Penyihir Aksara (Malaikat Salju)

Do'a Kalimat Pena By. Muhrodin "AM"



Aku awali surat ini dengan nama sang Raja
yang memberikan kehidupan kepada jiwa dan
pertolongan kepada hati. Ilmu-Nya meliputi
segala sesuatu dan kebijaksanaan-Nya adalah
mutlak: Dia melihat dan mendengar segala
sesuatu - bahkan do'a makhluk-makhluk yang
tak dapat berbicara sekalipun. Dialah yang
membagi dunia ini terang dan gelap: Dialah
yang memberikan kepada seluruh makhluk
sebuah waktu yang telah ditentukan diatas
bumi, dari burung di udara sampai kepada
ikan di kedalaman samudera. Dia telah
menghiasi langit dengan bintang-bintang dan
mengisi bumi dengan umat manusia dari
beragam suku dan warna. Dia telah


memberikan tiap laki-laki dan perempuan
sebuah jiwa, dan Dia telah menyinari setiap
jiwa dengan obor akal pikiran, sehingga
seluruh hamba-Nya dapat meraih keselamatan.
Ini adalah sehelai kertas kesedihan, yang
dikirim oleh sebuah jiwa yang dipenuhi oleh
duka cita kepada jiwa yang lainnya. Ia datang
dariku, seorang tawanan, dan ditujukan
kepadamu, kau yang telah berhasil
menghancurkan belenggumu dan meraih
kemerdekaan. Sudah berapa lamakah, kasihku,
aku mengikatkan tali cintaku padamu? Berapa
banyak hari-hari tanpa makna, berapa banyak
malam yang dipenuhi oleh air mata telah
berlalu sejak saat itu?
"Apa kabarmu, duhai belahan jiwa, dan
bagaimana kau melewati hari-harimu?
Kemanakah ketujuh buah planet, penuntun di
langit, telah membawamu? Aku tahu bahwa
kau masih berdiri menjaga harta persahabatan
kita, dan aku rasakan di dalam hatiku bahwa
cinta memperoleh keagungannya semata-mata
darimu. Aku tahu bahwa darahmulah yang
memerahkan bumi saat matahari terbit dan
saat matahari terbenam, namun kau tinggal
jauh di dalam perut gunung bagaikan intan
yang terperangkap di dalam bebatuan. Dalam
kegelapan yang kelam kau adalah mata air
Khizr, sumber air kehidupan. Kau adalah
ngengat yang mengitari nyala api keabadian;
kau telah mengaduk-aduk samudera eksistensi
dunia, namun kau memunggungi badainya dan
bersembunyi di dalam pusara kesepianmu
sendiri, dengan beberapa hewan sebagai
kawan.. Semua lidah menggunjingkanmu,
melesatkan anak panah celaan ke arah hatimu,
tapi apa artinya itu bagimu? Kau telah
memalingkan penglihatanmu kepada
keabadian; bahkan sekarang, kafilahmu sedang
dalam perjalanan menuju hari akhir.
Aku tahu berapa besar kau telah berkorban;
aku tahu bahwa kaulah yang telah membakar
habis ladang jagungmu sendiri, membakar
hasil panenmu sendiri. Kau persembahkan
hatimu padaku dan menempatkan jiwamu di
tanganku, dan karena itu menjadi sasaran
cercaan dan fitnah. Tapi itu hanyalah sebuah
akibat yang kecil; tidak ada seorang pun dari
kita yang peduli apa yang orang lain pikir atau
katakan. Apa pun yang mereka lemparkan
kepada kita, kita akan menghadapinya
bersama: setidaknya aku dapat bergantung
pada kesetiaanmu, dan kau pada kesetiaanku.
Tapi seandainya saja aku mengetahui apa yang
kau pikirkan, apa yang kau rasakan! Andai saja
aku dapat melihat dirimu dan apa yang sedang
kau kerjakan! Dengan seluruh cinta dan
seluruh hatiku aku bersamamu, tapi
bagaimana dengan engkau? Dengan siapa kau
menghabiskan waktumu? Memang, aku
terpisahkan darimu dalam tubuh, tapi dalam
ruh kita adalah satu.
Aku telah melakukan segalanya untuk ikut
memikul kesedihanmu, segalanya kecuali ini:
aku tidak datang sendiri padamu, karena itu
adalah mustahil. Tapi apa artinya itu? Seperti
kataku, kita terpisah dalam tubuh tapi ruh kita
satu: jiwaku selalu bersamamu sepanjang
waktu. Aku tahu seberapa besar kau menderita
dan betapa hatimu yang lembut tergerogoti
oleh duka, namun hanya ada satu jalan keluar
dari kesengsaraan ini untuk kita berdua:
kesabaran dan ketabahan.


Ya cintaku: kesabaran, ketabahan, dan
harapan. Apalah hidup itu? Ia tidak lain dari
sebuah hikayat dan sebuah tangisan, tempat
persinggahan yang singkat di perkemahan
sementara kehidupan yang berakhir sama
cepatnya dengan saat dimulainya: mereka yang
telah sampai, hampir tidak punya waktu untuk
membongkar kantungnya karena mereka harus
berangkat kembali! Mereka berkata bahwa
mata adalah jendela menuju jiwa, dan itu
benar. Tapi seorang yang bijak tidak akan
membiarkan orang lain melihat kedalam
jendela itu, cintaku! Apakah kau ingin sang
musuh tertawa melihat air mata kita,
mengejek kita dalam kesengsaraan kita? Tidak
akan pernah! Seorang yang bijak harus
menyembunyikan kesedihannya agar orang
lain tidak bergembira diatasnya, seperti ulat
yang bergembira di atas sehelai daun.
Jangan mengingat benih yang telah
ditaburkan: pikirkan hanya apa yang akan
tumbuh dari mereka. Hari ini jalanmu
mungkin terhalang oleh duri dan bebatuan,
tapi esok kau akan memanen buah ara dan
kurma yang melimpah! Dimana ada kuncup
yang tertutup hari ini, esok akan ada
sekuntum mawar. Jangan lupakan itu!
Dan jangan bersedih! Jangan biarkan hatimu
mencucurkan air mata darah, dan jangan
berpikir bahwa kau sendirian dan tidak
memiliki teman di dunia ini. Apakah aku
bukan temanmu? Apakah kenyataan bahwa aku
ada disini untukmu tidak meringankanmu?
Janganlah kau, duhai cintaku, mengeluh bahwa
kau sendirian. Ingatlah Dia yang
menciptakanmu; ingatlah bahwa Tuhan adalah
teman bagi mereka yang tidak memiliki
teman.

By. Muhrodin “AM”*
***

 “Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada-Mu dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri."[1]
Tak seharusnya aku mengecewakan mereka lagi, lagi dan lagi. Sudah cukuplah bagiku tak mengindahkan kata-kata beliau yang sedari satu tahun lalu menginginkanku untuk menjadi seorang sarjana! Juga waktu SMA, yang tanpa sepengetahuan mereka aku telah mendzalimi uang sekolahku untuk keperluan yang entah. Hingga surat pemberitahaun dari pihak sekolah telah membuat Bapak dan Ibu menelan ‘Pil pahit’ demi sakit yang diderita karena ulah anakmu ini. Oh, Ibu, Ibu, Ibu, Bapak, maafkan anakmu...
Sungguh  berdosa sekali bila aku tak lagi mampu membuktikan baktiku kepada mereka, kutahu sedari dulu Bapak dan Ibu tak pernah menuntutku untuk menjadi seperti ini, seperti itu. Kini, di usianya yang kian senja, mereka hanya menginginkan anaknya agar cepat wisuda, kembali bersama mereka menghirup udara dalam satu atap penuh kidung renjana.
Lihatlah, Ibu, kini anakmu tengah berusaha dan berdo’a untuk setangkup harap itu. Meski tak kupungkiri, ada sedikit rasa ragu karena melihat jadwal wisuda yang kian mencekik tekadku. Tanggal 04 Oktober nanti adalah terakhir jadwal munaqosah, dan tanggal 07 adalah terakhir pendaftaran wisuda. Tapi, untuk seminar proposalku pun aku belum tahu. Meski kini aku sudah selesai dalam penulisan skripsinya, tetapi rasa takut itu selalu menjadi hantu di setiap mimpi-mimpiku.
Sekiranya waktu itu Dosen Pembimbing tak sedikit berbaik hati memberikan acc-nya, mungkin saat ini aku lebih ‘galau’ lagi. Aku telah meyakinkan Bapak dan Ibu jauh-jauh hari dengan mengatakan bahwa aku telah menyelesaikan semuanya, tapi sungguh, itu hanya kata-kata untuk mengelabuhi agar mereka tak terus bertanya, ‘Sudah selesai belum skripsinya?’, dengan pertanyaan yang seperti itu-itu saja! Dan betapa durhakanya aku sebagai anak yang berani-beraninya membohongi orang tua.
 Kini, dengan sepenuh peluh, anakmu berusaha mengejar-ngejar mimpi yang sedikit lagi akan dipeluknya. Meski jadwal mengaji terkadang harus terabaikan, kegiatan-kegiatan lain harus ditangguhkan, dan bahkan untuk hampir tiga malam terakhir selalu tidur empat atau bahkan hanya tiga jam saja, semua ini demi menebus dosa yang terlanjur kulakukan, juga demi 19 Oktober yang semoga akan menjadi saksi satu baktiku untuk merengkuh ridha Bapak dan Ibu.
Sabtu lalu karena kelalaianku, aku tak dapat menemui Dosen Pembimbing karena alasan yang klise; datang terlambat, aku bertingkah seolah semuanya akan baik-baik saja. Hingga mau tak mau waktu bimbingan harus diundur beberapa hari ke depan, harapanku sekali bimbingan langsung acc lagi, seperti kala bimbingan proposal skripsi, yang karena entah alasan apa? Beliau  langsung membubuhkan tanda tangannya di lembar pertama proposal skripsinya. Harapan yang ‘konyol’ memang, tetapi di dunia ini apa sih, yang nggak mungkin? Sekali saja Tuhan berkehendak, maka jadilah!
Aku lelah, ya kuakui aku amat lelah untuk hari-hari ini. Setelah bimbingan esok, jika pun sudah di acc, masih ada proses ‘review-seminar-perbaikan nilai-daftar munaqosah-melunasi semua administrasi plus semeter tunggu-yudisium, dll.’ Dan, apakah aku bisa melewati batu-batu terjal itu untuk menuju altar keagungan? Tuhan, aku tak pernah lupa akan kewajibanku sebagai seorang hamba; berusaha dan merapal sulur do’a. Selebihnya, aku pasrah. Aku berserah.
Kutahu Engkau tak akan menguji seseorang di luar batas sanggupnya, tapi sekiranya dalam sujudku Engkau tak menghendaki hamba untuk mengikuti wisuda tahun ini, kuyakin QudrahMu adalah yang terbaik untukku. Meski kuharus rela melepas statusku sebagai mahasiswa ‘gagal’, terlebih harus kembali ke kampung halaman dengan menanggalkan status santriku, juga pesantren yang darinya telah banyak kucecap pahit asin manisnya kehidupan, aku rela jika nantinya harus kembali tanpa gelar sarjana.
Jikalau nanti aku tak mampu memberikan yang ‘istimewa’ kepada Bapak dan Ibu, cukuplah perkenankan do’a tulus anakmu sebagai persembahan.
“Ya Allah, ampunilah dosaku dan dosa kedua Bapak Ibuku,[2] serta kasihilah mereka berdua, sebagaimana mereka mengasihiku di waktu kecil".[3]
Terkadang aku berpikir bahwa waktuku di sini tak akan lama lagi, entah aku pulang dengan membawa gelar sarjana, atau bahkan mungkin hanya sebagai pecundang. Diakui atau tidak, aku terlalu takut untuk berpisah dengan Al-ihya’[4]. Tak ada alasan yang paling rasional untuk ditafsirkan, karena memang terkadang rasa takut tidaklah membutuhkan sebuah alasan. Meski jua tak kudustakan, waktu dengan tangan-tangan takdirnya akan tetap memisahkan raga, membawaku ke pusara cinta di mana mimpiku harus bermuara.
Dan muaranya kini sudah jelas, hanya ridha dan untaian maaf dari Bapak Ibu tercinta, yang tiap katanya adalah do’a, dan ridhanya adalah jalan menuju surga-Nya.
***
PPAI, 22 September 2014*
Muhrodin “AM”
Santri di Pon-pes Al-ihya ‘Ulumaddin, Kesugihan 1, Cilacap, Jawa Tengah. J
Hp. 082322523513




[1] Q.S. Al-Ahqaaf: 15
[2] Q. S. Nuh: 28
[3] Q. S. Al-Israa’: 24
[4] Pon-pes Al-ihya ‘Ulumaddin, Kesugihan 1, Cilacap.

Oleh: Muhrodin “AM”*
~**~
Di hadapMu, Tuhan...
Jelaga ini menuntunku tuk merinduiMu
Jua nistaku yang tak terperi
Menawar duka yang akhirnya menyibak tirai antara cinta dan nestapa
"
Dalam rengkuhMu, Tuhan...
Relung sunyiku adalah saat bersamaMu
Menilam rindu paling ambigu, kausa nisbiku
Kutahu cintaMu tak  berbatas ruang dan waktu
"
Kepada Engkau sang pemberi cinta dan untaian air mata
Adakah rindu paling membiru hingga lukaku kini serupa sayatan sembilu?
Aku mengeja namaMu di setiap hembus napasku
Dalam seduku,
Aku (teramat) merinduMu...


PPAI, 02 Syawal 1435 H.

~**~
Judul             : Kupersembahkan Cintaku
“Meski aku tak sesempurna yang engkau impikan...”
Penulis         : Anung D’Lizta, Mulyoto M, Ade Ubaidil, Rere Zivago, Rusdi El Umar, Nenny Makmun, Nasta’in Achmad Attabani, Welly Eka S, Syefrianidar
Editor                       : Anung D’Lizta
Penerbit       : 2A Dream Publishing
Tahun Terbit          : 2014, Maret
Tebal Buku : 146 Halaman, 13x19cm

Sinopsis:
Diam. Beku. Terlebih Delizta. Dia menahan hening di kedua bola matanya. Pasti sakit setelah mengetahuinya. Delizta tidak menyahut lagi. Dia pergi dengan sesal dan air mata. Pasti dua wanita itu sedang menyalami hati masing-masing. Aku tahu Delizta cukup dekat dengan... [Terang – Anung D’Lizta]
Tapi, tiap kali teriakan-teriakan itu berubah menjadi keluhan, aku segera menepis perasaanku dan kembali untuk mencoba tegar. Ya, aku ingin menjadi lelaki tangguh yang pantang mengeluh. [Impian Berbalut Cinta – Mulyoto M.]
“Subhanallah, kakiku gemetar nih, Yan. Sayang aku tidak mampu melihat foto itu. Pantas sejak tadi aku merasakan kehadirannya, Yan. Aku benar-benar tidak menyangka, Yan. Impianku dengan...” [Majid dan Lelaki Itu – Ade Ubaidil]
Air mataku mulai mengucur deras, aku terisak. Ya Allah, tolonglah selamatkan Bapak...
Seperti kaleidoskop beberapa peristiwa di layar televisi pada akhir tahun, aku mengingat dengan jelas percakapan terakhirku dengan Bapak. [Wing Of A Dream – Rere Zivago]

Sayap Mimpi yang Menginspirasi

Kehadiran Cerpen Dream Award yang ditulis oleh 9 penulis hebat ini tampaknya bisa menjadi penawar kerinduan terhadap kumpulan cerpen berkualitas, dan lebih dari itu, Antologi cerpen yang berjudul ‘Kupersembahkan Cintaku’ ini begitu mampu menyulut percikan api semangat dalam mengarungi samudera kehidupan.
“Terang”, sebuah cerpen yang ditulis oleh seorang wanita bermata do’a; Anung D’Lizta, adalah cerita yang sangat asyik dan menarik untuk ditelisik. Cerpen ini mengisahkan seorang wanita yang memiliki hati berbalut kasih-sayang dan cintaNya. Wanita yang sikap dewasanya mampu melawan cabikan kerasnya tangan dunia;  wanita yang begitu tegar menghadapi terpaan badai sasmita. Adalah Kenangi, yang melahirkan seorang anak dari ayah sahabatnya yang dalam diam mencintainya.
Selain cerpen karya Anung D’Lizta tersebut, karya Mulyoto M. Yang berjudul “Impian Berbalut Do’a” juga tak kalah keren. Cerpen ini berkisah tentang seorang penjual bakso dorong di Alun-alun Kota. Dengan semangatnya yang penuh, akhirnya Zai, yang dalam harapnya menjadi lelaki tangguh yang pantang mengeluh bisa melewati masa-masa sulit yang sempat menghalang-rintangi hubungannya dengan kekasihnya, Nisa. Kisah ini sungguh romantis dan amat menggigit!
‘Kehadiran lelaki itu setidaknya menyembuhkan luka dan menggantikan sepi yang selama ini selalu menemani kesendiriannya.’ –Kutipan Cerpen Ade Ubaidil yang berjudul “Majid dan Lelaki Itu” hal. 55.
Ada haru dan binar bahagia ketika Majid --seorang bocah kecil dengan seperangkat alat semirnya-- diajari bermain gitar oleh Lelaki yang menemuinya di bawah lampu  jalanan. Ia yang memiliki mimpi sederhana; bisa bersenandung bersama dengan penyanyi idolanya, tak pernah menyangka, bahwa Lelaki yang menemaninya di taman senja dan yang mengajarinya bermain gitar itu adalah Bang Iwan Fals, yang tak lain adalah sang penyanyi faforitnya. Sebuah cerita yang cerdas dan fantastis.
Antara cita-cita dan cinta. Sebuah kisah yang tertuang dalam cerpen “Wing Of A Dream” rajutan Rere Zivago, di sinilah cinta dan cita-cita Ratna dipertaruhkan. Impiannya menjadi Dokter hampir pupus dan tenggelam karena sebuah keinginan untuk menikah dengan seorang laki-laki impian yang ternyata hanya laki-laki pecundang.
Quote Puspitasari di halaman 84, Impian itu seperti sayap, dia akan membawamu pergi ke berbagai tempat. Akhirnya, Ratna --si tokoh utama-- melepas laki-laki (bukan) impiannya, dan mengejar mimpinya demi membahagiakan ke dua orangtuanya. Temukan quote-quote indah di dalamnya.
Demikian pula, cerpen-cerpen lainnya yang terangkum dalam buku “Kupersembahkan Cintaku”, Kumpulan Cerpen  Dream Award pilihan 2A Dream Publishing, tak kalah apik dan menarik. Hingga setelah mengkhatamkan bukunya, tak hanya pengalaman inspiratif serta semangat menggapai impian yang didapatkan, melainkan juga taburan hikmah bak mutiara di dasar laut karam sehingga kita akan membangun tekad untuk menjadi insan yang lebih baik di mata Tuhan. J
Jangan puas hanya menjadi sang pemimpi, tapi berdo’a dan berusalah agar impian-impianmu menjadi kenyataan.
Akhirnya; Kupersembahkan Cintaku. “Meski aku tak sesempurna yang engkau impikan...”
~**~
Salam Pena!
Muhrodin “AM”
Penjara Suci, 25 Juli 2014*


By. Muhrodin ‘AM’
~**~
             Marhaban yaa syahru ramadhan | Marhaban syahru sa'adah | Marhaban syahrul 'ibadah | Marhaban yaa khaira khalkillah... 'alimu sirri wa akhfa | Mustajibu da'awati | Robbi farhamna jami'a | Bijami'i sholihati...

            Selama kurang-lebih tujuh tahun kudengarkan sholawat itu. Sungguh ada getar rindu yang menelisik di kedalaman lubuk hati; rindu pada Rabbku, dan juga rindu pada Nabiku.
            Ramadhan ini mungkin tak seperti ramadhan-ramadhan kemarin; di mana segalanya --menurut kebanyakan santri-- begitu indah; begitu bebas dan begitu menyenangkan. Meski tak kupungkiri; demi Tuhan yang diriku dalam kekuasaannya. Ramadhan ini masih tetap sama; masih ada rindu, jua kedamaian  dan keteduhan yang tak seharusnya kudustakan.
            Meski peraturan di pesantren kini tak seperti dulu lagi; tak ada istilah makan di luar, karena di berbagai penjuru pintu telah digerbang dan dijaga ketat oleh keamanan. Namun sungguh, aku masih merasakan bahagia ini yang sampai tak bisa ternamai.
Kepengurusan pesantren ramadhan ini benar-benar telah diubah total, komplek mahasiswa yang kini kusinggahi telah berganti didomisili oleh santri baru tingkat MA dan SMA. Banyak teman-teman yang kalangkabut menghadapi situasi seperti ini; di mana sisi kedamaian hendak kami cari (lagi)? Ah, kembali berkaca pada jiwa, bahwa hakikatnya kami semua di sini hanya numpang, niat mesantren untuk menuntut ilmu, bukan untuk yang lain. Segala yang ada harus kami jalani dengan lapang dada...
Alhamdulillah, aku masih bisa tinggal di tempat persemayaman paling damai. Bukan tanpa alasan, kawan, karena santri baru juga butuh pembimbing yang harus mengarahkan segala hal-ihwal tentang kegiatan-ma’murat dan manhiyat yang berlaku di pesantren tercinta ini.
Mulai dari ba’da maghrib setelah jama’ah, ada kegiatan darusan al-Qur’an, sholawat nariyah, dilanjutkan setoran wajib sholawat munjiyat bagi santri-santri baru komplek Sabilul Hidayah. Kemudian jama’ah sholat isya dan sholat tarawih.
Rof’ul Haroj adalah kitab yang aku kaji ba’da sholat Tarawih kepada KH. A. Shoim el-Amin, Lc. Kitab ini mengkaji tentang hadits kontemporer; masalah-masalah yang kita hadapi di zaman android ini. Sedang untuk santri-santri baru mengkaji makhorijul huruf, belajar menulis arab pegon dan praktik ibadah kepada ustadz-ustadz yang telah ditentukan.
Ramadhan ini sungguh, aku harus banyak-banyak bersyukur kepada Allah SWT; karena segala cinta dan kasih-sayangNya begitu dekat kurasakan. Kami menyiapkan makanan buka-sahur untuk santri-santri baru, meski terkadang miris karena lauk yang sangat seadanya --yang mungkin bagi mereka sungguh belum terbiasa--; namun di situlah sejatinya aku dapat merasakan bahwa mereka adalah santri yang luar biasa.
Terlebih ketua staff kami yang tak pernah tidur demi tanggung jawabnya, dia adalah gus, seorang putra kiyai yang rendah hati, sabar, dan penyayang kepada semuanya. Semoga kelak Allah benar-benar  menempatkan beliau disebaik-baik tempat di sisiNya. Aamiiin...
Aku bahagia, ramadhan ini sungguh penuh makna. Bisa bersama-sama santri baru mendekatkan diri, bermunajat di sepertiga malam yang sunyi. Berharap jika ramadhan esok aku memang benar-benar sudah tak bisa menghirup udara di pesantren lagi, Allah akan tetap menjaga dan menuntunku di jalan yang diridhoi. Aamiiin...
Terimakasih, Tuhan... karena ramadhan ini Engkau masih memberiku ketetapan iman dan islam; memberiku cinta dan kasih-sayang, keteduhan dan kesejukan selaksa telaga al-Kautsar. []
PPAI, 04 Juli 2014/ 06 Ramadhan 1435

Muhrodin.am@gmail.com