Penyihir Aksara (Malaikat Salju)

Do'a Kalimat Pena By. Muhrodin "AM"

By. Muhrodin “AM”

Temaram rembulan berkelindan menghiasi pucuk malam. Cahayanya yang samar-samar melesat jauh menembus celah-celah dedaunan. Malam ini, di batas langit yang tampak menghitam, aura kerinduan itu menyulur dingin di antara bilik hati seorang pemuda yang tengah duduk di beranda rumahnya. Sesekali mata elangnya menyalak memandangi rembulan temaram yang binarnya mampu menghunjam kerinduan yang mendalam.
O, malang nian nasibnya, setelah dua belas purnama ia dalam penantian, ternyata kekasih yang dinantinya tak kunjung datang. Adalah Rama bersama luka dan rindu yang mendera. Malam ini kembali kenangan itu merajai segenap hati dan pikirannya.
“Adakah yang lebih indah dari kekata cinta, Dinda? Selayak rasaku yang berbilur rindu hanya berlabuh padamu. Sungguh aku merindukanmu.” Kata-kata rama kembali tereja, setelah beberapa waktu mereka tak bersua.
Rama paham betul, Ayah Kiara tak merestui hubungan mereka, hingga ketika mereka hendak merajut kasih dalam untaian cinta yang bertahta bahagia, ia harus mencuri waktu atau Rama harus diusir dan dicaci-maki hingga airmata Kiara lah yang menjadi muara dari akhir pertemuan mereka.
“Aku bahagia bisa bersamamu, Rama. Sungguh rasa ini tak dapat dipungkiri. Terimaksih untuk rasa yang kau suguhkan, ‘kan kusambut dengan dayung kebahagiaan.” Kiara mengurai senyum, sesekali mata indahnya menyelami kedalaman kuasa Tuhan akan keindahan purnama yang berpendar menjadi saksi cinta mereka berdua.
“Tapi bagaimana dengan Ayahmu? Beliau sepertinya tak pernah bisa untuk menerima kehadiranku. Apakah beliau terlalu benci dengan segala kekuranganku?” kekhawatiran itu tampak jelas menghiasi raut wajah Rama.
“Bukan begitu Rama, Ayah hanya tak kuasa untuk menolak perjodohan itu. Ayahnya adalah sahabat dekat Ayah sedari beliau masih sama-sama di tanah toraja.” Kiara mencoba menghapus kekhawatiran kekasihnya.
“Biarlah aku akan meyakinkan Ayah, kalau kita benar-benar saling menyinta dan akan merajut jalinan tali kasih dalam ikatan mahligai rumah tangga. Aku percaya, pasti Ayah akan memahaminya.” Sekali lagi, Kiara tersenyum dalam binar bahagia.
“Oh, baiklah Kiara, aku akan sangat bahagia jika akhirnya Ayahmu berkenan untuk  menerimaku menjadi bagian dari keluarganya.” Rama mencium kening Kiara dengan penuh rasa cinta.
Namun waktu yang dinanti-nantinya tak kunjung tiba, Rama masih setia menunggu Kiara akan keputusan Ayahnya. Tapi apalah daya, sepertinya Kiara telah menghilang ditelan titian masa.
Hingga ketika malam kembali menawarkan bias purnama, Rama masih tetap setia dengan kidung cintanya yang berbuah simalakama
Ini adalah purnamanya yang ke dua belas, jika memang Kiara bukanlah sosok bidadari yang akan menemaninya dalam meretas ridho-Nya, maka, segalanya kini telah dipasrahkan. Rama hanya berdo’a dalam diamnya, berharap Tuhan mengirimkan sesosok bidadari surga seperti yang telah Rama impikan.


PPAI, 31122013

*Cerita ini telah terangkum dalam Buku Antologi Cerpen "Romantika Cinta Remaja #2" - Panji Publisher 2014

By. Muhrodin “AM”
***
            Tak seharusnya cinta itu kulabuhkan dalam dermaga hatimu, hingga luka yang kurasakan kini sempurna menyayat qalbu.
Andai saja waktu itu aku tak pernah bertemu denganmu, dan andai kata rasa itu tak pernah ada direlung hatiku. Mungkin, rasa sakit ini tak akan selayak sayatan sembilu.
Masih sangat jelas kuingat saat-saat terakhir kita bersama,  disebuah telaga warna yang penuh cinta dan keindahan kita bernostalgia. Itu memang tempat favorite kita untuk menghabiskan sisa senja sebelum temaram datang menjemputnya.
“Aku sayang sama kamu, Rani… Apakah kamu mau menjadi bidadariku?” Itu adalah ungkapan rasa cintaku padamu untuk yang kesekian kalinya. Aku memang tak pernah lelah dalam menguntai cinta, memberikan segala sayang yang ku punya, namun tiap kali kuutarakan kata-kata itu, hanya senyum-mu yang tercipta, dan sepatah jawaban yang kuharapkan, kaupun hanya berkata, “Belum saatnya aku memberikan jawaban, sayang...” Hingga waktu yang terus merajai kegalauan hati ini, kau masih tetap lugu dengan senyum-mu  --yang kuanggap manis pada waktu itu--.
***
Seperti baru disadarkan dari mimpi buruk-ku, aku kehilanganmu, Raniku…
Kau memang wanita yang nyaris sempurna, nyaris tanpa cela… dan semua lelakipun mengakui akan hal itu. Tapi apakah itu yang kau harapkan dari setiap lelaki yang kau cintai? Akhir dari setiap episode perjalanan cintamu adalah ‘Kau telah melukai hati para lelaki: lagi dan lagi.’
Ah, bodoh sekali aku yang terperangkap dalam jerat cintamu.
Kau memang tak pernah berkisah tentang lelaki-mu padaku, Rani… dan akupun tak pernah menyangka sebelumnya kalau hatimu ternyata setega itu. Jutaan kata telah kurangkai dan ribuan cinta telah kuuntai hanya untukmu. Tapi, Tuhan memang tak pernah berkehendak kau menjadi milikku, atau entahlah, akupun terlalu lelah untuk memikirkan akan hal itu…
Kau bersama lelakimu memadu cinta ditepian senja yang kian membiru, tepat didepan mataku. Diujung pantai yang menghubungkan muara sungai kecil itu pada lautmu.
Aku limbung, hatiku serasa tertusuk ribaun duri. Hingga perlahan, titik air mata ini mampu mencipta buliran yang teramat menyakiti…
Sekali lagi, aku tak akan pernah berandai kata dalam menjalani realita hidup ini. seperti kata sebagian para penyair, hidup memang kejam, sayang... selayak deburan ombak yang menghantam karang, dan tak akan segan arusnya membawa sesiapa yang berada dalam titik rawan pantai angin gelombang.

Sedalam mata hati ini terlukai, aku percaya, Tuhan tak pernah alpa, apalagi hanya sekedar urusan cinta dan rasa, dalam waktu sekejap saja, Ia bisa merubah luka menjadi tawa, dan air mata menjadi untaian bahagia. Seperti goresan luka yang tercipta, aku mengerti dimana kini cintaku akan bermuara.

By. Muhrodin “AM”*            

Sebatas anganku, menjadi penulis muda yang diperhitungkan negeriku tercinta. Karena latar belakang keluargaku yang jauh dari kaya, namun melihat realita kehidupanku yang penuh gemerlap dunia.
Terkadang aku mengumpat, “kenapa aku harus dilahirkan dari keluarga miskin yang tak punya? Kenapa tidak dari kalangan keluarga elit saja? Kenapa?”
Aku tersadar dari pikiran yang tak seharusnya melintas dalam benakku… kufur nikmat!
Bukan, aku tak mau menjadi orang yang dikatakan seperti itu, namun terkadang realita ini benar-benar telah menghimpit duniaku dan melucuti kesabaranku.
“Ayah, Ibu… maafkan anakmu, bukan maksudku untuk selalu berbohong demi untuk mendapatkan uang saku setiap ke sekolah, namun kesabaran yang belum terpatri  untuk menjalani realita hidup ini. Aku berjanji, suatu saat nanti aku akan membuktikan kepada Ayah dan Ibu, bahwa aku adalah anak yang berbakti dan bertanggung jawab. Aku akan menjadi anak yang berguna bagi nusa, bangsa dan agama, agar Ayah dan Ibu bangga juga tidak merasa sia-sia telah mendidikku hingga akhir batas usia.”
Sungguh hatiku sangat tertekan, ketika kepala sekolah mengirimkan surat pemberitahuan itu. Ayah dan Ibu sangat marah setelah mengetahuinya, kalau aku ternyata memiliki tunggakan SPP selama enam bulan.
Mereka shock.
“Dari mana Ayah bisa mendapatkan uang sebanyak itu untuk melunasi SPP mu Adil,? Setiap bulan Ayah sudah memberikan uang untuk membayar SPP, tapi kau kemanakan uang itu?”
Ayah sangat marah kepadaku. Aku tahu Ayah dan Ibu sangat sedih dengan semua itu, dan sebenarnya Akupun tak tega melihat mereka yang semakin terpuruk dalam kemiskinannya karena ulahku. Namun semuanya sudah terlanjur, nasi sudah menjadi bubur.
Uang SPP selama enam bulan aku gunakan untuk menyalurkan hobby-ku. membeli buku tentang sastra, dan sebagian lagi untuk jajan dan jalan-jalan bersama teman-teman sewaktu liburan.
Namun dalam hatiku, Aku telah berjanji bahwa Aku akan mengganti uang SPP itu dengan caraku.
Mungkin terasa sulit untuk mendapatkan uang yang jumlahnya tidak sedikit, namun Aku akan terus berusaha dan berusaha demi untuk sebuah janji dan bukti yang tak boleh kuingkari dan harus kupenuhi.
***
           Setelah liburan kenaikan kelas, sekarang Aku kelas IX, Aku harus mulai berpikir dewasa, bertindak dan bertanggungjawab dengan semua yang menjadi pilihan terbaik untuk diriku. Berawal dari hobby menulisku, Aku sering mengikuti berbagai perlombaan karya tulis, semacam cerpen atau puisi. Meski sejauh ini aku selalu gagal, namun bukan berarti semua itu membuatku merasa putus asa, malah menjadikan Aku semakin ingin mendalami dunia sastra.
Suatu waktu, Rizky, temanku. Memberitahukan bahwa disekolah akan ada lomba karya tulis cerpen dalam memperingati hari anak nasional. Akupun langsung meminta info selengkapnya dan setelah itu berusaha semaksimal mungkin untuk menciptakan sebuah karya yang akan aku ikutsertakan dalam perlombaan itu.
Meski aku tahu, banyak teman-teman yang juga ikut perlombaannya, namun aku yakin, disinilah waktunya Aku akan menepati janjiku, menebus kesalahanku kepada kedua orang tua, kepada diriku sendiri, dan kepada semuanya.
Tepat dua minggu setelah deadline. Pengumuman lomba cerpen yang dinilai oleh Bapak kepala sekolah dan Bapak guru mapel bahasa Indonesia pun dipajang di mading sekolah.
Semua siswa-siswi berebut untuk melihat deretan nama-nama yang terpampang menjadi jawara dan nominator, ada lima belas nama nominator terbaik dan tiga jawara yang terpampang di sana, yang nantinya cerpen-cerpen mereka akan dibukukan dalam antologi cerpen anak Indonesia.
Kutelusuri dari deretan nama paling bawah, ternyata tidak ada namaku di sana. Hingga hatiku semakin gelisah dan jantungku berdetak semakin kencang.
Namun, saat membaca deretan nama nomor satu, mataku terbelalak lebar. Aku masih tak percaya, ada namaku tertera di sana ‘Adilla Saputra’. ada rasa haru dan bahagia menyeruak dalam istana jiwa. Seketika aku bersujud, melafalkan tahmid sebagai rasa syukurku kepada Allah SWT yang telah menjadikan Aku sebagai sang juara dan telah membuktikan janjiku kepada kedua orang tua.
Rizky menghampiriku dan memberikan ucapan selamat untukku.
“Selamat ya Dil, semoga bermanfaat dan terus semangat dalam berkarya”…
Aku begitu terharu mendengarnya, dan sungguh, rasanya aku sangat bahagia.

------00—00-----

By. Muhrodin “AM”*

***
               Usai begitu cepat berlalu, tak terasa sudah hampir enam tahun Khidir berada di bumi pesantren Al-ihya ‘ulumaddin.
Teringat dulu saat ia masih duduk di bangku kelas VI SD, ia bercita-cita ingin menjadi Al-hafidz seperti Mas Faris, kakaknya, yang juga alumnus pondok pesantren Al-ihya ‘ulumaddin Kesugihan Cilacap.
Ia kagum sekaligus bangga kepada Mas Faris yang sekarang telah menjadi Ustadz juga kepala sekolah di rumahnya.
 “Aku harus bisa menjadi yang lebih dari Mas Faris,” tekadnya dalam hati...
Khidir memang mengakui kecerdasan dan kedisiplinan kakaknya, hingga beliau bisa sukses seperti saat ini, untuk itu Khidir ingin menapaki jejak langkah kakaknya agar ia dapat mewujudkan mimpi dan cita-citanya
.                                                                    ***
Malam masih seperti yang dulu... saat pertama kalinya Khidir menginjakan kaki di bumi pesantren di tanah jawa ini. Bintang-gemintang bersinar begitu indah menghiasi cakrawala malam. Dengan ditemani sang dewi malam yang tersenyum mesra, Khidir melaksanakan sahirul lail bersama teman-temanya.
Di serambi masjid, ia sibuk dengan hafalan bait-bait jawahirul maknun, dan sesekali iapun muthola’ah kitab mantiq dan balaghoh karena satu minggu lagi ujian akhir akan segera tiba.
Khidir, Reza dan Nabil, tiga sahabat yang sejak pertama kalinya selalu bersaing dalam mendapatkan ranking di kelas madrasah diniyahnya.
Khidir  kagum dengan kecerdasan dan kelihaian Nabil dalam menghafal dan berbahasa, begitu pula dengan Reza, yang selalu aktif dalam bertanya dengan gaya bahasa ilmiahnya. Terhitung hanya dua semester di kelas dua, Khidir dapat mengungguli Nabil sebagai juara pertama, selebihnya ia selalu kalah satu langkah di belakang Nabil, malah terkadang juga hanya mendapatkan ranking di belakang Reza. Tapi itu semua tidak pernah mengurangi rasa semangatnya untuk terus belajar dan berdo’a.
Mereka mencoba sahirul lail bersama-sama sejak dua minggu sebelum pelaksanaan ujian akhir, mengulang kembali pelajaran kelas satu sampai kelas enam, semangat mereka bagaikan kobaran bara api yang menyala-nyala.                                          

***
Hari ini ujian akhir semester telah tiba, Khidir dan teman-temanya sudah berusaha belajar semaksimal mungkin untuk menghadapinya. Semuanya tak mau membuang-buang waktu hanya untuk bermain-main, karena bagi mereka Waktu adalah ilmu. Robbi zidni ‘ilma warzuqni fahma, amin...
Satu minggu telah berlalu, ujian lisan dan tulisan yang dihadapi Khidir dan teman-temanya berjalan dengan lancar, hanya saja malang bagi Reza, karena dua hari pelaksanaan ujian dia tidak dapat mengikutinya, sakit asma dan paru-paru yang dideritanya kambuh, hingga ia harus dibawa kerumah sakit, Semoga alloh SWT selalu melindunginya, amin.
Khidir hendak bertanya kepada pengurus MADDIN -nya ( Madrasah Diniyah ) perihal tentang beasiswa bagi santri berprestasi di kantor sekretariat. Alangkah bahagianya saat ia mendapati nama: Muhammad Nabil dan Muhammad Khidir tertulis sebagai santri berprestasi dari PPAI ( Pondok pesantren Al-ihya ‘ulumaddin ) yang mendapatkan beasiswa di Universitas Al-azhar Cairo Mesir. Seketika  ia bersujud melafadzkan tahmid sebagai ucapan rasa syukurnya kepada Allah SWT.
Khidir segera menghubungi kedua orang tuanya untuk menyampaikan kabar bahagia yang baru dilihatnya.
Meskipun Khidir tak mendapatkan ranking pertama, tapi ia bangga bisa mendapatkan beasiswa ke Al-azhar, seperti mimpinya ia ingin menjadi yang lebih dari kakaknya dan ingin menjadi orang yang berguna bagi nusa, bangsa dan agamanya. Terlebih Nabil, ia tampak sangat bahagia, karena memang sejak pertama kalinya ia sudah berencana akan melanjutkan ke Al-azhar, dan atas pertolongan Allah SWT semua itu dapat terlaksana.
Setelah acara imtikhan akhirussanah atau perpisahan telah usai Khidir,Nabil, dan teman-teman khotimin lainnya berencana untuk sowan kendalemnya romo kiyai guna meminta do’a dan restunya agar ilmu yang diperoleh selama dipondok pesantren ini  dapat berguna dan bermanfaat bagi masyarakat nantinya.
Malam kian sepi, kebanyakan santri sudah pulang untuk merayakan liburan dirumah. Begitupula dengan Reza dan Nabil, mereka sudah pulang siang tadi, mungkin sekarang mereka sedang bercengkerama melepas rindu bersama keluarganya di rumah. Tapi Khidir? Ia hanya berteman sepi, hanya bintang-gemintang dan cahaya rembulan yang masih setia menemaninya menghabiskan sisa malam dibumi pesantren Al-ihya ‘ulumaddin tercinta.
Seperti pinta orang tuanya , Khidir pun  harus pulang ke Sumatra sebelum berangkat ke Cairo, karena banyak hal yang harus dipersiapkan sebelum ia berangkat ke sana.

***
Dengan berpakaian serba putih, Khidir melangkahkan kaki dihamparan gurun pasir yang sangat luas, tanpa ada satu orangpun di sekelilingnya. Ia merasa telah tersesat, berjalan tanpa arah tujuan, hingga akhirnya ia melihat kedua orang tuanya melambai-lambaikan tangan di seberang istana, tapi Khidir hanya bisa diam membisu, ia begitu terkejut saat melihat di depannya terbentang jurang yang sangat curam. Ia terhenyak saat perlahan-lahan gurun pasir itu mulai longsor dan membawanya ikut terjatuh bersama butiran-butiran pasir yang semakin tak terlihat, dan selebihnya yang ada hanyalah gelap.
“Khidir”... teriakan kedua orang tuanya masih sangat jelas terdengar di telinganya.
“Astaghfirullohal’adzim”... Khidir baru saja mimpi buruk, ia segera mengambil air wudlu dan melaksanakan sholat tahajjud.
Semuanya telah dipersiapkan, Khidir segera menemui pengurus pondok untuk meminta izin pulang ke Sumatra.
“Hati-hatilah di perjalanan Khidir, perbanyaklah membaca sholawat munjiyat agar keselamatan selalu menyertaimu, salam buat kedua orang tua kamu di rumah. Begitulah pesan terakhir dari Ustadz Nur Cholis selaku guru juga lurah dipondok pesantren ini. Khidir mencium telapak tangan beliau dengan rasa takdzim untuk kemudian salam dan beranjak pergi.
Sesekali Khidir masih memikirkan arti mimpinya malam tadi, ia khawatir sesuatu akan terjadi. Dan  tepat! Saat mobil yang dinaikinya melaju dengan kecepatan tinggi, kecelakaan tak bisa untuk dihindari. Khidir terkulai tak sadarkan diri dengan bersimbah darah disekujur tubuhnya, ia sudah tak ingat apa-apa lagi, di rumah sakit Serang Banten Khidir menghembuskan nafasnya yang terakhir. Innalillahi Wainnailaih iroji’un… 
***
Al-ihya ‘ulumaddin,
23 rajab 1433 H.


            By. Muhrodin “AM”*

“Cerpen Kalimantan selatan”
Menunggu asa dalam sebuah luka yang semakin menyiksa jiwa, menanti seorang gadis yang menjadi sandaran jiwa tiap desah nafas yang menyeruak dalam untaian do’a….
Banjarmasin, 26 November 2003
Berteman sepi, di tepi Sungai Barito, hanya semilir angin dan kecipak air yang sesekali menyapanya, menyadarkan akan lamunan masa lalunya.
Sesekali Rama melempar apa saja yang berada didekatnya kedalam sungai, hingga permukaannya mencipta gelombang indah yang sedikit mampu mengusir rasa kegalauannya. Namun, detik-detik terakhir yang dilaluinya terasa begitu sangat membosankan, hingga ia memutuskan untuk kembali ke persinggahannya, meninggalkan sejenak kenangan masa lalunya bersama Sinta, gadis cantik yang setiap malam menghiasi mimpi-mimpi indahnya.
26 November 2004
Ditepi Sungai Barito
Menghabiskan senja, berbagi cerita, bertabur tawa, berselimut bahagia.
Rama dan Sinta selalu menghabiskan sisa waktu senjanya di tepi Sungai Barito. Entah apa saja yang mereka lakukan, namun selalu mampu mengukir kenangan indah yang takkan pernah terlupakan.
“Rama… mungkin ini yang dikatakan cinta memang tak harus memiliki, namun cinta harus dimengerti. Aku tak pernah memaksa tentang cinta kita, namun aku percaya, cintamu begitu tulus untukku. Dan tahukah kamu Rama...? Cintaku padamu selaksa air yang mengalir di sungai ini, selamanya tak akan pernah sirna, meski kemarau datang mencoba merontangkannya.
Rama sedikit tertegun demi mendengar perkataan Sinta, senja ini memang senja terakhir mereka berada di tepi Sungai Barito, karena senja esok Rama sudah tak bisa bersama Sinta lagi, bahkan mungkin untuk selamanya.
Bukan, bukan tak bisa… Namun ia tak pernah mengerti akan slide kehidupan selanjutnya, dan sang waktulah yang akan menjawabnya.
Rama melanglangbuana, menyusuri tiap panjang sungainya, ia ingin berguru kepada kakek tua yang konon kesaktiannya sangat luar biasa.
Mbah Abu, seorang kakek yang memiliki ilmu kanuragan tingkat tinggi dan cukup disegani oleh masyarakat di sekitarnya. Namun malang, Mbah Abu hanya hidup sebatang kara, karena cucu satu-satunya telah lebih dulu dipanggil sama yang Maha.
Berhari-hari Rama berjalan menyusuri tepi Sungai Barito, hingga ia menemukan sebuah gubuk sederhana yang konon adalah persinggahan Mbah Abu.
Rama berguru kepada beliau demi untuk mewarisi ilmu-ilmunya, yang nantinya akan disebar luaskan kepada masyarakat setempat, sebelum Rama akan meminang Sinta.
Berbulan-bulan Rama belajar ilmu kanuragan bersama Mbah Abu, hingga pada suatu malam, Mbah Abu memberikan sebilah keris pusaka dan untaian kalimat nasihat sebelum Rama kembali ke persinggahannya.
Seperti harapan Rama, ia ingin mendirikan sebuah perguruan silat untuk menularkan ilmu-ilmu yang dimilikinya kepada masyarakat setempat, dan selanjutnya akan meminang Sinta.
Namun celaka. Rama berhati luka… setelah ia menemui Sinta, semuanya telah sia-sia.
Bukan sinta hendak meragukan ketulusan cinta Rama, atau pula ia menghianati perasaannya. Namun, orangtua yang memintanya untuk Sinta segera menikah dengan lelaki pilihan orang tuanya, bukan atas nama rasa, apalagi cinta, namun hanya berlandaskan teman seperjuangannya ketika dulu orang tuanya sama-sama membasmi para pemberontak di Banjarmasin.
Dan Sinta tak kuasa menolaknya, hingga ia pasrah dengan semua keputusan orangtuanya dan disunting oleh seorang laki-laki yang tak pernah dicintainya.
Rama mencoba mencari celah titik terang permasalahan tentang perasaannya, namun semuanya sudah terlambat.
Telak!. Rama hampir putus asa menjalani hidup yang penuh luka dengan kenangan masa lalunya. Dia tahu, sedikitpun Sinta tak pernah mencintai Dira, laki-laki yang sekarang telah menjadi pendamping hidup Sinta, namun Rama juga tak bisa berbuat apa-apa. Hanya penyesalan dan luka yang kini telah bertahta di lubuk jiwa.
Airmata sudah tak ada lagi, bulir-bulirnya telah habis, mengalir bersama air Sungai Barito yang kini menjadi saksi bisu atas luka di hati Rama.
Ia pasrah… Diam menopang tubuhnya yang semakin terasa tak lagi bernyawa.
Di ujung penantian senja, Rama merutuki kesedihannya yang semakin meluluhlantakkan persada jiwanya, ia terduduk lesu, kelopak matanya terlihat sayup, sudah tak ada lagi airmata di sana, yang ada hanyalah luka yang semakin meracuni hidupnya.
Di saat hati sedang resah, dan gundah gulana, Rama melihat sebongkah cahaya keemasan keluar dari dalam sungai itu.
Dan, Pyarrr!
Cahaya itu pecah, sinar merah menyilaukan pandangan mata Rama.
Perlahan namun pasti, seorang wanita cantik, -lebih miripnya seorang putri- muncul dan terbang kepermukaan sungai lalu mendekati Rama. Rama terkesiap melihat pemandangan yang menurutnya aneh itu.
“Sedang mimpikah aku? Oh tidak! Ini benar adanya. Tapi siapa dia?”
“Rama anakku,” perlahan suara wanita itu menembus gendang telinga Rama, dan langsung menelusup ke dalam sukmanya, “Bunda mengerti akan kegundahanmu, namun tak alang seorang Rama bersedih hati sedemikian dalam. Ada seorang putri di sana.” sambil menunjuk ke arah sungai, wanita itu melempar senyum kepada Rama.
“Kamu siapa?”
Rama gusar, ia terkejut. Bahkan ia belum mampu untuk menguasai dirinya.
“Aku adalah penguasa sungai ini, beratus-ratus tahun aku di sini, dan sekarang kau telah mengusik ketenanganku dan juga putriku dengan kesedihanmu. Kau tahu Rama...? Putriku, Rivana Raya telah jatuh hati kepadamu. Dia tak rela melihatmu berduka, dan dia meminta agar kamu mau memenuhi undangannya.
Sekali lagi Rama mengerjap-ngerjapkan matanya untuk meyakinkan bahwa yang sedang dilihatnya bukanlah hayalah belaka.
Disaat Rama sedang kehilangan arah, antara sadar dan tidak.
“Rama….”
Sinta menjerit histeris melihat semua itu, ketika ia hendak menemui Rama di tepi Sungai Barito bersama Dira, untuk minta maaf dan berucap kata perpisahan.

Namun alang, belum sempat Rama berucap kata, wanita itu telah membawanya ke dasar sungai air pusara… 


X-Steel - Link Select

About this blog

Diberdayakan oleh Blogger.

Arsip Blog

salju

Blog Archive