku pikir tuanku cukup sabar untuk hal itu, seperti diriku yang sedari senja lalu harus menunggu datangnya waktu dipertemukan dengan orang-orang sabar di penjara suci ini.
Tik tak tik tak...
Bukan lagi suara hujan semalam yang terdengar, tapi bunyi keyboard komputer murahan yang kini tengah dipandangi dengan khusyu’ layar monitornya.
“Jangan lupa sarapan, Mas. Aku mandi dulu.” Itu pesan singkat terakhir yang dibacanya.
Aku masih diam dengan penuh kesestiaan. Di kamar biru ini, ia tak tahu harus berbuat apa, yang ia inginkan mungkin menyelesaikan tulisannya. Tulisan yang ingin ia persembahkan kepada wanitanya sebagai hadiah ulang tahun yang ke-22.
Kulihat tuanku mulai mendekatiku, membuka kanopi yang menutupi tubuhku. Aku tersenyum untuk ke sekian kalinya. Saat ini kuyakini pasti ia akan melarungkan do’a-do’a setelah menyalakan mahkota lilin di kepalaku.
Dan, lilin di atas angka 22 pun menyala... Segala doa telah ia pinta kepada Tuhannya. Begitupun setangkup do’a kulangitkan pada sang pencipta cinta dan senja yang membawaku pada makna setia. Sebelum tubuhku lebur, aku ingin menyampaikan risalah hujan yang dibawakan langit kepadamu, tuan...
Tapi bagaimana caranya? Apakah tuan cukup peka dengan segala bahasa yang kuisyaratkan sejak semalam? Tentang kerinduan yang tak berbatas waktu, tentang kesabaran yang tak terukur kedalaman laut dan ketinggian langit biru.
Aku memendam perih, tuan, saat acapkali kau abaikan. Aku memendam sakit, tuan, saat kutahu engkau lebih mementingkan orang lain dan membiarkan diriku dalam kesepian. Aku memendam luka, tuan, saat terkadang kau memercikan api cemburu di tungku hatiku yang kian abu.
Gerimis tiba-tiba saja jatuh ke pangkuan bumi...
Tuan, aku hanya menyampaikan risalah hati tentang wanita yang ingin dimengerti. Tentang wanita yang hatinya teramat rapuh. Di hari istimewanya ini, kuharap tuan tak menorehkan sepi, menghunjamkan belati yang akan membuat hatinya kian terlukai... []

PPAI, 15 Desember 2015*
*Sebuah kado persembahkan untuk Lavira Azh-Zahra; Happy Birth Day...:)


Muhrodin “AM” adalah laki-laki penyuka senja dan hujan. Saat ini masih menjadi santri di Pon-pes Al-Ihya ‘Ulumaddin. Kesugihan 1, Cilacap.

Oleh: Muhrodin “AM”*

Jika ada hal terindah di dunia ini setelah cinta, itu adalah senja. Betapa ia dengan begitu bijaksana telah mengajarkan arti kesetiaan setelah sebelumnya ia sempat mempertemukan dua hati di sepotong senja yang syahdu. Sepotong senja yang menjadikan awal ihwal cinta itu bermula...
Zahara, aku tak pernah menyesali perpisahan kita, meski jika Tuhan mengizinkan, atau bahkan bila aku boleh memilih, ‘aku akan memilih kita tak pernah bertemu’, apatah kau tahu, betapa sakitnya menuai rasa kehilangan? Zahara, kehilanganmu seperti sepotong senja yang muram, meski nyatanya perihal senja adalah makna kesetiaan.
Seperti senja ini, saat sebelum engkau benar-benar telah pergi hingga menjadikannya hati ini giris.
“Apa jika aku pulang, akankah ada yang kehilangan?” itu pertanyaan yang teramat sulit untuk kujawab, Zahara. Kau tahu, sedikit banyak teman-temanmu telah mengharapkanmu, atau lebih dari itu, mereka telah menjadikanmu laksana jauhara di antara lukisan semu. Meski kutahu, itu sama sekali tak akan mempengaruhi keberadaanmu untuk tetap di sini. Jika kau akan pergi, setidaknya pikirkanlah sekali lagi, “Sebab dan untuk apakah kau ke sini, Zahara?” itu pertanyaanku yang kuharap akan kau jawab dengan sepenuh perenungan.
Mungkin, penjara suci tempat kita menuntut ilmu tak sesuai dengan harapanmu, atau bahkan tak membuatmu nyaman? Mengertilah, Zahara, bukankah di mana tempat ber-tholabul ilmi adalah sama? Kitalah yang harus pandai menggunakan kesempatan yang telah Tuhan berikan, setidaknya dengan belajar itulah bukti rasa syukur kita kepada sang pencipta segala kebaikan, pun kedamaian.
“Kerapkali aku kesulitan mengatur waktu, Ziz. Hingga aku merasa begitu tertekan.” Dan lagi, itu ceritamu yang kau sampaikan lewat semilir angin, tepat di sepertiga malam yang hening.
“Benarkah kau akan pergi, Zahara?” akhirnya, kuberanikan menuangkan tanya demi beroleh jawab yang sebenar terang, sebelum malam benar-benar telah punai bersama sayap-sayap keangkuhan.
“Entahlah, aku butuh waktu…” kau pun masih menggantungkan jawabanmu.
“Hanya masalah waktu, Zahara… setelah kau mampu merasai betapa indahnya arti kebersamaan, jua perjuangan tuk menggapai kesuksesan, kau bahkan bisa jadi tak akan lagi mau berpisah dengan tempat ini. Tempat yang menjadikanmu mengerti, betapa kenangan adalah harga yang teramat mahal dan setimpal untuk sebuah kesedihan.  Percayalah, Zahara… aku memang hanya sebatas karibmu, tapi jujur, aku ingin engkau tetap di sini meraih mimpi, menggantungkan cinta dan cita-citamu di atas arasy, di atas langit tempat kita meretas ridha Ilahirabbi.”
Zahara, lagi-lagi kau menanam resah di hatiku. Aku menunggu di batas senja, sebelum temaram dengan jubahnya benar-benar telah menelikung keberadaanmu. Aku mafhum dengan keadaanmu yang ababil, meski jujur, aku pun jauh lebih ababil, tapi haruskah hingga malam tengah meraja engkau rela menancapkan silsilah rindu ini hingga mentari menjemput pagi?
“Kemanakah engkau, Zahara…” gumamku dalam gugu. Bisu. Mungkin beginilah cara Tuhan mencemburui hambanya yang teramat merindukanmu. Meski ini bukan kali pertama kau menghilang tanpa kabar, tapi hatiku teramat belah, Zahara; tangis batinku tak kuasa menahan gejolak luka karena percaya atau tidak, engkaulah muara do’a…
Saat malam lindap, engkau mengirimkan aroma serupa zaqum di bilik nisbiku. Dengan kata yang patah-patah, kauutarakan niat teguhmu bila kau akan meninggalkanku, meninggalkan penjara suci yang telah berbilang waktu menjadikanmu bidadari yang senantiasa aku tunggu. Aku rindu.
“Maaf, Ziz…” kata itulah yang pertama terucap dari bibirmu, yang meski bila tersenyum teramat manis hingga mampu membuat setengah kesadaranku terbang jauh ke awan, tapi kali ini… kekatamu membuat aku patah, limbung bak diterpa angin halimun.
“Aziz, telah kupikirkan dengan segenap perenungan, bahwa tekadku kali ini sudah bulat, aku akan pindah dari sini, Ziz. Maafkan aku…” aku tak mampu melihat wajahmu saat itu, saat kau katakan permohonan maafmu karena akan meninggalkanku. Tapi tahukah kamu, Zahara… saat itulah, airmata tak cukup tuk menebus luka yang ceruknya teramat dalam. Teramat hunjam.
Apa yang bisa  dilakukan oleh seorang lelaki lemah sepertiku, Zahara… aku semakin makbul dalam kenisbian. Tapi engkau telah banyak mengajarkan arti menyayangi, mencintai, bahkan lewat senja yang telah mempertemukan kita, kau ajarkan aku makna setia. Saat kau memutuskan untuk pergi, -sekali lagi- meski aku hanyalah sebatas karibmu, jujur dari lubuk hati terdalam, aku menyayangimu, Zahara… tuntaskah waktu kebersamaan kita? Apakah hanya sampai di sini rajutan cerita sepotong senja dan makna setia yang teramat dipuja-puja? Jika boleh kumeminta, aku ingin waktu berhenti tepat saat kita tengah bersama, Zahara… agar tak akan ada kata berpisah meski hanya satu detik saja.
“Jangan terlalu dipikirkan,” itulah kekatamu saat aku mengeluhkan bahwa aku tak cukup kuasa menahan gejolak rindu ketika jarak dan waktu menjadi musuh yang tak pernah mengenal damai.
“Maukah kau mengirimkan sepotong senja untukku, Zahara? sebagai tanda bahwa meski nanti kita ‘kan berpisah jauh, kita masih sama-sama saling mengingat, bersulam do’a lewat angin kembara yang tiap senja ‘kan kukirimkan untukmu.”
Senja mendadak bisu; halus kekatamu pun tak cukup mampu tuk mengusiknya dari rasa resahku. Saat itulah, aku benar-benar ingin lesap ke dalam bumi...
“Setelah aku pergi, do’akanlah aku mampu mengarungi samudera yang baru dengan bahtera cita-cita dan layar pengharapan, Ziz. Begitu pun engkau, gapailah bintang di awan-gemawan, agar pendarnya mampu kau persembahkan untuk orang-orang yang kau sayangi…”
Harapanku, sebelum senja tengah berpulang; izinkanlah setiaku sebagai hantaran cahaya pelebur remang, meski hingga akhirnya kita akan sama-sama lesap ditelan kegelapan malam. Zahara, sekalipun kini engkau tak lagi bersamaku, namun mengertilah duhai bidadari kirmiziku, rindu dan setiaku tetaplah milikmu… [*]

Secretariat PPAI, 30 Oktober 2015
22:20 am
Muhrodin “AM”
Adalah laki-laki penyuka senja dan hujan. Saat ini ia masih nyantri di Pon-pes Al-Ihya ‘Ulumaddin, Kesugihan 1, Cilacap, Jawa Tengah. Ia bisa diakrabi melalui Fb. Muhammad Amirudin / Twitter: @MuhrodinAM. Buku terbarunya, kitab Puisi dan Cerpen “Hujan pun Enggan Berbisik” terbit di Pena House, 2015. 

Oleh: Muhrodin “AM”*
~**~
“Dan Janganlah kalian menjerumuskan diri kalian dengan tangan kalian sendiri     ke dalam jurang kerusakan.” (QS. Al Baqarah (2): 195)[1]

Banyak sekali alasan mengapa kita harus berpikir ulang untuk menghisap rokok yang hanya ada asap tak ber-api itu. Mengapa harus api? Bukankah sudah cukup asap dan bara sebagai pelepas ‘sakaw’ atau pun lelah yang tak cukup hanya dibayar dengan istirahat? Karena api setidaknya bisa kita ambil manfaat jika kita gunakan sebagaimana mestinya.
Kita semua mafhum, sekalipun mungkin tak pernah mau memahami dari apa dan bagaimana rokok itu dibuat? Di sini cobalah kita telisik sekali lagi. Rata-rata satu batang rokok memiliki kandungan hingga 3.000 lebih bahan kimia berbahaya. Ini adalah beberapa bahan kimia yang terkandung dalam rokok yang harus kita ketahui:
1. Nikotin
Rokok mengandung nikotin yang sangat tinggi. Zat nikotin dalam rokok berasal dari tembakau. Nikotin dapat mengakibatkan kanker serta merusak struktur DNA.
2. Benzene
Benzene merupakan petrokimia yang diipakai untuk men-dry clean pakaian. Bahkan kandungan benzene adalah karsinogen yang dapat mengakibatkan kanker darah.
3. Arsenik
Arsenik adalah logam yang bisa meracuni darah dengan mudah. Terlebih sudah banyak pekerja pabrik yang meninggal karena keracunan arsenik. Kemampuan sel untuk memperbarui diri dapat tergganggu karena akumulasi arsenik.
4. Tar
Tar yang sifatnya karsinogenik timbul ketika rokok dibakar. Tar bisa menyebabkan beraneka ragam penyakit seperti kanker, impotensi, penyakit jantung, penyakit darah, bronkitis kronik, enfisema serta gangguan kehamilan dan janin.[2]

Jika kita pernah mengatakan bahwa rokok adalah obat paling mujarab untuk menghilangkan rasa stress, dan teman paling setia yang selalu memahami kegelisahan kita. Adakah kita pernah berpikir, obat macam apakah yang ditawarkan sebatang rokok di saat kita tengah mengalami stress? Dan, teman paling setia yang seperti apakah yang kita maksudkan dari sebatang cigarette jika nyatanya... perlahan teman paling setia kita justru meruntuhkan kita secara perlahan-lahan. Menikam kita --bukan lagi dari belakang-- tapi secara terang-terangan dengan racun yang teramat mematikan. Jika nyatanya, kita masih menganggap cigarette adalah teman yang paling setia, betapa bijaksananya kita (rela) menggadaikan kesehatan demi dia yang sebenarnya adalah musuh yang benar-benar nyata.
‘Rokok Membunuhmu’; itu adalah slogan yang tertera pada bungkus rokok yang saban hari tiap batangnya kita jadikan pergantungan. Dengan rokok, segala urusan akan beres. Segala masalah akan teratasi, segala lelah akan terbayar lunas. Hanya dengan sebatang rokok. Ya, sebatang rokok yang menyimpan seribu candu hingga kita tak mampu menolaknya untuk tetap menghisapnya meski hanya dalam hitungan waktu.
Pada zona nyaman ini, apakah kita tak pernah melihat betapa sekeliling kita begitu indah. Adalah sayang jika harus terkontaminasi oleh kegetiran dan rasa frustasi orang-orang ‘sakaw’ yang akhirnya menyerah hanya dengan gulungan asap dan sebatang cigarette. Hanya karena merasa kurang PD atau belum menjadi laki-laki jika tidak merokok. Begitukah? Betapa sempit dan ababilnya kita jika ke-Pd-an dan Ke-Lelaki-an kita hanya diukur dengan sebatang rokok.
Kita hanya mengekor dari isu yang tidak ada bukti kebenarannya. Jika kita bertanya pada angin, atau pada tumbuhan dan bahkan pada udara yang begitu segar, begitu suci. Adakah bukti ilmiahnya jika rokok mampu membuat kita menjadi laki-laki seutuhnya? Atau dengan rokok kita menjadi satu tingkat lebih PD menghadapi badai apa pun daripada laki-laki perokok pasif. Tentu jawabnya adalah NOT RESPONDING. :v  :D *Tentu saja, karena mereka enggan untuk sekadar berbisik, apalagi menjawabnya. ;)
Malah bisa jadi, perokok pasif itulah yang sudah memiliki confident yang tinggi, hingga tak perlu lagi sebatang rokok untuk menjadikannya lebih lelaki. Atau bagi perokok pasif, healthy is expensive, dan sebagai bentuk rasa syukur kepada sang pemberi kesahatan, sudah sepantasnya kita menjaga karena itu jauh lebih baik daripada mengobati.
Terlepas dari perokok aktif atau pun perokok pasif, kita sama-sama memiliki persepsi untuk berspekulasi tentang bahaya dan manfaat cigarette itu sendiri, tentu dengan bukti ilmiah yang bisa kita pertanggungjawabkan keabsahannya.
Telah kita ketahui bersama, bahwa rokok adalah candu. Kerap terjadi perseteruan, meski (mungkin) hati kecil ini mengatakan merokok tidak baik untuk kesehatan, atau bahkan percaya sepenuhnya dengan slogan bahwa ‘Rokok Membunuhmu’. Tapi karena candu yang telah memperbudak, akhirnya kita abai atau bahkan pura-pura abai hingga pada tingkat itulah, hanya penyakit yang sudah terlalu akut atau bahkan hanya kematianlah yang mampu menghentikan aktivitas yang katanya adalah ritual untuk menuju Tuhan.
Berikanlah satu alasan, kawan. Mengapa kita masih tetap bertahan? Apa yang sebenarnya kita dapatkan dari sebatang cigarette yang hanya berupa asap dan bara? Hargailah orang-orang di sekeliling kita yang begitu bijaksana mensyukuri nikmat-Nya. Dengan tidak merokok, kita menjauhkan orang-orang yang kita cintai dari sang penyebab segala luka. Setidaknya berpikirlah sekali lagi, demi orang tua, demi mereka yang menyayangi kita, dan demi seseorang yang kita tak akan rela jika ia harus menanggung getahnya karena rokok telah menyakitinya... []
PPAI, 11 November 2015*
Muhrodin “AM”*
Adalah santri Pon-pes Al-Ihya ‘Ulumaddin, Kesugihan 1, Cilacap. J

Pembelian 10 buku gratis ongkir. (Alamat Indonesia)

Hujan pun Enggan Berbisik


Penulis: Muhrodin 'AM'Penyunting : Lavira Az-Zahra
Tata Letak : Lavira Az-Zahra
Desain Sampul : Lavira Az-Zahra dan Vindy Putri 

Redaksi Pena House:
Jalan KNPI Gg. Cendrawasih, Bangkle, Blora, Jawa Tengah 58200
Telepon : 0899-571-8264
Email : azzahra.house834@gmail.com
Facebook: CV. Pena House Agency
Website : penahouseagency.blogspot.com

Cetakan I, Agustus 2015
ISBN : 978-602-389-030-9

Hak Cipta dilindungi undang-undang
Dilarang keras memperbanyak atau memindahkan sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apapun secara elektronik maupun mekanik, termasuk memfotokopi, merekam atau dengan teknik perekam lainnya tanpa izin tertulis dari penulis.

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Hujan pun Enggan Berbisik, Editor: Lavira Az-Zahra -
Blora: Pena House, 2015
178 hlm, 13x19 cm.

I. Judul II. Hujan pun Enggan Berbisik

Harga:
35ribu. (umum)

Pemesanan:
HPEB_nama_alamat lengkap_jumlah buku yang dipesan.
Kirim ke 08995718264

Sinopsis:

Hujan adalah saat paling mengerti
Bila sebongkah hati tengah berkawan sepi

Mengeja hujan-Mu, aku…
Tiada yang paling syahdu 
di saat hati tengah diredam rindu
Kepada hujan yang kali ini bergemirincing
Kusapa kau dengan rinduku, 
“Adakah bebisik mesra agar hatiku tak lagi cemburu?”

Safira, sedang apakah dirimu? Tidakkah kau merasa, 
atau setidaknya Tuhan telah berkirim risalah rindu ini 
dengan lantaran jatuhnya bulu mata? 
Sebagai sinyal rinduku yang selalu kuperam untukmu, 
untuk gadisku yang senyumnya adalah kelopak mayang 
dan matanya adalah tsuroya di antara lukisan Tuhan.
Safira, jika berpisah adalah cara Tuhan 
untuk mempertemukan cinta kita, aku rela, 
sekalipun perpisahan itu ‘kan membuatku lebur 
bersama butir debu yang terempas angin hingga 
tak bersisa. 
Aku rela kau meninggalkanku dalam kesunyian, 
dalam kenisbian, dalam sembahyang lilin yang akan 
meluluhlantahkan diriku pada penghambaan. 
Namun mengertilah, adakah yang lebih tabah 
dari laki-laki yang menahan rindunya 
hingga mentari menjemput pagi?





Oleh: Muhrodin “AM”*

1
Kuawali surat ini dengan menyebut asma-Nya; yang jiwanya adalah cinta, dan setianya adalah bunga-bunga di taman seloka…
Demi sang penjaga cinta, kularungkan rasa ini lewat kidung arsua dari sang lelaki yang menjatuhkan airmatanya di atas bumantara.
Demi sang penyelamat segala, dan sang pemantik renjana, kupasrahkan segala luka. Meski sayap-sayapku telah patah, aku percaya, Tuhan masih menyematkan cinta selaksa api, hingga rasa di sebilik hati ini masih terus menyala… 
Layla, masih ingatkah saat pertama kita memadu cinta di bawah hujan bulan Juni? Tentu, bukan sekerat puisi Sapardi Djoko Damono yang akan kupersembahkan untukmu, tapi cinta, cinta yang sebenar nyata hingga bidadari-bidadari surga mencemburuinya.
Tiada yang lebih indah dari ketika aku melihatmu tersenyum, Layla. Karena senyummu sungguh merupa anggur yang memabukan, selaksa candu yang kapan saja dapat mematikan. Namun, kini mengapa engkau bermuram durja?
Layla, jika diammu adalah sebuah amarah yang memang tak pantas untuk kauungkapkan, maka, izinkanlah aku ‘tuk merasai sakit ini bersama rindu yang seringkali membuatku gugu di sepertiga malam yang sunyi.
Seperti seribu malam pada ruas kalender. Ketika rindu tak mampu kupikul sendiri, ingin kugantungkan rasaku pada bulan sabit di langit tertinggi, atau pada bintang-bintang, agar sinarnya mengilhami luka yang menghunjam. Lalu, akan kupersembahkan sekantung do’a agar engkau senantiasa dalam pelukan Tuhan.
Layla, meski tak kupungkiri ada sebait badai saat kau berpaling, namun aku berpasrah dengan segala kealpaan. Karena ketika saat engkau menjauh dan tak mampu kusentuh, bukan tanpa alasan aku ingin mengirimkan sehelai kertas ini sebagai risalah rinduku, atau sebagai jiwa yang mengharapkan putik kenangan.
Aku bukanlah Majnun yang begitu tabah menghadapi badai kerinduan pada Layla-nya tersebab cinta yang mereka tanam terlalu mulia, terlalu istimewa. Aku hanya sehelai daun kering yang patah, ketika terempas angin sekejap saja akan dirundung remuk dan menghilang. Jika sejatinya hidup adalah meninggalkan dan atau ditinggalkan, maka tak ada yang salah jika nyatanya cinta memang harus melepaskan dan atau dilepaskan.
Dan aku, melepaskanmu dengan seribu nyanyian kesetiaan… [*]

2
Jika tak berkebaratan, aku ingin melukis tentangmu; tentang wajah yang bagai kelopak krisan, tentang senyum yang membawaku terbang ke kahyangan, dan tentang semua yang membuat aku tak lagi mampu membedakan mana cinta dan mana kasih sayang… 
Putri Dea Agestasia…
Tepat satu tahun aku mengenalmu. Seorang putri yang cantik, tenang,  penuh misteri, dan tentu saja menarik bagi tiap para lelaki.
Dea, kurasa bukan kebetulan Tuhan telah mempertemukan kita. Karena diyakini atau tidak, dalam sebab-musabab semuanya telah digariskan. Maka, izinkanlah aku untuk menuliskan sepucuk surat untukmu. Setidaknya, karena engkau begitu istimewa di hatiku…
Sulit untuk dijabarkan pada sebongkah tanya mengapa aku begitu mengagumimu? Mungkin karena engkau berbeda, atau lebih tepatnya memesona, hingga rasa yang semakin menghunjam bermetamorfosa menjadi cinta.
Ah, Dea. Tidakkah kau mampu membaca pertanda dari tiap lelakuku yang seringkali salah-tingkah ketika bersitatap denganmu? Atau segurat senyum yang tak lagi dapat ternamai ketika mataku melihatmu dalam waktu yang sesingkat kelebat kilat sekalipun. Untuk hal itu, aku selalu berdo’a agar Tuhan berkenan mempertemukan kita pada kesempatan yang indah, tentunya...
Tak banyak yang ingin kusampaikan pada suratku ini, karena keluguan dan kepolosanmu itu aku ingin engkau tahu, Dea. Terkadang jemariku tak luput ingin mengacak rambut pekatmu yang adalah sebagai bukti kasih-sayang dan cintaku. Tapi akhir-akhir ini, kita tak memiliki cukup waktu untuk bersama, sekalipun terkadang kita bersua, tapi itu hanya sepersekian menit dari waktu yang ada.
Dea, jika boleh memilih, aku ingin bersamamu. Merajut kisah cinta paling indah dari kisah cinta yang pernah ada –Kitab cinta Yusuf Zulaikhah, Siti Nurbaya, Cleopatra, bahkan Laila-Majnun  sekalipun!– Betapa tidak? Engkau adalah wanita bermata do’a dengan wajah kilau cahaya. Laki-laki manapun akan bersetuju, bahwa engkau adalah wanita terbaik yang pantas menjadi pendamping juga ibu bagi anak-anaknya.
Tapi tidak, Dea. Rupanya, kedekatan kita telah menyakiti seseorang yang jauh lebih dulu mencitaimu. Kau tahu, betapa sakitnya melihat seseorang yang kita cintai seringkali berkencan dengan orang lain? Terlebih dia adalah sahabatnya sendiri!
Ya, dia sahabatku, Dea. Sabahat yang tak pernah kuanggap bahwa ia pun telah memiliki rasa yang sama; mencintaimu lebih dari yang aku kira. Dan itu sudah cukup membukakan perisai hatiku yang sempat kasat mata.
Sampai di sini, sepertinya aku (harus) cukup tahu diri. Kencan kita yang berbilang hari, bukanlah tolak-ukur kebersamaan yang abadi. Itu hanya mimpi bagi lelaki nisbi sepertiku; lelaki yang tak pantas mendapatkan cinta suci dari bidadari kirmizi sepertimu.
Dea, maafkan aku karena telah mencitaimu…
Terima kasih engkau pernah hadir mengisi lubuk hatiku dengan putik cintamu. Akan kukenang selalu dalam kidung do’a-doa, dalam bentangan kanvas dari surga yang berlukiskan wajahmu seindah purnama. Putri Dea Agestasia, dari sini aku percaya, bahwa berdo’a adalah cara terbaik untuk jatuh cinta… [*]

3
Aku berlindung dari para kekasih yang melukai…
Kekasih… maukah engkau menemaniku mencari sepotong senja yang hilang? Sejak senja itu meremang, semuanya tak lagi dapat merasakan keindahan senja di segelas cappuccino, atau di semangkuk sub buah di café temaram.
Aku ingin mencarinya dan akan kupersembahkan sepotong senja itu untukmu, Adellea. Agar kaupercaya, bahwa cahayanya yang teramat mengagumkan sempat menjadi perburuan banyak orang.
Dulu sekali, beratus purnama yang lalu, ketika sepotong senja itu masih menjadi milik seorang lelaki bermata sendu, senja itu akan dikirimkan kepada kekasihnya. Namun kautahu, Sayang? Petugas pos yang hendak mengantarkan sepotong senja itu tak pernah menemukan alamatnya. Hingga perlahan, kuning keemasan yang terbungkus di dalam sebuah amplop itu menghilang, dan sampai detik ini, tak ada seorang pun yang tahu di mana senja itu tengah berpulang.
Alina adalah gadisnya yang teramat dicintai, hingga ketika ia menginginkan sepotong senja di segelas cappuccino, Syukab, kekasihnya, dengan setia mengirimkannya. Tapi adalah cerita yang tak terlalu sedap untuk dikenang, Sayang. Karena sejak senja itu menghilang, Alina meninggalkan Syukab dengan tanpa perasaan. Dan aku, tak ingin kisah usang itu berulang. Aku tak ingin menjadi Syukab yang harus menerima kenyataan bahwa luka adalah harga yang setimpal untuk sebuah kenisbian.
Adellea, cerita itu mungkin tak akan sama dan tak akan pernah sama jika saja sepotong senja yang aku cari di segelas cappuccino dan semangkuk sub buah di café temaram dapat aku temukan. Karena seperti kebanyakan wanita, engkau pun menginginkan keindahan guratan merah saga dapat kembali memberikan warna  cinta, atau lebih dari itu, engkau akan merasa menjadi wanita paling istimewa karena mendapatkan sepotong senja yang selama ini dipuja-puja.
Tapi, jalan cerita yang kusangka bahagia harus berakhir sama; rupanya, engkau pun meninggalkanku dengan segenap lara.
Adallea, adakah engkau tak pernah mengerti. Betapa sakitnya dikhianati oleh seseorang yang dicintai? Andai engkau memahami bahwa ‘jatuh cinta adalah cara terbaik untuk bunuh diri’ seperti yang diyakini oleh Bernad Batubara, engkau pasti akan memilih setia, setidaknya tetap memilih bersamaku hingga saatnya kita dapat merasakan indahnya senja di segelas cappuccino dan semangkuk sub buah seperti yang sama-sama kita inginkan, sama-sama kita impikan.
Mengingatnya hatiku belah. Cinta terlalu indah untuk diakhiri dengan perpisahan, dan setia, terlalu sayang untuk dilewati dengan pengkhianatan.
Adellea, sejak kau meninggalkanku di sepotong senja yang muram. Serpihan kenangan itu tiba-tiba saja mengoyak jiwaku. Aku seperti halnya lelaki yang tak pantas untuk dicintai. Bahkan, oleh sepotong senja sekalipun!
Akhirnya, serpihan kenangan itu kini sempurna. Dari bisikan malam paling jelaga, aku mencoba meraba-raba. Bilakah setia harus dibuktikan dengan setangkup kejujuran, maka jujur kukatan, “Aku tak pernah menyesal telah mencintaimu, meski harus merengguk semangkuk darah kematian…” [*]

Al-Ihya ‘Ulumaddin, 20 - 25 Juni 2015*

Muhrodin “AM”*
Lahir di Lampung 23 Februari 1991. Sekarang masih nyantri di Pon-pes Al-Ihya ‘Ulumaddin, Kesugihan 1 Cilacap, Jawa Tengah. Aktif di Buletin INSPIRASI dan Ihya Magazine sejak 2010. Ia bisa diakrabi melalui fb. Muhammad Amirudin / Twitter: MuhrodinAM. J