Penyihir Aksara (Malaikat Salju)

Do'a Kalimat Pena By. Muhrodin "AM"

By. Muhrodin “AM”*

          Rerintik hujan ini adalah derap hati yang membeku, menahan gejolak rindu di antara puing-puing hati yang hanya mendamba untaian cinta setelah nyanyian senja yang berdiorama bianglala membias di batas cakrawala. Dua hati saling menyapa, mendedah jiwa di bawah jantera mayapada bernapaskan do’a paling didamba...


Telah terbit!!!
Buku kumpulan puisi hasil event bulan Desember 2013

Sejuta Rasa untuk Ayah 
Cirebon, Gema Sastra Publishing 2014
x + 200 hlm, : 13 x 19

Penulis : Annisa Reefa Wulandari, Anisa Sholihat, dkk
Desain Cover : Capten Iwan Wungkul
Editor : Gema Sastra Publishing
Layout : Gema Sastra Publishing

Copyright © Mei, 2014

==================================
Kontributor:

1. Nurhikmah hakiki
2. Rosiana febriyanti
3. Alfa anisa
4. Icha hayatunnisa
5. Yunita dwi indraswari
6. Wahid muslim
7. Alifia zakiyya
8. Burung kecil
9. Hibari ohara
10. Nieranita
11. Yara purnama
12. Aa khanum
13. Adit detlh
14. Anggi putri
15. Ismala astari
16. Asep awaludin
17. Sindi violinda
18. Askar marlindo
19. Nurhalifah estivhannisa
20. Lifania
21. Elly raheliyawati
22. Harie khairiah
23. Ricky ramdhan d
24. Riyanti binti rochmad
25. Norhayati. A. Azim
26. Bunga cahaya
27. Tri adnan
28. Little athaillah
29. Hoshi runiya
30. Ali amru nasution
31. Lyra enhaihi
32. Annisa yumna ulfah
33. Haura az-zahidah
34. Nisa rhiny
35. Hastira soekardi
36. Hastira soekardi
37. Embun fajar
38. Nidhom ve
39. Shafiyyah al lathif
40. Fs. Nurani
41. Riswan seishin
42. Ghaaziy mufiid
43. Jay sibella
44. Ranita oktavia
45. Linda mustika h
46. Azzah qur`ani
47. Linha sayni
48. Ricky ramdhan d
49. Yutri linoki liyu
50. Reesta saafia
51. Wahid muslim
52. Hariani,s.pd
53. Dyah israharjo
54. Lillis nurhalimah
55. Afiyah hawada
56. Risty
57. Eva yuli artha,s.pd
58. Asih sujariyah
59. Nenny makmun
60. Echa hanna
61. Anisa sholihat
62. Rachma hadi
63. Leydyandra vater
64. Ifa pay
65. Mukhdariah madjid
66. Iman setiadi
67. Susi retno juwita
68. Guntur b'yasa
69. Yenni gustina
70. Iza zuhroh
71. Ardini n. Wijaya
72. Ukhtyan muhibbah firdaus
73. Malisa ladini
74. Muhrodin AM
75. Akbar al-Sajad
76. Sinar rembulan
77. Sonya hervina okthiara
78. Amel ica
79. Zilfiera
80. Er-diyar
81. Nurdiyah
82. Andhy al-fatih
83. Nyuwun laksana angin
=============================
Harga: Rp 48.500 dan Rp 38.800 (Penulis)
Untuk order silakan sms ke 085797044034 atau inbox ke Annisa Reefa Wulandari dengan format: SRUA_NAMA_ALAMAT_NO HP_JUMLAH

By. Muhrodin “AM”*


Prolog

            Senja itu, kala sang mentari mulai beranjak keperaduannya, aku duduk termangu di atas terdam, deretan bebatuan tempat pemecah gelombang.
Semilir angin menyentuh tubuhku, mencipta kedamaian pada relung hatiku yang tengah dirundung kepedihan tiap kali kuharus mengingat tentang masa lalu itu.

            Sejak kita sama-sama masih duduk di bangku SD, kita sudah sangat dekat layaknya dua sejoli yang tak bisa untuk dipisahkan. Sekolah bersama, makan bersama, mengaji bersama, sampai terkadang kita hujan-hujanan bersama, dan jalan-jalan berdua menyusuri tiap halaman rumah tetangga ketika hujan sudah mulai reda...
Aku tak tahu kenapa kita bisa sedekat itu, mungkin saja karena rumah orang tua kita saling berdekatan, sehingga kita menjadi teman yang tak pernah bisa terpisahkan.
Hingga menginjak remaja, kita masih terus bersama, jalan-jalan ke pantai, atau sekedar main di rumahnya sambil nonton tv hingga berjam-jam, sampai-sampai banyak yang mengira kalau kita pacaran. Tapi itu salah, karena kita sudah mempunyai pasangan masing-masing tiap kali sedang bercanda membahas tentang orang yang menjadi soulmate buat kita. Sang ketua kelas yang tampan dan penuh wibawa untuknya, dan sang jenius yang cantik jelita dan penuh pesona untukku. Itu yang terjadi tiap kali kita sedang bermain bersama temen-temen, entah di rumah ataupun di sekolah.

            Kulalui hari-hari yang ceria, bersamanya aku begitu bahagia. Mungkin dialah sahabat fillah yang telah menjadi bagian dari hidupku. Aku bersyukur bisa mengenalnya dan menjadi bagian dari hidupnya.
Namun sejak kita duduk di bangku SMA, aku merasa ada hal yang berbeda tiap kali kumemandang raut wajah cantiknya, seolah aku baru tersadar dari tidur panjangku, seperti mimpi... Aku menemukan aura kecantikan yang terpancar dari dia yang menjadi sahabat kecilku.
Sebelumnya, aku memang tak pernah menyangka jika perasaan ini ternyata berubah menjadi cinta. Salahkah jika hati ini mengatakan aku mencintainya? Dulu, aku memang menyayanginya sebagai sahabat, tapi sekarang lebih dari sekedar kata sahabat. Tapi, cinta...
            Sejak aku mengerti akan rasa yang hadir dalam hati ini, aku sering salah tingkah tiap kali harus bercanda dan bersama dengannya.
Aku menyadari, mungkin aku telah menyalahi tentang perasaan ini, perasaan sahabat yang selalu dia anggap untuk sebuah kebersamaan yang selama ini kita jalani, tapi tidak untuk rasaku, aku mulai mengaguminya, menyayanginya dan ingin selalu melihat senyum manisnya, hingga kusadari kini aku telah jatuh cinta. Ya, jatuh cinta pada seorang sahabat yang kurang lebih dua belas tahun kulalui hidupku bersamanya.

            Dia tak mengerti sebelumnya, kalau aku memiliki perasan yang lebih istimewa dari sekedar sahabat, hingga kutuliskan semua tentang perasaanku dalam buku diary yang kuberikan padanya tepat waktu aku akan pergi meninggalkannya.
Sungguh, aku merasakan kesedihan yang begitu dalam kala kuharus jauh darinya... Begitupun dia, yang meneteskan air mata ketika tiba-tiba kita harus berpisah untuk waktu yang cukup lama.
Aku tahu, ia amat bersedih karena akan ditinggalkan oleh seorang sahabat yang selama ini selalu mengisi hari-harinya, tapi rasa hatiku sungguh lebih dari itu, serasa tertimpa sebuah benda yang beratnya berton-ton, aku tak kuasa menahan kesedihan yang merasuk ke dalam sukma, namun aku harus kuat, demi sebuah cita-cita...

            Berbulan-bulan aku memendam perasaan rindu ini kepadanya, hingga menginjak hitungan tahun, namun akhirnya aku harus kecewa.
Mungkin selamanya dia hanya menganggap aku sebagai sahabatnya, hingga waktu itu tiba, sungguh aku hampir tak percaya, dia menelponku, mengabarkan tentang pernikahannya dengan orang yang tak pernah kukenal sebelumnya. Ia menangis terisak mengharapkan sahabat kecilnya untuk bisa datang menghadiri acara istimewa dalam sejarah hidupnya. Entah apa yang ia rasakan saat itu, tangisnya membuat aku ikut tergugu...
            Aku menyayanginya, sungguh sangat menyayanginya, bahkan telah mencintainya lebih dari yang seharusnya. Namun, ternyata perasaanku harus kukubur dalam-dalam karena kusadari, dia bukanlah jodohku, dan sampai kapanpun aku tak akan pernah bisa mendapatkan cintanya.
Hanya kata sahabat yang tetap tersemat dalam lubuk hatiku yang kini telah terluka. Sejak saat yang mampu meluluhlantahkan jiwaku, aku berusaha sekuat hati mencoba untuk melupakannya.
Hanya kenangan sahabat yang masih tetap kujaga, hingga kita dapat berjumpa pada kehidupan yang mungkin telah berbeda...

Epilog

            Tak terasa, bulir-bulir air mata telah membuyarkan lamunanku.
Senja mulai menjelma temaram kala kulihat lautan yang seperti tak bertepi.
Aku masih dapat merasakan sakit hati ini yang begitu menyiksa batinku, hanya do'a yang dapat kupersembahkan untuk kebahagiaannya di sana, bersama dia yang kini telah menjadi bagian dari hidupnya, untuk selamanya...

            Dalam dimensi yang berbeda, aku pasrahkan segala rasa, dan aku percaya skenario tuhan jauh lebih indah dari sekedar cinta yang pernah membuat aku terjatuh hingga tak berdaya...

Meskipun perih, aku harus melupakan perasaanku yang telah membuat aku kecewa.

Di penghujung senja, di pantai Teluk Penyu, kukubur sebentuk luka karena cinta yang dulu pernah tercipta...  

*Cerita ini telah terangkum dalam Buku Antologi Cerpen "Melupakan #4" Penerbit Harfeey 2013

By. Muhrodin “AM”*
~~~
Adalah ia, yang menanti rinai hujan dalam diam. Mengembara jauh, sejauh mata menerawang langit lazuardi, mencari titik keindahan dan kedamaian yang sejati…


Gemericik air hujan malam ini laiknya nyanyian alam tentang kerinduan pada sang penghuni bumi. Suaranya yang memburu, namun begitu mampu mendamaikan sebagian hati yang tersakiti.
Ia masih setia menikmati keindahan yang sangat erotis tentang arti dari filosofi hujan. Menurutnya, hujan adalah sebagian dari keindahan yang Tuhan ciptakan untuk menerpa kerontangnya hati karena berbagai problematika kehidupan.
Oh, alangkah agungnya kuasa Tuhan. Karena rinainya, tak sedikit dari mereka akan terperanga dalam dimensi yang berbeda, adalah bianglala yang tercipta tiap kali hujan reda di penghujung senja.
Ia akan tersenyum dalam diamnya, tiap kali lukisan Tuhan tentang warna-warni pelangi itu melengkung di batas cakrawala. Tak sedikit  karya-karyanya adalah inspirasi yang terbias dari goresan yang tercipta setelah nyanyian alam. Dan  ia begitu Setia jika harus menanti datangnya hujan dari atas langit senja.
“Surya, Tak seharusnya kau terus larut dalam lamunan panjangmu tiap kali hujan datang menerpa. Tidak kah kau tahu? tak sedikit dari mereka pun menyalahkan rinai hujan karena keangkuhannya terkadang sering membuatnya payah dan mengeluh.” Ia hanya tersenyum, kala Suatu waktu seorang sahabatnya memberikan komentar akan kebiasaannya menanti hujan. Bahkan di hari-hari selanjutnya, ia masih tetap setia menunggu datangnya rinai hujan. Hujan  yang pernah membuat kenangan indah dalam hidupnya, meski mungkin sekaligus membuatnya telah terluka!
“Bagiku, hujan adalah sesuatu yang sangat istimewa. Karena keindahan yang Tuhan ciptakan lewat nyanyian hujan adalah satu dari sekian anugerah yang tuhan berikan untuk para hambanya. Ia memberikan jawaban yang menurutnya memang seperti itulah kenyataannya; nyanyian hujan adalah indah adanya.
Ia memiliki sepenggal kisah dengan kekasihnya. Tiap derainya adalah suatu harapan dalam napas hidupnya. Fika, wanita yang kurang lebih dua tahun belakangan ini telah menemani suka dukanya, telah mengajarkan arti kesetiaan dalam hidupnya, bersama hujan mereka merajut kisah sederhana menjadi untaian cinta.
“Aku selalu bahagia tiap kali bersamanya melihat rintik hujan, senyum indahnya membuat aku selalu ingin terus dan terus bersamanya, tak sedikit kenangan indah yang tersimpan dalam memorabilia bersamanya adalah hujan yang setia menemaninya, meski karenanya pula, aku harus kehilangan dia untuk selama-lamanya.
Kala itu, ia mengajakku kesebuah telaga warna, dan tak lama kami di sana, hujan pun turun berirama. Dia, aku dan cinta kita, adalah setitik hujan yang tercipta, kami selalu tersenyum tiap kali hujan datang menyapa.
Aku merasakan ada sesuatu hal yang berbeda, meski senja dengan rinainya telah bersama membasahi sekujur tubuhku dan tubuhnya, namun senyumnya kurasakan tak seperti biasanya, dia banyak diam dengan mata sayunya, hanya sesekali tangannya melingkarkan memeluk tanganku, dan sesekali pula kepalanya disandarkan dalam bahuku. Aku tak pernah menyangka, kalau saat itulah terakhir kalinya kami bersama, meniti hujan yang akhirnya mengantarkan dia kedalam kehidupan yang berbeda.
“Aku sayang sama kamu, Surya… “ Terakhir kata-katanya sebelum dia benar-benar meninggalkanku sendirian meniti rinai hujan untuk hari yang kelam.
- Kecelakaan itu, membuat aku terus terpuruk dalam kerinduan. Yah, aku selalu merindukannya, tiap kali langit menumpahkan amarahnya, aku selalu berharap bisa bersamanya, meniti kembali masa-masa indah yang sempat terlewati bersamanya, bersama hujan yang mampu mencipta cinta dan kerinduan yang mendalam. Namun, realitanya, itu hanya kamuflase yang selamanya tak akan pernah terwujudkan-.
***
Bersama rinai hujan, kini ia menatap langit lewat tirai jendela. Tak sedikit asa dalam bahagia yang tercipta, juga tentang luka karena cintanya telah sirna bersama nyanyian hujan di penghujung senja.
Happy Birth Day, My Honey. J
Wish U All The Best.
Fika love Surya.

Terselip lara dalam hati yang berderu oleh sebongkah kerinduan. Kala kata-katanya sebulan lalu, tepat di hari ultahnya yang ke-21 kembali terbaca oleh sang waktu. hanya doa yang tersemat dalam perisai qalbu, semoga dia bahagia selalu, bersama kasih sayang dan cinta dari sang pencipta alam semesta…
Dalam diamnya, ia masih tetap setia menanti nyanyian hujan hingga keajaiban Tuhan datang padanya…
&&&

“Al-ihya ‘Ulumaddin,  Juni 2013”

*Cerita ini telah terangkum dalam Buku Antologi Cerpen "Menunggu #2" - Penerbit Harfey 2013

Inspired by the Cover Kanvas dalam Lukisan
By. Muhrodin “AM”*
***
Pagi yang kelabu, langit mulai menumpahkan amarahnya, seolah beban berat yang telah lama disimpannya kini terlepas sudah…
Raya masih diam tak bergeming di kamarnya, setelah selesai mandi dan sedikit memoles wajahnya, ia kembali duduk didepan cermin riasnya yang berada tepat di dekat jendela. Sesekali mata indahnya menyaksikan buliran air hujan yang tak kunjung reda. Hatinya mulai resah, dilihatnya jam di pergelangan tangan kanannya telah menunjukkan pukul 08.20 WIB,
“Sudah telat 20 Menit.” Gumamnya semakin resah…
          Hari ini, di kampus tempat raya kuliah, ada pameran lukisan. Kebetulan Raya adalah salah satu panitia penyelenggara pameran lukisan itu. Berkali-kali teman-temannya mengirimkan pesan singkat untuknya, namun Raya menyadari, keadaan memang tak memungkinkan untuk ia segera berangkat ke kampusnya.
Hingga tepat pukul 08.45 WIB, Raya baru keluar dan berjalan ke halte untuk menunggu bus yang akan mengantarkannya berangkat ke kampus. Sepuluh menit berlalu, Raya telah sampai dan segera bergabung bersama teman-teman panitia yang tengah sibuk menata lukisan-lukisan yang akan dipersiapkan untuk pameran nanti.
“Raya…” Panggil Dilla, setelah Dilla mengetahui kedatangan Raya.
“Iya, ada apa?” Jawabnya sambil mengatur napasnya yang masih memburu.
“Kemana aja sih? Jam segini baru kelihatan?” Tanya Dilla, gemas.
“Maaf, tadi menanti hujan yang tak kunjung reda.” Jawab Raya dengan sedikit alasannya.
“Oh, Sini buruan, ada Lukisanmu.” Kata-kata Dilla membuat Raya sedikit mengerutkan keningnya.
Raya tak mampu untuk menyembunyikan rasa herannya sekaligus rasa kagumnya, setelah melihat lukisan yang terpampang jelas di antara deretan lukisan-lukisan yang lainnya, Raya menemukan raut wajahnya terlukis di sana, dengan sebaris senyum yang tersungging di bibirnya dan lesung pipi yang membuat lukisan itu tampak sempurna. Di bawahnya ada nama ‘Langit Ar-raya’, yang digoreskan dalam kanvas yang mengandung unsure cinta.
Speechless raya melihatnya.
Untuk sepersekian detik, Raya masih lekat memandang lukisan itu tak percaya. “Siapa yang telah melukisnya? hingga raut wajah di lukisan itu nyaris tanpa cela.” Pikirannya mengembara mencari sosok yang mungkin pernah menjadi pemujanya. Adi, Rendy, Rio, Angga… Namun sejauh mata menerawang, tak ada satupun pengagumnya yang masuk dalam kategori pelukis hebat. Bahkan yang masuk pecinta seni dan keindahan pun hampir tak ada.
Apakah ia seorang pemuja rahasi?
Raya mencari tahu pelukis misterius itu kepada teman-teman panitianya, namun satu pun tak ada yang tahu. Atau lebih tepatnya mungkin ada yang pura-pura tak tahu? Entahlah…
Setelah acara pameran lukisan telah usai, Raya hendak mengambil lukisan dirinya dan berniat untuk membayarnya. Namun seseorang tengah memanggilnya dan membuat Raya sekali lagi terdiam tanpa kata.
“Raya… lukisan ini buat kamu, tadi pelukisnya meminta saya untuk menyampaikan kepadamu, dan ini juga titipan dari pelukis itu.” Ben, salah satu panitia pameran memberikan seikat bunga dan lipatan kertas berbentuk hati kepada Raya.
Raya masih diam tak percaya, hingga Ben telah pergi menghilang dari pandangan kosongnya.
Hari ini benar-benar penuh teka-teki, dan Raya harus segera mengungkap siapa skenario dari sandiwara ini.
Perlahan, ia membuka lipatan kertas yang ternyata isinya adalah Untaian puisi “Kanvas dalam Lukisan”, dan di pojok kanan bawah tertera sebuah nama : -Riko-.
“Siapa Riko? Seperti pemuja rahasia, aku bahkan tak pernah mengenalnya, walau hanya sebatas nama…”
Raya melangkahkan kakinya untuk segera pulang. Namun, tiba-tiba ponselnya berdering. Ben, Calling…
“Hallo, Raya… Baru saja Riko kecelakaan waktu mau pulang dari pameran lukisan. Sekarang dia di rumah sakit ‘Harapan Bunda’, kamu harus segera kesana, keadaannya sangat keritis.
Tut tut tut… Ben memutuskan sambungan telponnya tanpa memberikan kesempatan kepada Raya untuk sekedar bertanya.
Huh, siapa dia, hingga Raya harus menuruti kata-kata Ben.
Namun hati Raya tak bisa berdusta, setelah mendengar Riko kecelakaan, pikirannya benar-benar kalut. Dan untuk mengetahui keadaan Riko sekaligus mencari jawaban atas rasa penasarannya kepada pelukis misterius itu, Raya pun segera pergi menuju rumah sakit.
Masih dengan bunga dan lukisan di tangannya, ketika Raya masuk ke dalam kamar tempat Riko dirawat.
Raya begitu tak tega ketika dilihatnya Riko terbaring tak berdaya dengan darah yang melumuri sebagian tubuh dan kepalanya, juga infuse yang terpasang sebagai alat bantu pernapasannya.
Teman-teman panitia telah berkumpul di sana, di mana Riko tengah terkulai tak berdaya.
Tiba-tiba airmata raya menetes mencipta buliran-buliran hangat di pipinya, hingga pernapasannya terasa begitu sesak.
“Riko… terimakasih untuk bunga dan lukisannya, juga untuk puisinya… Aku terima dengan sepenuh hatiku. Meski sebelumnya aku tak pernah mengerti bahwa kamulah pelukis itu, aku terima ketulusan cintamu, Riko…” Tanpa sadar, Raya bergumam dalam gugu yang membiru…
Namun Riko hanya diam, hingga detik terakhir ketika ia mendengar kata-kata Raya. Bibirnya sempat mengukir senyum bahagia karena ia telah memberikan separuh hatinya untuk gadis yang dicintainya, meski hanya sebatas pengagum rahasia dalam lukisan cinta…
***

PPAI, 2013*

*Cerita ini telah terangkum dalam Buku Antologi Cerpen "Kata Kita #3" - Penerbit Harfeey 2013

By. Muhrodin “AM”*
***
            Aku memulai menulis kenangan, dengan Bismillah…
Di sini, di Persinggahan suci, kucurahkan segala hal dan ihwal yang terkait dengan hidupku. Aku memilih melanjutkan ke sebuah Pesantren bukan tanpa alasan, Kakakku adalah alumnus Pesantren ini, dan sejak kecil, aku memang begitu ingin menikmati hidup dalam sebuah tempat yang penuh hikmah dengan aliran samudera barokah.
Inilah pertama kalinya aku merantau dan memulai kehidupan yang baru.

Aku bahagia, karena di sini aku begitu dekat dengan para Ustadz, yang tak lain dan tak bukan, beliau-beliau adalah sahabat kakakku. Yah, mungkin jika dibandingkan dengan teman-temanku yang lain, aku sedikit lebih beruntung; lebih dalam mendapatkan kasih sayang dan perhatian. Ah, rasanya itu tak begitu penting untuk kuceritakan, sedang aku adanya kini sudah menginjak dewasa. Meski terkadang tingkah dan pikirku masih seperti anak belia.
Itu manusiawi, kawan. Kita hidup di Dunia memang saling membutuhkan. Semua mengerti kalau kita memang mahluk sosial, yang tak akan pernah bisa hidup tanpa orang lain. Bukan aku terlalu menafikan, akan tetapi inilah realita kehidupan. Dan untuk satu kekuranganku, aku memang terlalu kekanak-kanakan untuk menyikapi semua itu.
***
Baru beberapa bulan di sini, aku sakit. Sungguh rasanya begitu sedih, jauh dari orang tua dan sanak saudara. Ingin rasanya cepat pulang ke Kampung halaman, tapi terlanjur aku sudah mengatakan kepada kedua orang tua, bahwa ramadhan pertama ini, aku ingin tetap di Pesantren.
“Kamu sakit apa?” Tanya Ustadzku. Itu kali pertama salah seorang ustadz menjengukku dalam pembaringan. Waktu itu aku memang tak berdaya, untuk sekedar ke kamar mandi saja,  aku begitu kesulitan. Mungkin Tuhan begitu sayang kepadaku, hingga waktu yang begitu indah, dengan nuansa ramadhan-Nya, Ia hendak mengurai segala dosa yang pernah terlukis dalam kanvas hatiku secara perlahan-lahan.
“Sabar, ya? Sebentar lagi juga sembuh kok.” Kata-kata Ustadzku yang coba menghiburku, agar aku mampu tersenyum dalam seduku. Kala itu mungkin aku telah lupa, bagaimana caranya untuk tersenyum, karena aku terlalu lelah memikirkan segala pedih yang kurasakan.
Kala itu, aku hanya bisa merepotkan teman-temanku saja, kawan. Jika memang tak sedang dalam keadaan sakit, mungkin aku akan mampu melawan segala hawa nafsu yang katanya harus terus kujaga sepanjang kita sedang melaksanakan ibadah yang bernama puasa. Namun aku telah kalah sebelum berperang. Satu minggu aku tak bisa berpuasa, karena butiran-butiran kapsul yang harus kutelan setiap fajar, siang dan malam. Keadaan telah menjadikanku seperti budak syetan. Di mana teman-temanku sedang berpuasa, menahan lapar dan dahaga, tapi aku bisa memakan apa saja yang aku suka. Dan ketika mereka sedang melaksanakan ibadah sholat tarawih di Masjid, aku terkulai tak berdaya, terkadang hanya untaian airmata yang menemaniku dalam menghabiskan sisa malam yang tak lagi indah untuk dikenang.
Tapi semua itu, sekali lagi bukan tanpa alasan, kawan. Aku tak pernah meminta sakit, apalagi hingga ‘ku tak bisa untuk melaksanakan ibadah sholat tarawih dan berpuasa, apalah daya, takdir Tuhan tiada yang menyangka. Dan itu, adalah cobaan pertamaku sebagai anak yang jauh dari kasih sayang orang tua.
Aku percaya, itu semua hanyalah untuk pelebur dosa-dosa, seperti halnya kata beliau ketika sedang menemaniku dalam suatu senja. “Bersabarlah, karena Tuhan tengah melebur segala dosa-dosamu, Kita diingatkan kembali lewat rasa sakit ini, itu tandanya Tuhan sayang sama kita.” Tiap kali ada Ustadz atau teman yang coba menguatkanku, tapi disaat itu pula, buliran air mataku tak dapat dibendungnya. Semua kata-kata itu, hanya menjadikan hatiku semakin rindu…
***
Tepat satu minggu, aku dapat beraktifitas seperti sedia kala. Dan senyum itu, kembali hadir menemani tiap episode dalam ramadhanku di Pesantren.
Ternyata lewat sakit itu, Tuhan tengah menegurku. Aku memang insan dhoif yang penuh dosa, hingga saat yang mempertemukanku dengan bulan bermata embun, bulan penuh ampunan, semoga Tuhan melebur semua dosa-dosaku.
Malam itu, kembali kuteringat saat di mana aku terkulai dalam pembaringan. Aku yang tak berdaya, sekedar ingin melafadzkan kalam-kalam-Nya, aku tak mampu. Rasanya miris sekali, dan syukur, malam ini, kembali kubaca lembar demi lembar ayat-ayat suci Al-qur’an. Aku hendak mengkhatamkan sepuluh kali khataman dalam satu ramadhan. Mungkin itu adalah hal paling mustahil dalam sejarah hidupku, karena ramadhan sebelumnya, aku hanya mampu mengkhatamkan dua atau tiga kali khataman saja. Tapi tidak untuk saat ini. Ya, masih sangat jelas kuingat kata-kata beliau, yang katanya dulu ketika ramadhan selalu mengkhataman Al-qur’an sepuluh kali khataman dalam satu ramadhan.
“Kamu boleh minta apa saja sama Kakak, kalau ramadhan tahun ini, kamu bisa mengkhatamkan sepuluh kali khataman.” Dan lagi, itu adalah kata-kata beliau yang terlalu indah jika untuk dikenang. Tapi, dengan aku bisa melakukan seperti apa yang telah beliau lakukan, sepertinya bahagia ini tak akan pernah bisa tergantikan oleh apapun.
Hanya keridloan Tuhan yang aku dambakan. Selebihnya, kasih sayang yang tak akan pernah lekang dari ‘kalian’ yang ‘kusayang’…
***

PPAI, 22 Juni 2013*

*Cerita ini telah terangkum dalam Buku Antologi FTS "Ramadhan di Rantau #1" - Penerbit Harfeey 2013